Bab 14

3714 Kata
Ikatan kita memang sudah terputus, namun takdir kita masih terhubung. | | | The Langham Hotel London, Inggris 21:50 Lutut Hetshin menendang perut Neo telak di ulu hati pria itu. Membuat Neo memuntah kan cairan dari lambungnya. Meski sedikit tapi  cukup bagi Hetshin untuk membuat Neo melepaskan cengkeraman nya.             Membuat tubuh Neo tersungkur ke belakang, dengan mulut yang penuh dengan cucuran cairan yang ke luar dari lambung nya. Sementara Hetshin masih berdiri seperti tak pernah merasakan apa pun.             “kuperingatkan padamu, berhenti berurusan dengan semua ini, dan kembalikan gadis itu pada ku atau kau akan mati.” Hetshin memperingati, tapi membuat Neo semakin bernafsu untuk menyerang saudara yang baru saja dia temui setelah dua puluh delapan tahun tak bertemu.             Bangkit dari posisinya, Neo mencoba menendang kaki Hetshin namun gagal. Hetshin bisa menghindar dengan mudah, melompat dan balas menendang rahang bawah Neo hingga terdengar suara debukan yang cukup keras. Membuat Neo kembali tersungkur. Tidak menyerah sampai di sana, Neo merogoh saku jas milik nya yang tergeletak tak jauh dari ranjang, mengeluarkan sebuah hand gun yang telah diberi alat peredam suara, kemudian menembak kan beberapa peluru dengan jarak yang lumayan singkat tepat ke arah d**a Hetshin.             Peluru-peluru itu berhasil mengenainya, meski Hetshin berhasil menghindar, tapi tetap saja satu peluru  berhasil bersarang di bahu kiri pria itu, membuat tangan nya berlumuran darah.             “Mati? Aku akan mati? Kau tidak akan tahu bagai mana aku menjalani sisa hidupku yang seperti mayat hidup tanpa mereka selama ini! Dan sekarang kau mengatakan kalau aku akan mati kalau aku tidak mengembalikan Dere padamu?!” Ucap Neo sangat pelan, namun hal itu masih dengan sangat jelas bisa di dengar oleh Hethsin.             Hetshin merasa kalau ocehan Neo tidak harus dia dengarkan.             Sebelum Hetshin benar-benar meninggalkan kamar tersebut, Neo kembali bangkit dari posisinya. Sekali lagi kaki nya mencoba menendang Hetshin di pinggang, tendangan Neo pun kembali mengenai telak pinggang kanan Hetshin, membuat pria itu sedikit limbung dan berlutut di lantai.             Tidak berhenti sampai di sana. Pria beriris zamrud ini seperti tidak ingin melepaskan Hethsin sebelum dia membayar apa yang sudah di lakukan nya dua puluh delapan tahun lalu pada keluarga nya, Neo kembali meraih leher Hetshin, mencekik nya dan menarik wajah pria berahang tegas itu mendekat ke arahnya. Dalam posisi tersebut, Neo dapat  melihat dengan jelas peluh yang mengucur deras dari dahi Hetshin.  “Apa itu sakit?” tanya Neo melecehkan. Tapi Hetshin hanya diam. Dia masih diam meski Neo mengarahkan ujung senapan di tangan nya tepat ke arah kepala Hetshin, membuat Neo tanpa ragu untuk menarik pelatuk senapan nya kembali, tapi tiba-tiba seseorang menarik hand gun yang di pegang Neo.             “Maafkan saya tuan, tapi anda sudah terlalu lama bermain.”              Sebuah suara yang sangat dikenal Neo membuat nya terperangah. Terutama saat tangan dengan jemari lentik milik Ash yang memperlihatkan kuku-kuku panjang pria itu tak terbalut sarung tangan seperti biasa nya, menyentuh tangan Neo dan membawa nya sedikit menjauh dari Hethsin.             “Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku Ash!” Neo meronta, meminta Ash untuk melepaskan tubuh nya yang dipeluk paksa oleh pria bermata keemasan tersebut. Sementara majikan nya meronta, Ash hanya tersenyum dan tak menanggapi apa pun.             “Maaf, tapi anda tidak boleh membuat kegaduhan di tempat umum, dan untuk anda...,” ucap Ash pada Hetshin yang masih terjongkok menahan sakit, “sebaiknya anda segera pergi sebelum polisi datang dan menginterograsi anda.” Lanjut Ash masih tak melepaskan pegangan nya dari Neo.             Bukan hanya Neo yang terperangah dengan kedatangan orang itu, Hetshin juga merasakan nya.  Entah siapa pria berambut keemasan yang tiba-tiba datang dan entah dari mana itu. Melerai mereka dengan sangat mudah, apa lagi Neo sepertinya sangat mengenal orang tersebut, Tapi yang jelas, dia memang harus segera meninggalkan tempat ini sebelum Neo kembali menyerang nya.             “Tunggu! Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku A—“             “Maafkan saya, tuan.”  Ucap Ash setelah memukul keras tengkuk Neo, membuat nya pingsan seketika setelah dia membiarkan Ash meninggalkan kamar tersebut.             Setelah Hetshin menghilang di balik pintu, Ash menaruh tubuh Neo yang terkulai di pundaknya, kemudian membawa orang yang menjadi majikannya tersebut ke luar dari kamar hotel.   Tak berselang lama, beberapa pegawai hotel yang mendapatkan laporan dari tamu yang lain mengenai keributan yang terjadi di kamar yang di sewa Neo datang untuk memeriksa. Tapi mereka hanya menemukan kekacauan di sana, kamar itu sudah kosong. ₪ ₪ ₪   Tahun 1988. London — Inggris. Chockterberd — Ladang gandum, tepi kota.     Semilir angin malam memainkan rambut hitam Neo yang tak tersentuh gunting selama berbulan-bulan.            Gelap malam tidak membuat nya takut sedikit pun, meski terkadang gemerisik daun di atas pohon membuat keributan yang mampu membuat bulu kuduk siapa pun berdiri, tapi dia bukan penakut seperti Ben yang akan menjerit saat melihat kecoak berkeliaran di sekitar nya. Bukan hanya dedaun di atas pohon yang dimainkan oleh angin, tapi juga daun-daun kering yang jatuh terbawa angin, membawa suara bising lain yang memecah keheningan malam.             Langit di atas sana terlihat lebih cerah dari malam-malam biasa nya, bulan pun seperti menjadi penerang utama, di mana bintang menjadi sedikit terlihat redup sementara bulan yang terlihat lebih besar di banding mereka.             Neo kecil menghela napas nya sejenak, dia bersyukur karena mereka menemukan tempat untuk mereka tinggal, berteduh dari teriknya siang dan lembab nya hujan, meski musim dingin masih jauh membeku di bawah tanah, tapi Neo yakin kalau mereka akan bisa melewati nya jika mereka tetap berada bersama di rumah ini.             Sudah berbulan-bulan mereka tinggal di sini, setelah tidak sengaja Alan menemukan rumah kosong ini saat pergi memancing ikan di sungai yang berada tak jauh dari sini. Membuat mereka memiliki tempat untuk tinggal dan ruang untuk bersembunyi dari orang-orang yang tidak suka pada mereka, ketika mereka berkeliaran di jalanan.             Hari ini, setelah selesai membantu Uncle Bob mengangkut jerami kering dari ladang jagung milik nya, Neo bersama ke tiga saudara laki-laki nya kembali pulang dengan sekantung besar berisi makanan. Seperti biasa, setelah itu mereka sekeluarga saling berbagi makanan, cerita, dan tawa. Selanjut nya, mereka pun terlelap dengan selimut yang mereka dapatkan dari tempat pembungan sampah. Meski pun lusuh dan tak layak pakai menurut pemilik pertamanya, tapi bagi Neo dan keluarga nya, benda buangan itu adalah sebuah hal yang sangat berguna. Berguna untuk menghangat tubuh mereka dari dingin nya malam, juga nyamuk yang mengganggu.             Dan di sana, seharusnya Neo juga sudah terlelap bersama keluarga nya.        Tapi dia lebih memilih di luar dan menikmati semilir angin malam yang terasa sangat sejuk menyentuh kulitnya yang seharian terbakar matahari.             “Neo ....”             Panggil suara kecil yang memanggilnya di kegelapan. Neo sangat mengenal suara kecil yang terdengar lembut itu, dia pun tersenyum saat gadis kecil kesayangannya mulai ke luar dari kegelapan, sambil memeluk boneka kain berwarna kusam di tangan nya, gadis kecil itu bergerak ke arah Neo dengan langkah sedikit takut.             Tapi dengan penuh kehangatan yang dia miliki, Neo mengulurkan tangan nya, berharap gadis kecil berambut ikal itu mendekat padanya tanpa ragu.         Sontak, hal tersebut disambut antusias oleh Raya. Gadis yang berusia jauh lebih kecil dari Neo, mendekat ke arahnya setengah berlari lalu duduk tepat di pangkuan Neo.               “Kenapa? Apa aku membangunkan mu?” tanya Neo dan mendapat satu gelengan dari Raya.             “Aku hanya ingin pergi ke luar untuk buang air kecil, tapi Winna tidak mau bangun,” Raya menjelaskan, “lalu aku tidak melihat mu tidur di samping Dere seperti biasa nya dan malah melihat pintu terbuka. Jadi, aku pikir kalau Neo ada di luar.”             “Benarkah? Maaf sudah membuat mu takut.”             “Aku tidak takut!” sanggahnya gugup, “aku hanya takut kalau Neo pergi dan tidak kembali lagi.”             Diam. Neo hanya diam dan mendengarkan bagai mana Raya kecilnya bicara dengan nada khas anak kecil milik nya yang belum pergi, memandang rambut ikal nya yang sedikit berantakan, membuat Neo menyentuh nya dan menaruh kepala nya di ceruk leher Raya. Kemudian tangan kecil Neo mulai terlingkar di pinggang mungil milik Raya.             “Aku tidak akan pergi kemana-mana.” Bisik Neo tepat di ceruk leher Raya.             “Benarkah?” Neo mengangguk pelan, “terima kasih.”             “Kenapa berterimakasih?”             “Karena Neo sudah bersamaku.”             Desiran angin kembali memainkan dedaun di atas pohon yang tumbuh tepat di halaman rumah mereka. Membuat suara yang kembali memecah keheningan. Raya masih memeluk boneka usang yang dia terima dari Hetshin, sementara tangan Neo masih melingkar kuat di pinggang kecil Raya- nya.             Raya- nya, gadis kecil nya karena dibuang oleh orang tua kandung nya sendiri karena ayah nya tidak menginginkan anak perempuan dalam keluarga mereka. Sungguh kasihan nasib gadis kecil ini, terlunta di jalanan, kelaparan dan kedinginan. Membuat siapa pun yang memiliki hati akan iba jika melihat bagai mana gadis kecil ini begitu kurus dulu, bahkan dia tidak punya tenaga untuk berjalan mencari makanan ke dalam tempat sampah sebelum akhir nya Neo menemukan nya dan menjadikan gadis itu bagian dari KELUARGA- nya.             Siapa pun gadis kecil itu, dari mana pun asal nya, seperti apa pun orang tua nya tidak menginginkan nya, tapi Neo sangat menyayangi nya. Apa pun yang diinginkan gadis kecil yang dia temukan di tempat pembuangan sampah saat sedang sekarat ini akan dia lakukan, asal gadisnya bisa tersenyum dan tidak menangis karena merasa tidak memiliki orang tua seperti anak-anak yang selalu dia lihat setiap kali mereka pergi ke kota.             Perasaan yang sama yang juga Neo rasakan setiap kali melihat hal seperti itu. Melihat bagai mana anak-anak di luar sana memiliki orang tua dan sebuah k luarga yang utuh sementara mereka tidak.          Saat anak-anak seusia mereka asyik bermain dan merengek meminta sesuatu pada orang tua mereka, juga membuka kado-kado saat natal dan tahun baru, dia dan saudara-saudara tanpa ikatan darah yang tinggal di rumah ini bersama nya harus rela berkutat bersama pekerjaan dan memikirkan bagai mana cara nya bertahan hidup hari demi hari. Menyesal? Tentu saja tidak. Neo tidak pernah menyesali apa pun yang dia miliki sekarang. Karena bagi nya, seburuk apa pun takdir yang harus dia jalani tetap sebanding jika dia dapat melihat keluarga nya bahagia. Dan itu sama saja  seperti kado natal terindah yang di berikan Santa Claus padanya. Lagi pula ... kalau pun dia harus mengeluh, ke mana dia harus mengeluhkan kesedihan nya?  Bahkan untuk mengingat dari mana dia berasal saja dia tidak bisa ....             “Neo...,” suara Raya kembali membangkitkan Neo dari lamunan nya. Masih pada ceruk leher mungil Raya kecilnya, Neo menjawab hanya dengan sebuah dehaman kecil.             “Apa suatu hari nanti kita akan berpisah?”             Neo mengangkat wajah nya dari ceruk leher Raya, membalikkan posisi gadis kecilnya hingga wajah cantik dengan sepasang mata besar yang sedikit tertutup rambut itu dapat dengan jelas Neo lihat, meski tidak terlalu jelas karena gelap.             “Kenapa bicara seperti itu?”             “Soal nya ... Winna bilang, kalau suatu hari nanti Neo, Hetshin, Allan, Dere dan yang lain nya akan menemukan kehidupan masing-masing, jadi...,” Raya menundukkan wajah nya, dia takut memandang Neo, karena seperti nya Neo tidak suka saat dia bicara seperti itu.             “apa mungkin kita masih bisa sama-sama?”             “Raya...,”             “Aku takut, kalau yang dikatakan Winna akan jadi kenyataan.”             “Raya...,”             “Neo berjanji lah! Berjanji kalau sudah besar nanti, Neo tidak akan meninggalkan ku? Ayo berjanji?!”             Tak ada jawaban. Tangan Neo yang sejak tadi memegang bahu Raya kini beralih memeluk tubuh yang jauh lebih kecil dari tubuh nya. Memeluknya sangat erat seperti dia tidak akan pernah melepaskan tubuh itu meski bumi bergetar dan langit runtuh sekali pun.             “Neo ... berjanji ah,” ulang Raya untuk pertanyaan yang sama, membuat Neo kembali mengeratkan pelukan nya sambil berbisik,             “Tidak akan ....” ₪ ₪ ₪ Tahun 2016. South Bank Tower, Penthouse. London — Inggris 03:25 pagi.             Kompres yang ditaruh Nana di dahi Neo turun saat pria itu menggeliat. Membuat Nana kembali menaruh kompres tersebut di dahi Neo.             Malam sudah berganti larut sejak Ash membawa Neo pulang dalam keadaan pingsan. Menyuruh nya untuk merawat Neo sementara Ash malah asyik berkutat di dapur, entah apa yang sedang di lakukan Ash di sana tapi Nana tidak mau terlalu ambil pusing tentang hal tersebut.             Nana tidak tahu sudah berapa kali dia mendesah sejak dia masuk ke dalam kamar besar milik Neo ini. Sebuah kamar besar yang tidak ada apa pun di sana kecuali tempat tidur, sebuah lemari yang menyatu dengan dinding, sepasang nakas dengan lampu meja berwarna temaram dan sebuah kursi dan meja kecil yang mengarah ke sebuah jendela tanpa korden, tapi sekarang kursi itu sedang dipakai oleh Nana.             “Bosan ....” Gumam Nana kembali mendesah.             Kalau bukan karena Dere yang memintanya untuk merawat Neo, mana mungkin dia mau melakukan hal sekonyol ini. Lagi pula ... apa yang sudah dilakukan Neo sampai pulang dengan wajah babak belur seperti ini? Bukan hanya wajah nya, tapi tubuh pria ini pun penuh lebam.             “Hei, pria menyebalkan,” ucap Nana sambil menyentuh hidung mancung Neo dengan ujung jari nya, “kalau bukan karena Dere selalu berkata kalau ‘dia sangat menyayangi mu’, mungkin kau juga sudah ku hajar seperti ini, atau mungkin kau akan kehilangan wajah tampan mu ini.”             Nana kembali mendesah, mengambil kompres dari dahi Neo lalu menaruh nya ke dalam baskom berisi air yang sudah tidak lagi dingin. Sepertinya Nana harus mengganti air- nya dengan yang baru dan menambah kan sedikit lebih banyak es ke dalam nya.             Nana menggeser bangku yang dia duduki, bangkit dari duduk bersama baskom berisi air yang harus dia ganti. Meninggalkan Neo yang masih tidur dengan tubuh bagian atas yang tidak tertutup apa pun.             Di ruangan yang hanya di terangi lampu meja yang berwarna keemasan, Neo membuka perlahan sepasang mata nya saat telinga nya tak lagi mendengar suara langkah Nana di sana. Menatap langit-langit kamar nya yang terasa sangat jauh dengan lampu utama yang mati berada di atas sana.  Dia sudah sadar sejak setengah jam yang lalu, tapi saat sadar bukan Ash yang ada di kamar ini bersama nya, Neo enggan membuka mata dan membiarkan gadis itu melakukan apa pun yang dia suka.             Di hidung nya, Neo masih dapat merasakan sentuhan Nana, sentuhan yang membuat nya bermimpi sejenak tentang seseorang.             Mimpi yang selalu datang setelah Nana masuk ke dalam rumah ini. Mimpi yang selalu membawanya pada Raya, gadis kecilnya yang jika dia masih hidup, mungkin saja sudah sebesar gadis itu, secantik gadis itu dengan rambut ikal yang indah sepertinya. Tapi ....             Seberapa kali pun Neo berusaha menyangkal, tetap saja wajah yang sama seperti itu tidak bisa dengan mudah membuat nya menganggap Raya itu adalah Nana atau pun sebalik nya.             Perlahan Neo membuka matanya, dan menemukan gadis itu ada di kamar nya, duduk mengantuk sambil menyangga dagu nya dengan sebelah tangan.             Yang di katakan Ash memang ada benarnya, gadis itu ... Nana, memang mengingatkan nya pada Raya— salah satu anggota keluarga nya yang di habisi dengan kejam oleh Hetshin dua puluh delapan tahun lalu.             Meski wajah nya, rambutnya dan sorot matanya mengingatkan Neo pada Raya, tapi tetap saja bocah itu bukan Raya. Semirip apa pun mereka, tetap saja dia bukan Raya.             Neo bangun dari tidur nya, menyingkirkan selimut yang menutup tubuh bagian bawah nya lalu bergerak menuju lemari untuk mengambil sehelai kemeja yang tergantung di dalam sana, memakai nya dan membiarkan kancing nya terbuka.  Selesai dengan kemeja nya, Neo bergerak ke luar dari kamar menuju ke salah satu kamar yang ada di lantai bawah. Kamar di mana ada seseorang yang sangat ingin sekali dia peluk malam ini.             Perlahan, Neo melangkahkan kaki nya, menuju ke luar dari kamar. Tapi saat kaki nya mulai melangkah lebih jauh dari ambang pintu, Nana sudah meneriaki nya dengan nada yang sangat keras. Melengking, dan membuat telinga nya sakit.             “Kembali ke tempat tidur sekarang!” perintah Nana sambil menarik tangan Neo setelah jarak mereka lebih dekat. Tidak terima di perlakukan demikian, Neo pun berontak. Dia memaksa Nana melepaskan tangan nya tapi tentu saja Nana tidak membiarkan itu terjadi.             “Kembali ke tempat tidur, aku tidak mau kalau sampai hitungan hutang ku di tambah lagi oleh Ash.”             Neo menaikkan sebalh alisnya, “Hutang?”  ulangnya untuk kalimat Nana.             “Iya, hutang! Dan kau tahu, pelayan mu itu sangat mengerikan, dan aku tidak mau dapat masalah lagi dari orang bernama Ash itu.”  geram Nana sambil terus memaksa Neo untuk kembali masuk ke dalam kamar nya.             Dengan sebaskom berisi air dan es batu di dalam nya, juga sebuah handuk kecil yang sengaja Nana taruh di dalam nya— dia menarik tangan Neo, membawa pria beriris zamrud itu kembali duduk di ranjang nya. Membantu pria itu kembali berbaring ke atas kasur nya dan menyelimuti Neo kembali.             “Aku ingin me— “             “Kembalilah ke kasur dan tidurlah lagi.”             “Apa?”             “Aku hanya ingin sendiri, aku tidak but— “             “Diam dan ikuti saja keinginan ku,” Nana menarik Neo kembali ke tempat tidur seperti yang dia inginkan, membuat Neo kembali terbaring di atas kasur nya dan menyelimuti pria itu seperti sebelum dia bangun, setelah nya Nana mulai memeras handuk kecil  yang ada di dalam baskom berisi air es yang sudah ada di sana sejak tadi, selesai memeras handuk basah itu, Nana mulai menaruh benda tersebut tepat di dahi Neo seperti saat pria itu tidur tadi, “badan mu masih demam, kalau sampai demam mu  reda, aku akan tetap di sini!”              Tak ada kalimat yang ke luar dari mulut Neo, dia hanya diam  dan memperhatikan bagai mana Nana melakukan pekerjaan yang di berikan Ash pada gadis ini.  Meski dia ingin sekali mengusir Nana dari kamar nya, tapi dia tahu kalau gadis ini tidak akan melakukan apa yang dia perintahkan.             Malam terus bergerak, larut pun menjelang. Tapi Nana masih ada di kamar Neo hanya untuk mengganti kompres yang tidak lagi dingin agar demam pria itu sedikit lebih baik.             Seharus nya Nana terjaga semalaman untuk pekerjaan yang di berikan Ash padanya sekarang, tapi, karena lelah akhir nya Nana pun memejamkan kedua matanya saat dia melihat Neo yang juga sudah terlelap sejak tadi. Meski sebenarnya Neo hanya berpura-pura memejamkan matanya seperti yang dia lakukan sejak awal.             Melihat Nana yang tertidur di kursi, Neo perlahan kembali bangkit dari tidur nya, melepaskan handuk kecil yang ada di dahinya, menaruh handuk tersebut ke dalam baskom berisi air yang sudah tak lagi dingin dan bergerak mendekati Nana.             Neo melihat bagai mana Nana tertidur dengan mulut yang sedikit terbuka, membuat saliva bebas ke luar melewati sela bibir gadis itu, sementara rambutnya yang ikal sedikit menutupi wajah cantik nya yang hampir tak pernah terpoles make - up.  Neo mengangkat tangan nya, mencoba meraih helaian rambut Nana dan menyingkirkan rambut bergelombang itu dari wajah nya, setelah itu membuat Neo diam tanpa mengatakan apa pun.             Wajah itu, benar-benar duplikat  versi dewasa Raya di kehidupan nyata ....             Neo tidak tahu apa yang dikatakan Ash pada gadis ini sampai dia mengatakan sesuatu tentang hutang, seperti tadi. Tapi apa pun yang di lakukan Ash pada gadis ini, membuat Neo sedikit bersyukur karena selain dia bisa berada dekat dengan Dere,  dia juga bisa merasa kalau Raya juga berada di sini ... bersama nya.             Meski sebenar nya dia sendiri takut mengakui kalau gadis ini bukanlah Raya-nya. Gadis kecil yang dulu selalu bergelayut manja pada nya sambil memeluk boneka lusuh kesayangan nya.             Menghela napas nya panjang, Neo  memutuskan untuk mengangkat Nana dari posisi semula, membaringkan tubuh mungil itu ke atas kasur dan menyelimuti Nana kemudian, membiarkan gadis cantik itu berada dalam posisi senyaman mungkin.             Nana menggeliat setelah Neo selesai menyelimuti tubuhnya, tapi  hal itu tidak membuat gadis itu kembali membuka matanya. Rasa lelah yang dirasakan Nana lebih kuat dari rasa takutnya pada Ash.             Dalam posisinya, Neo masih menatap wajah Nana, memperhatikan bagai mana miripnya dia dengan Raya-nya yang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tangan nya reflek menyentuh wajah polos itu, mengelus nya beberapa kali hingga membuat Nana kembali menggeliat karena geli.             Tidak ingin membuat Nana terbangun karena ulah nya, Neo pun menghentikan apa yang dia lakukan kemudian mematikan lampu meja yang menyala di nakas samping tempat tidurnya, membiarkan kamar besar itu gelap tanpa penerangan, dan hanya menyisakan cahaya dari luar jendela kaca yang sama sekali tidak tertutup korden sehelai pun. Setelah menutup pintu kamar nya rapat-rapat, Neo pun bergerak turun dari lantai atas menuju ke kamar yang sangat ingin dia datangi. Kamar Dere. Tapi saat kaki Neo menginjak tangga yang akan membawa nya ke kamar Dere, Ash sudah berdiri di ujung sana, tersenyum ke arah nya dengan kemeja yang terbalut celemek. Entah apa yang di lakukan Ash dengan pakaian seperti itu, tapi Neo memilih untuk tidak peduli dan terus bergerak turun.             “Apa anda sudah merasa lebih baik?”             Neo hanya melirik Ash melalui ujung matanya, tanpa menjawab apa pun dan terus melangkahkan kaki nya melewati Ash, menuju ke arah sisi lain meja, mengambil sebuah gelas dan mengisi nya dengan air kemudian meminum nya perlahan.             “Saya sedang membuat roti gandum, besok pagi akan saya sajikan untuk sarapan.” Tambah Ash, tapi masih saja dibalas sikap dingin oleh Neo.             “Ash,” panggil Neo tiba-tiba membuat Ash menghentikan langkahnya untuk kembali ke dapur. Kembali menatap tuan-nya yang berdiri memunggungi tanpa memandang ke arah nya sedikitpun setelah panggilan itu, “beritahu aku semua tentang gadis itu.”             Ash menaikkan sebelah alis nya, “Anda yakin tidak ingin roti gandum hangat untuk besok pagi?”             Tak ada jawaban, membuat Ash mengembuskan napas nya berat.             “Padahal, sepotong roti gandum dengan hangat secangkir teh chamomile akan sangat nikmat saat dinsantap di pagi hari.” Gumam nya sambil berlalu. Mengabaikan tuan nya yang sudah kembali berjalan pergi tanpa peduli dengan gerutuan Ash yang juga terdengar oleh nya.             Tiba di kamar yang tidak pernah terkunci itu, Neo menemukan Dere sedang tertidur tanpa selimut yang menutupi tubuh nya, membiarkan tubuh yang hanya terbalut sehelai kaos lengan panjang kebesaran dan sebuah celana pendek yang hanya menutupi sebagian paha kurus nya. sementara rambut perak indah milik Dere tergerai dan sedikit acak-acakan.             Bergerak mendekat, Neo mencoba menarik selimut yang masih tergulung rapi di ujung ranjang, menarik nya ke atas untuk membungkus tubuh Dere, setelah itu dia merapikan sedikit rambut berantakan Dere, sama seperti yang ia lakukan pada Nana barusan.             “Dere...,” panggil Neo perlahan sambil mendekatkan wajah nya ke arah Dere, mengecup kening gadis yang sudah dia cintai sejak sangat lama itu, menyesap aroma shampo yang ada pada nya dan mencoba menenggelamkan dirinya ke dalam kehangatan gadis tersebut.             Neo menjatuhkan tubuhnya perlahan, membuat getaran sekecil mungkin agar dia tidak membangunkan gadis nya agar dia dapat tidur di sana.             Memeluk gadis nya. “tolong ... jangan biar kan mimpi buruk itu menghantui ku lagi.” _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN