Jiyo tersenyum puas ketika melihat Kana telah menunggunya di lobby dengan tampilan anggun. Biasanya, walau berusaha mengenakan pakaian rapi atau dress sikap Kana yang sedikit tomboy selalu muncul, apalagi jika ia tengah sibuk kesana kemari mengerjakan sesuatu.
Kini melihatnya mengenakan dress dengan sepatu heels yang tidak terlalu tinggi dan tas tangan selain memegang laptop dengan rambut yang dicepol rapi membuatnya tampak cantik.
“Pagi pak, “ sapa Kana seolah siap untuk bekerja.
Jiyo hanya tersenyum dan berjalan menuju mobil yang telah menunggu mereka seraya berkata,
“Kamu duduk di belakang bersamaku.”
Kana terlihat terkejut tetapi segera masuk ke dalam mobil ketika Jiyo membukakan pintu untuknya.
“Kamu cantik pagi ini,” puji Jiyo tulus sambil memperhatikan tampilan Kana saat mobil sudah mulai bergerak maju.
“Ini pakai baju dari bu Elena, tas nya juga …. Ak…”
“Stt, tidak usah bicara begitu … orang bisa salah paham jika mendengarkan ucapanmu nanti. Biasakan berdandan seperti ini, saya suka,” bisik Jiyo segera memotong ucapan Kana yang polos sambil melirik ke arah supir.
Kana hanya mengangguk dan mulai menggeser tubuhnya perlahan menjauhi Jiyo. Pria itu duduk terlalu dekat dengannya sehingga ketika ia berbisik tadi deru nafas dan aroma parfum Jiyo bisa terasa oleh Kana membuat dadanya mau meledak karena berdegup begitu kencang.
Untung saja, Kota Bandung bukanlah kota yang terlalu besar sehingga mereka tak butuh waktu lama untuk bisa sampai ke tujuan.
Sesampainya di sebuah perkantoran, Jiyo segera disambut oleh beberapa orang.
“Wah, pak Jiyo datang bersama istri?” tanya Pak Aziz ketika melihat Jiyo berjalan sejajar dengan Kana.
“Istri? Saya belum menikah pak, ini Kana asisten pribadi saya,” ucap Jiyo sambil tersenyum saat menyadari bahwa mereka menyangka Kana adalah istrinya.
Mendengar hal itu Kana hanya tersenyum kikuk dan segera memundurkan tubuhnya agar berada dibelakang Jiyo, sedangkan Jiyo malah menoleh kebelakang dan mengedipkan matanya pada Kana seolah bangga akan penampilan Kana.
Kedua atasan dan bawahan itu akhirnya mulai sibuk dan tenggelam dalam pekerjaan mereka, bahkan besok pagi mereka akan pergi mengunjungi pabrik yang berada diluar kota.
Kana merasa tubuhnya seperti akan rontok karena menggunakan heels, menggendong laptop dan menjinjing tas branded yang ternyata walau tak banyak diisi tetapi tas itu terasa berat. Ingin rasanya ia segera melepaskan sepatunya saat masuk ke dalam mobil untuk kembali ke hotel tetapi ia tahan karena tak ingin Jiyo melihatnya kembali brutal padahal seharian ini bosnya sudah memuji penampilannya yang anggun.
Sesampainya di kamar hotel Kana segera menendang sepatunya tanpa arah dan melompat ke atas ranjang mencoba meredakan rasa pegal di betisnya. Belum sampai 5 menit tiba-tiba terdengar bunyi bel dan membuat Kana segera melompat bangun dan membuka pintu.
Benar saja, sudah ada Jiyo di depan kamarnya masih dengan pakaian yang sama tetapi sudah mengenakan sandal hotel.
“Ayo ikut aku,” ajak Jiyo cepat. Kana meminta atasannya untuk menunggu sebentar agar ia bisa mengenakan sandal hotel dan menyambar keycard.
“Mau kemana kita pak?” tanya Kana saat memasuki Lift, tetapi Jiyo hanya diam dan mereka berdua turun di lantai dimana ada fitness centre juga spa.
“Ayo masuk,” ajak Jiyo sambil sedikit mendorong Kana untuk masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan spa ketika pintu itu dibukakan.
“Selamat datang bapak dan ibu, atas nama bapak dan ibu Jiyo ya? Ruangan untuk spa untuk couple sudah kami sediakan … mari bapak dan ibu…” sapa salah satu pegawai spa tersebut segera mengarahkan Kana dan Jiyo menuju suatu ruangan.
Kana baru saja akan bertanya pada Jiyo apa yang terjadi, mengapa mereka masuk spa untuk couple tetapi aromatherapy ruangan itu membuat Kana meleleh dan segera ingin berbaring diatas meja pijat sehingga tak mempedulikan lagi isi kepalanya.
Ruangan kamar itu benar-benar membuat Kana terlena. Suara musik yang mengalun lembut, lampu yang temaram dan percik air terjun kecil di sudut ruangan membuatnya ingin segera menutup mata untuk tidur.
Ia baru saja berganti pakaian dan hanya mengenakan kain panjang yang membelit tubuhnya saat Kana mulai membaringkan tubuh dan kemudian ditutupi dengan selimut tipis yang hangat. Matanya terbelalak saat tirai pemisah antara dirinya dan Jiyo ditarik sehingga Kana bisa melihat atasannya sudah mulai dipijat.
“Bapak!” pekik Kana segera duduk. Ia baru menyadari bahwa ia berada diruangan yang sama dengan Jiyo dan hanya dipisah dengan kain pemisah. Matanya terbelalak saat mendengar bahwa paket spa yang jiyo ambil adalah honeymoon package.
“Kalau dipisah semua aku susah ngobrol sama kamu,” jawab Jiyo santai. Kana segera bangkit dan berdiri dan menarik kembali tirai itu sampai sebatas wajah Jiyo karena Jiyo menahan tirai agar tak kembali memisahkan mereka berdua.
“Segini saja…” ucap Jiyo sambil menutup matanya karena ia tengah menikmati punggungnya yang tengah dipijat.
Kana kembali berbaring dan mengalihkan wajahnya ke arah lain, dan membiarkan tubuhnya yang terasa lelah mulai dipijat.
“Kana… “
“Pak, tolong kali ini aku jangan diajak ngobrol … aku ngantuk banget … aku lagi ingin menikmati pijatan ini,” potong Kana cepat ketika Jiyo mulai bersuara.
Ia benar-benar ingin menikmati waktunya saat ini.
“Ngajakin kamu ngobrol? Sejak kapan kita ngobrol? Semakin lama semakin sedikit aku mendengar kosa kata keluar dari mulut kamu,” gumam Jiyo.
“Kalau sama yang lain kamu bisa ngobrol panjang lebar, tertawa, melakukan ini dan itu, tetapi jika berada didekatku kamu diam seribu bahasa.”
Jiyo menoleh ke arah Kana, ia hanya melihat Kana yang menghadap membelakanginya dan Jiyo mendapat kode dari sang terapis bahwa Kana sudah tertidur pulas. Jiyo hanya bisa menghela nafas perlahan dan menatap leher dan punggung Kana sesaat.
Selesai melenturkan tubuh dengan dipijat, Jiyo masih tak ingin membiarkan Kana untuk kembali ke kamarnya.
“Ini masih jam 8 malam, aku belum makan malam. Kita makan malam dulu…,” ajak Jiyo sambil menekan pintu lift menuju restoran.
Kana hanya bisa diam dan ikut masuk ke dalam lift. Ia tak menolak karena perutnya pun terasa lapar walau matanya sudah tak ingin dibuka.
Kana dan Jiyo pun kembali makan dalam keheningan, tetapi kali ini Jiyo duduk disamping Kana tidak di hadapannya.
“Ayo habiskan,” suruh Jiyo ketika melihat Kana mengunyah semakin pelan karena ia sudah sangat mengantuk tetapi tadi ia terlalu rakus sehingga mengambil makanan begitu banyak.
“Kenyang pak…,” gumam Kana pelan seolah memohon agar Jiyo memperbolehkannya untuk tidak menyelesaikan makanannya.
“Aaa..” suruh Jiyo sambil mengambil sesendok salad dan hendak menyuapinya pada Kana.
“Bapak! Gak boleh gitu… nanti orang-orang lihat gimana?!” ucap Kana panik melihat sikap atasannya tiba-tiba berubah menjadi lebih ramah padanya sampai hendak menyuapinya.
“Memangnya kenapa?”
“Bapak atasan saya, sikap bapak gak boleh begitu!”
“Tapi ini sudah bukan jam kerja lagi, sudah lewat waktunya. Saat ini saya gak mau jadi atasan kamu, saya mau jadi teman kamu sehingga kamu bisa ngobrol apa saja sama saya! Hanya sama saya kamu gak ramah, Kana.”
“Kita gak bisa berteman, bapak. Karena bapak atasan saya langsung….”
“Atau kamu gak mau berteman denganku karena urusan keluargaku?”
Ditanya seperti itu Kana terdiam dan membuat Jiyo merasa semakin yakin Kana tak ingin terbuka dengannya karena Elena. Jiyo mendekatkan wajahnya ke arah Kana dan menatap wajah gadis itu dalam. Sejak awal ia tahu gadis ini cantik, tetapi ia tak pernah tergubis karena gadis itu selalu menjaga jarak dan bersikap seperti karyawan lain.
Entah sejak kapan Jiyo menjadi tertarik untuk melihat Kana lebih dekat dan menyadari raut wajah dan gesture Kana menarik perhatiannya.
“Kacamata ini hanya menutupi kecantikan wajahmu, Kana. Saya suka heran melihatmu tampak tak percaya diri dan menyembunyikan diri, padahal dengan tampilan alamimu, kamu bisa tampil menonjol dimanapun kamu mau.”
“Bapak, jangan terlalu dekat … saya jadi gugup …” ucap Kana gugup sambil mendorong tubuh Jiyo agar menjauhi tubuhnya.
“Kenapa? Kamu takut jatuh cinta sama saya?” goda Jiyo merasa semakin tergoda untuk mengganggu Kana.
“Ih, pak Jiyo ganjen! Gak ada cinta-cintaan! Udah ah bapak, jangan ganggu saya terus! Jail banget!”
“Abis kamu irit banget bicaranya! Saya harus gangguin kamu seperti ini dulu biar kamu berekspresi!” jawab Jiyo sambil mencubit hidung Kana.
“Nggak ah, aku gak mau temenan sama bapak!”
“Kana…”
“Saya tuh sebenarnya stress kalau deket-deket bapak. Bikin gugup dan gak enak perasaan! Semakin dekat dengan bapak, semakin banyak hal-hal yang gak perlu saya tahu jadi kelihatan dan ketahuan! Kita gini aja ya pak… bapak jangan cerita apapun tentang pribadi bapak sama saya … mengetahui sedikit urusan tentang bu Elena sudah bikin saya stress dan takut pak…”
Kana dan Jiyo saling menatap dalam.
“Kamu sudah bercerita pada orang lain?”
Kana menggelengkan kepalanya.
“Kadang kalau sedang bingung menghadapi bu Elena saya ingin sekali cerita sama orang lain, tapi saya masih diam. Saya sudah janji untuk tidak berbicara dengan siapapun, walau hati ini sering tergelitik untuk bercerita sedikit,” jawab Kana jujur.
Tiba-tiba Jiyo menggenggam jemari tangan Kana perlahan dan meremasnya sesaat.
“Jangan! Jangan cerita siapapun soal urusan keluargaku! Mulai hari ini jika ada urusan tante Elena, apapun itu kamu harus bilang padaku! Apapun itu! Itu perintah Kana! Walau hanya urusan kamu ingin curhat karena lelah menghadapi tante Elena kamu hanya boleh bercerita padaku. Kamu ngerti itu?”
Kana hanya bisa menundukan kepala sebelum mengangguk perlahan.
“Jam berapapun kamu ingin bercerita tentang tante Elena, hubungi aku. Kamu janji?” tanya Jiyo lagi dan Kana hanya bisa mengangguk kembali.
Kana terdiam ketika Jiyo mengusap kepala, rambut dan pipinya secara spontan. Apakah boleh seorang atasan menyentuhnya seperti itu? Mengapa sikapnya seperti ini? Apakah Jiyo tertarik padanya? Mengapa dua hari ini sikapnya sangat berbeda?
“Ayo kita tidur, besok pagi kita sudah harus berangkat menuju pabrik dan malam masih ada acara gala dinner yang harus kita hadiri,” ajak Jiyo tiba-tiba sembari berdiri dan menarik lengan Kana untuk membantu gadis itu berdiri.
“Selamat tidur, Kana,” ucap Jiyo sambil mengusap punggung Kana lembut sebelum mereka berpisah menuju kamar masing-masing.
Malam itu Kana tak bisa memejamkan matanya. Sentuhan Jiyo kali ini menyentuh hati dan jiwanya membuat jantungnya berdegup sangat cepat dan gelisah. Kana menyembunyikan tubuhnya di dalam selimut seolah mencoba menyembunyikan perasaannya yang naik turun seperti roller coaster oleh Jiyo.
Bersambung.