“Aku butuh kamu untuk menemani selama 3 hari ini untuk meeting di Bandung,” ucap Jiyo dan membuat Kana menganga sesaat.
“Saya ikut pak? “
“Iya, 3 hari itu rasanya padat sekali, aku butuh orang yang membantu mengingatkan dan mengatur alur schedule. Apalagi aku butuh mengajak beberapa vendor dan client untuk lunch atau dinner meeting, jadi tolong lusa nanti kamu ikut,” ucap Jiyo sambil terus mengerjakan pekerjaanya.
Kana hanya diam dan mencoba mencerna permintaan Jiyo. Tubuhnya menjadi menjadi lebih tegang dan panik karena membayangkan apa saja yang harus ia lakukan sendiri tanpa Karina disampingnya.
“Kenapa? Gak mau?” tanya Jiyo kini menaikan wajahnya karena tak mendengar jawaban apapun dari Kana.
“Baik pak, “ jawab Kana dengan suara sangat pelan lalu berjalan meninggalkan ruangan Jiyo dan segera menuju ruangan Karina untuk mengadu.
“Mbakkk…. Aku takut… aku gak ngertiii… “ keluh Kana segera duduk merengek disamping Karina.
“Kenapa? Nemenin pak Jiyo meeting ke Bandung? Akh, gitu doang kok takut…”
“Aku takut salahhh….” keluh Kana.
“Gitu mulu alasannya … nanti sore kita bedah itinerary pak Jiyo selama disana. Kamu tuh udah bisa Kana … harus pede dong … yang penting kamu mengenali kebiasaan pak Jiyo. Makanya dia tuh harus dideketin,” ucap Karina mencoba memberikan motivasi pada Kana.
“Nggak ah … gak mau deket- deket! Capek!” rengek Kana seperti anak kecil dan mendapat cubitan kecil yang lembut di pipinya dari Karina.
Menjelang pulang kerja Karina sibuk duduk berduaan di cubicle Kana untuk mengajarkannya apa saja yang harus ia lakukan ketika melakukan perjalanan kerja bersama Jiyo di 3 hari kedepan. Dan melihat kesibukan kedua orang itu membuat Hera penasaran.
“Sibuk amat ini ibu ibu secretaris…. Lagi bikin apa sih?”
“Ini si manja lagi panik karena mau pergi sama pak Jiyo keluar kota,” jawab Karina sambil mendelik gemas pada Kana yang terlihat tegang di depan laptopnya.
“Ih bantuin duluu …,” keluh Kana tak ingin Karina teralih perhatiannya.
“Pergi? Kemana?” tanya Hera perlahan tak tahan untuk ingin tahu kegiatan Jiyo.
“Bandung doang, 3 hari …” jawab Karina lagi lalu kembali fokus membantu Kana.
Hera hanya tersenyum tipis lalu meninggalkan kedua rekan kerja itu perlahan. Membayangkan Jiyo akan pergi bersama Kana, menggelitik perasaannya untuk ingin ikut sekaligus tak nyaman. Walau ia tahu Kana dan Jiyo akan pergi secara profesional tetapi ia tetap membuatnya resah sekaligus iri.
Kepalanya saat ini penuh dengan perasaannya pada Jiyo dan membuatnya ingin bisa terus menerus bertemu Jiyo. Walau bisa bertemu setiap hari, tetapi interaksi mereka berdua sangat tidak bebas dan Hera tak puas dengan hal itu.
Sedangkan Kana begitu leluasa bersama Jiyo, bahkan mengetahui saat akhir pekan saja Kana bisa bertemu Jiyo membuat Hera tak sabar untuk dinyatakan sebagai kekasih Jiyo. Ia ingin lebih dan lebih.
***
Kana menyeret kopernya cepat- cepat menuju lobby kantor karena Jiyo sudah menunggunya disana. Mereka akan berangkat ke Bandung mengenakan woosh agar bisa sampai lebih cepat.
Seharusnya mereka sudah berangkat dari pagi, tetapi kesibukan Jiyo membuat waktu keberangkatan mereka jadi mundur dan memutuskan untuk berangkat dengan kereta cepat, mengejar waktu makan malam bersama salah satu pemilik properti yang tengah menawarkan kerjasama pada Jiyo.
Jiyo menurunkan kacamatanya dan tersenyum tipis melihat Kana tampak terburu-buru dan heboh dengan barang bawaannya sebelum gadis itu melompat masuk ke dalam mobil Jiyo.
“Kamu bawa apa sih? Kayanya koper kamu besar dan berat banget!”
“Bawa semuanya pak … aku takut nanti ada yang kurang,” jawab Kana sembari menghapus keringat tipis yang muncul di keningnya.
“Bawa dress, kan? Karena kita juga akan menghadiri pesta yang digelar pak William,” ucap Jiyo mencoba mengingatkan. Kana hanya mengangguk perlahan dan ragu.
Selama perjalanan Kana merasa tak enak pada Jiyo, karena pria itu memperlakukannya dengan baik, bahkan membawakan kopernya walau ia harus menyeret kopernya sendiri. Sebenarnya Kana bisa membawanya sendiri, tetapi Jiyo menolak dan tetap membantunya.
Untung saja, mereka segera dijemput dan diantar ke sebuah hotel mewah.
“Ini keycard mu,” ucap Jiyo sambil memberikan keycard kamar pada Kana.
“Saya menginap di hotel ini juga pak?” tanya Kana ragu karena satu hotel dengan Jiyo.
“Loh, memangnya kamu gak mau menginap disini?”
“Bukan begitu, tetapi bukannya biasanya kalau atasan sama bawahan itu beda fasilitas ya pak? Kalau bapak dapat yang bagus, anak buahnya dapat yang biasa aja,” jawab Kana polos.
“Ck, jamannya sudah tidak seperti itu, tak semua harus begitu. Sudah masuk kamar sana, saya mau pergi sebentar, jadi malam ini kamu bisa bersantai melakukan apapun yang kamu mau,” ucap Jiyo sambil menarik kopernya meninggalkan Kana untuk menuju kamarnya sendiri.
Kana merasa tak percaya ketika ia memasuki kamar hotelnya yang mewah dengan pemandangan indah. Kamar dengan pemandangan di pinggir tebing dan kolam renang yang besar. Kana memutuskan jika waktu telah lebih gelap ia akan menghabiskan waktunya untuk berenang.
Malam pun datang. Kana merasa senang karena Jiyo tak mengganggunya sama sekali sehingga ia bisa berada di kolam air hangat ini untuk bermain air sendirian walau Kana sendiri sebenarnya tak pandai berenang.
Kana menyandarkan tubuhnya di tepi kolam renang dan menatap uap putih yang naik tertiup angin dingin. Menghabiskan waktunya sendirian seperti membantunya mengurai perasaan yang menumpuk dibenaknya.
‘“Sedang apa kamu?” pertanyaan seseorang membuat Kana menoleh ke atas kolam dan melihat Jiyo tengah berdiri disana.
“Loh, bapak katanya ada urusan keluar?” Kana balik bertanya dengan gugup.
“Memang, dari tadi saya hubungi kamu tapi handphone kamu gak diangkat dan gak sengaja lihat kamu disini,” ucap Jiyo sambil menatap ke sekitar kolam, dan melihat ada beberapa orang yang tengah menghabiskan waktunya berenang seperti Kana.
“Tunggu di situ,” ucap Jiyo cepat lalu pergi meninggalkan Kana sendirian dan tak lama kembali membawa handuk besar dan meletakkannya di kursi santai sebelum ia membuka sendiri pakaian dan celananya untuk ikut berenang.
Kana langsung membuang wajahnya ke arah lain dan bergerak menjauhi Jiyo yang melompat ke dalam air dengan santainya. Jiyo yang mahir berenang terlihat bolak balik menggerakan tubuhnya kesana dan kemari dengan santai sebelum akhirnya menyelam dan muncul di samping Kana dan membuat gadis itu kelagapan berada terlalu dekat dengan atasannya.
Jiyo mengatur nafasnya yang hampir habis dan menyandarkan tubuhnya seperti yang Kana lakukan. Kana hanya berusaha diam mematung walau gelombang air membuat tubuhnya bergerak mendekati Jiyo.
Jiyo terlihat diam dan ikut menatap ke arah tebing gelap seperti yang Kana lakukan sebelumnya. Temaram lampu, uap putih yang bergerak diatas kolam membuat suasana terasa syahdu.
“Pantas saja kamu senang duduk melamun disini, pemandangannya memang indah,” gumam Jiyo perlahan.
Hening. Tak ada pembicaraan diantara Kana dan Jiyo. Kana diam karena ia terlalu gugup berada terlalu dekat dengan Jiyo, sedangkan Jiyo diam karena larut dalam perasaannya sendiri sebelum tiba-tiba ia melompat naik dan segera mengeringkan tubuhnya dengan handuk.
“Ayo naik, kita akan pergi makan malam,” suruh Jiyo sambil menyambar pakaiannya lalu berjalan meninggalkan Kana hanya mengenakan handuk.
Memastikan Jiyo sudah tak berada di sekitar kolam renang, Kana segera bergerak naik dan mengeringkan tubuhnya sebelum kembali ke kamar.
Kana belum sempat mengeringkan rambutnya secara sempurna saat ia mendengar bel pintu berdering nyaring. Dengan cepat Kana segera membuka pintu dan melihat Jiyo sudah berada di depan kamarnya.
“Sebentar pak, rambut saya belum terlalu kering dan belum sempat dandan,” ucap Kana cepat.
“Gak usah dandan dan mengeringkan rambut, aku sudah terlalu lapar,” ucap Jiyo sambil meletakan tangannya di dalam saku celana seperti kebiasaannya.
“Sebentar pak saya ambil tas,”
“Gak usah bawa tas, bawa saja keycard mu … kita akan makan malam disini kok.”
Mendengar ucapan Jiyo, Kana segera menurut dan hanya menggunakan sandal kamar sebelum akhirnya ia keluar.
Jiyo segera mengajaknya ke restoran di hotel dan memilih tempat duduk untuk mereka berdua. Jika Kana lebih senang untuk berkeliling memilih makanan prasmanan, Jiyo memilih duduk dan memesan ala carte dari menu yang tersedia.
Atasan dan bawahan itu duduk berhadapan dan sibuk dengan makanannya masing-masing tanpa banyak bicara. Kadang Kana merasa salah tingkah karena ia memergoki Jiyo tengah menatapnya santai tanpa berkedip. Beradu pandang dengan atasannya yang tampan membuat Kana ingin segera menyelesaikan makan malamnya dan menyembunyikan dirinya di dalam selimut.
Selesai makan, Kana ingin segera pamit untuk masuk ke dalam kamar, tetapi Jiyo menahannya dan mengajaknya untuk duduk bersantai di ruangan terbuka sambil memesan kopi.
“Bapak, tetapi ini sudah hampir pukul 9 malam dan bapak pesen kopi, nanti gak bisa tidur loh pak,” komentar Kana heran.
“Memangnya kenapa? Kopi tak bisa mempengaruhiku untuk bisa tidur atau tidak. Hotel ini bagus dan indah, sayang kalau tidak dinikmati pemandangan dan fasilitasnya,” ucap Jiyo sambil duduk di samping Kana dan merentangkan tangannya ke belakang tubuh Kana.
Rasanya Kana ingin melompat bangkit, sikap Jiyo bisa membuat orang lain yang melihat mereka salah paham karena seperti sepasang kekasih. Kana bergerak perlahan menjauhi Jiyo agar tubuh mereka tak terlalu rapat.
Jiyo pun tampak tak peduli dan asik menikmati kopinya dengan mensesapnya sesekali.
“Kamu kenapa sih?” tanya Jiyo yang merasakan Kana gelisah.
“Duduk kita terlalu dekat pak,” jawab Kana jujur.
“Memangnya kenapa?” tanya Jiyo dan secara tak sengaja pandangan mereka bertemu dan saling menatap dalam membuat jantung Kana berdegup dengan sangat kencang.
“Mata bapak merah sebelah, aku takut ketularan,” jawab Kana spontan menutupi rasa salah tingkahnya dengan menggunakan alasan mata merah Jiyo.
“Akh, ini pasti karena berenang tadi. Nanti tolong pakaikan obat tetes mata, Kana. Aku tak terlalu bisa menggunakannya sendirian.”
“Obatnya dimana?” tanya Kana cepat.
“Di kamar,” jawab Jiyo sambil menyerahkan Keycard kamarnya pada Kana.
“Saya ambilkan dulu,” ucap Kana cepat segera berdiri dan berjalan terburu-buru meninggalkan Jiyo.
“Haduh, gak bisa nih kaya begini … gak bisa … gak bisa!” gumam Kana pada dirinya sendiri yang tak bisa mengendalikan diri merasa tersipu di dekat Jiyo dengan segala tingkahnya.
Sesampainya di pintu kamar Jiyo, Kana segera membukanya dan menyelipkan keycard di tempatnya agar lampu dan AC dikamar itu menyala. Ia segera masuk ke dalam kamar dan baru menyadari bahwa Kana tak tahu dimana Jiyo menyimpan obat matanya.
Baru saja ia hendak menghubungi Jiyo, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan terlihat Jiyo masuk dengan keycard yang lain.
“Kok bapak kesini? Saya mau bawain obatnya kok pak….”
“Aku kesini karena kamu main nyelonong pergi sebelum saya kasih tahu kalau obatnya di dalam koper. Kamu juga gak akan bisa buka koper saya karena semuanya terkunci,” ucap Jiyo sambil berjalan menuju kopernya yang terkunci dan segera membukanya.
Kana hanya bisa berdiri mematung merasa malu karena ketahuan salah tingkah sehingga ia meninggalkan Jiyo begitu saja. Kana semakin gugup ketika Jiyo melompat ke atas ranjangnya dan terlentang seolah menunggu sesuatu.
“Ayo tolong pakaikan,” suruh Jiyo sambil mencoba membuka matanya yang merah dengan sebelah tangan.
“Bapak baringan dipinggir ranjang aja, biar saya gak usah naik keatas,” pinta Kana pada Jiyo yang berada di tengah ranjang.
“Ck, dari tadi ada terus alasannya, cepat!” suruh Jiyo tak ingin mengikuti keinginan Kana dan membuat gadis itu bergegas naik keatas ranjang dan meneteskan obat mata.
Jiyo mengedipkan matanya sesekali dan sedikit memiringkan tubuhnya ke arah Kana sehingga bisa merasakan aroma nafas Jiyo dan aroma mint dari wajahnya.
Begitu juga Jiyo, berada didekat Kana ia bisa merasakan aroma parfum Kana yang kemarin diberikan oleh Elena tantenya. Jiyo bahkan sampai menutupkan matanya sesaatnya dan rasanya ingin mengendus leher Kana lebih dekat tapi ia tahan.
Kana segera turun dari ranjang Jiyo dan segera merapikan pakaiannya.
“Saya pamit ya pak,” ucap Kana cepat.
Jiyo hanya menganggukan kepalanya dan membalikan tubuhnya seolah ingin tidur. Melihat Jiyo yang tampaknya bersiap untuk tidur, Kana segera keluar dari kamar untuk kembali ke kamarnya. Sedangkan Jiyo berada diposisi yang sama dan memeluk bantalnya erat.
Mengingat Wajah Kana yang polos tanpa makeup yang tengah makan dengan rakusnya dan aroma parfum Kana yang membuatnya wangi seperti kue tiba-tiba membuat Jiyo hampir saja ingin mencium gadis itu. Ia membayangkan jika bisa memeluk dan mengendus leher Kana lebih dekat atau mengecupnya sedikit saja. Jiyo menghembuskan nafas kuat-kuat seolah mencoba mengembalikan akal sehatnya bahwa Kana hanyalah karyawannya saja.
Bersambung