Hans pun pergi dari hotel tersebut. Dia bisa sedikit lega. Setidaknya Ibunya belum mengusik tentang perjodohan. Hans segera menghubungi Ara.
“Halo Ra.”
“Halo kak. Kenapa?”
“Ada yang mau aku omongin nih.”
“Ya ngomong sajalah.”
“Ga ditelpon. Ayo ketemu.”
“Dimana?”
“Warung bakso.”
“Oke. Sekarang?”
“Iya sekaranglah, masak besok sih. Keburu Ibu Ratu jingkrak – jingkrak nanti.”
“Iya deh iya. Aku berangkat sekarang.”
“Oke.”
Tut. Telepon ditutup. Hans segera mengendarai mobil menuju warung bakso miliknya. Warung bakso itu berada di kompleks ruko (rumah toko). Ruko itu berada di tengah kota. Dengan dua lantai dan lahan parkir yang luas. Warung bakso milik Hans hanya memakai di lantai dasar saja. Karena lantai dua digunakan untuk tempat tinggal beberapa karyawannya. Warung bakso itu berbeda dengan warung bakso yang lain. Dindingnya sengaja dicat dengan banyak warna, sehingga setiap meja mempunyai kesan tersendiri. Tak jarang pengunjung sampai rela memindahkan makanannya, hanya untuk duduk di meja dengan nuansa warna yang mereka suka. Kursi dan meja didesain dengan sangat epik. Warung bakso yang mempunyai tampilan seperti cafe, juga instagramabel. Ada juga beberapa kursi makan untuk para bayi, juga ada tempat mandi bola dipojok ruangan. Para orang tua yang membawa anaknya tak perlu khawatir waktu makannya diganggu dengan rengekan anaknya. Jika dapur biasanya berada di belakang. Nah, di warung bakso milik Hans ini, dapurnya berada di depan. Jadi setiap orang bisa melihat cara mereka meracik bakso dan membuat minuman. Tak heran, walau warung baksonya adalah warung baru. Tapi bisa dibilang banyak peminatnya.
Bakso urat milik Hans mempunyai ciri khas tersendiri. Rasa kuahnya ada rasa manis – manisnya, sedikit berlemak dan banyak kaldunya. Dengan varian bakso yang beragam, bakso urat, bakso telur, bakso selimut, bakso kerucut, sampai bakso mercon, bakso bondet, banyak deh. Juga banyak bahan pelengkap seperti tahu, bihun, lontong, juga gorengan.
Ara sampai di warung bakso milik Hans. Dian langsung masuk dan menunggu hans di meja dekat tempat mandi bola. Disana juga ada beberapa karyawannya yang sedang sibuk memasak bakso.
“Ada yang matang ga?” tanya Ara.
“Ada, mau mbak?” karyawan itu balik bertanya.
“Mau, yang pedes ya. Pedesan mana mercon sama bondet?”
“Pedes yang bondetlah mbak. Mau isian apa saja ini?”
“Bakso bondet dua, gorengnya empat.”
“Sudah mbak?”
“Iya itu saja. Es jus alpukatnya satu ya.”
“Siap mbak. Pak Hans ga kesini mbak?”
“Ini lagi janjian sama dia. Palingan sebentar lagi nyampe dia. Kenapa emangnya?”
“Gak kenapa – kenapa kok mbak. Soalnya kemarin pak Hans bilang mau cek bahan, mau ikut belanja.”
“Iya, kesini kok dia.”
Karyawan itu pun berlalu pergi membuat bakso pesanan Ara. Tak lama Hans pun datang.
“Sudah lama Ra?”
“Enggak kok kak. Baru saja. Aku minta bakso sama mereka. Hehe.”
“Buatin aku juga ya. Samain deh seperti punya Ara.”
“Tapi bos.”
“Sudah ga usah tapi – tapian.”
“Ra. Kamu ada temen ga yang bisa diajak kompromi?” lanjutnya bertanya pada Ara.
“Maksudnya gimana kak?”
“Pura – pura gitu.”
“Pura – pura apa?”
“Jadi pacarku.”
“Lah kak Hans masih belum nemu? Eh maksudku punya pacar?”
“Nemu, dikira barang apa Ra. Belum. Ga usah ketawa! Kalau ketawa baksonya bayar!”
Ara menahan tawanya. “Masalahnya temen deketku pada ga bakal mau kak.”
“Masa ga ada sih?”
“Dita mau?”
“Jangan ah. Hancur nanti reputasiku sebagai penjual cilok kalau pacaran sama dia.”
“Hahahaha. Aduh siapa ya? Nesa ga mungkin, Fira apa lagi.”
“Satu lagi, siapa temenmu yang satu lagi?”
“Siapa ya?”
“Bukannya kalian berlima?”
“Halah, aku temenan ga gitu kak. Semua juga temen. Yang suka ngerecok biasanya yang aku sebutin tadi, makanya jadi deket. Ah loli ya?”
“Loli? Yang anaknya pendiam itu loh Ra, yang paling ga banyak omong. Namanya Loli?”
“Iya bener namanya Loli. Tapi dia malah makin ga maulah kak.”
“Terus gimana dong Ra?”
“Ehmmmm. Gimana kalau, kita makan bakso dulu. Kalau laper susah mikir nih.”
Hans memutar kedua bola matanya. “Bilang saja laper.”
“Ya emang laper.”
“Tadi kan sudah makan nasi sebungkus sama sebungkus es pitol. Lupa?”
“Hehehe. Ya laper lagi kak.”
“Badan kecil, makannya banyak.”
“Bawel.”
Karyawan itu menyajikan bakso mereka di meja. Beserta es jus alpukat yang sudah dipesan Ara. Ara memakan baksonya dengan lahap. Ditambahkannya dua sendok sambal pada mangkuknya. Hans juga ikut makan, tapi baru juga satu gigitan Hans langsung meminum es jus alpukat milik Ara. Di mengibas – ngibas mulutnya dengan tangan.
“Weh pedes banget. Kamu gimana sih Dim.” Hans ngomel pada karyawannya.
“Kan tadi pak bos bilang ga usah tapi – tapian. Padahal saya mau bilang, kalau yang dipesan mbak Ara tuh bakso bondet.”
Wajah Hans memerah seketika, keringay pun bercucuran di dahinya. “Gika kamu Ra. Pesan kok yang begini.”
“Yang gila ya kamulah kak, kamu yang jual. Hahahaha. Makanya kalau ada orang mau ngomong tuh dengerin. Kepedesan kan jadinya.”
“Habisin juga nih punyaku. Mencret – mencret dah kamu Ra.” Hans berlalu. Dia menuju showcase untuk mengambil s**u coklat dingin. s**u dingin memang terbaik untuk menghilangkan rasa pedas. Sementara Ara hanya tertawa melihat tingkah kakaknya yang sedang kepedesan.
“Makasih ya kak.”
“Bocah gemblung, malah makasih.”
“Eh kakak uda mulai bisa bahasa jawa?”
“Ya kan denger dari yang beli cilok. Biasanya mereka suka ngobrol bahasa jawa. Aku dengerin saja mereka, eh lama – lama ngerti.”
“Ooooh.” Ara masih memakan baksonya dengan lahap. Tanpa merasa kepedesan sedikitpun.
“Jadi apa solusinya nih? Uda makan kan.”
“Gimana kalau aku saja yang pura – puta jadi pacarmu kak?”
“Bener – bener gemblung nih bocah.”
“Dengerin dulu ngapa.”
“Iya deh iya, gimana lanjutannya.”
“Aku kan punya dua nomer, nah nonerku yang satunya kasih saja nama Honey, Sweety, atau apalah. Nah, kita chatan aja gitu. Nanti tunjukin Ibu Ratu deh.”
“Kalau dia nyuruh nelpon gimana?”
“Ya aku angkatlah.”
“Kalau Ibu Ratu hapal suaramu gimana?”
“Tenang saja.”
“Beneran nih?”
“Iya. Hapus semua chat kita sebelumnya. Ayo kita mulai chat lagi.” Ucap ara sambil menaik turunkan alisnya.
“Oke deh. Dah habisin dulu tuh baksonya. Mules mules kapok kamu.”
“Tenang, perutku tuh ada filternya.”
“Filter apaan?”
“Semua makanan pedas tuh ya cuma pedas di mulut saja. Diperut mah engga. Hahaha.”
“Beneran gemblung nih bocah. Nyari pacar sana, biar ga gemblung – gemblung banget.”
“Yeee, sendirinya juga ga punya pacar.”
“Kok kita jomblo ya Ra?”
“Meneketehe.”
Hans hanya cemberut mendengar jawaban Ara. Dia melihat Ara yang sedang makan dengan lahapnya. Padahal bakso bondet itu adalah bakso yang diisi tiga sendok sambal, eh masih ditambah sambal juga sama Ara dikuahnya. Hans terheran – heran, bagaimana Ara bisa tahan dengan makanan pedas seperti itu. Tak ada desis kepedesan sedikitpun dari mulutnya, walaupun keringat sudah banyak menetes diwajahnya.
“Habis ini, aku pulang dulu kak. Ayah sebentar lagi pasti nyampe rumah.”
“Om Win pulang hari ini? Ku kira kalian tadi bercanda loh. Bungkusin baksonya buat orang rumah gih. Jangan pesen bakso bondet lagi. Inget perutmu juga butuh makanan yang normal.”
“Hahaha. Iya iya.”
“Dim, bungkusin lima bakso. Ga usah yang mercon ataupun bondet. Yang aman aman saja.”
“Siap bos. Bos nanti belanja jam berapa?”
“Habis bocah gemblung ini pulang. Aku cek bahan sekarang.”
“Makasih ya kak baksonya. Tambah jus juga ya lima.”
“Terserah kamu mau apa. Minta saja sama Dimas.”
Setelah membawa bakso dan jus miliknya, Ara segera pulang. Sesampainya di rumah ternyata Ayahnya sudah datang.
“Assalamualaikum.” Ucapnya pada Ara.
“Waalaikumsalam. Ayah kok sudah sampai?”
“Kebiasaan banget sih, masuk rumah tuh salam dulu. Angkat telpon juga salam dulu. Jalanan ga macet, jadu ya lebih cepat sampainya.”
“Hehe iya Ayah. Maaf deh.”
“Apa itu Ra?”
“Barusan Ara dari warung bakso kak Hans. Nih dikasih sama kak Hans.”
“Bukannya warungnya tutup ya Ra?” tanya Ibunya.
“Memang tutup Bu. Tapi kan mereka tetep masak buat besok.”
“Yah, temen kerja Ayah ada yang punya anak cewek ga?”
“Kenapa kamu tiba – tiba nanyain anak temen Ayah?”
“Buat dicomblangin sama kak Hans. Hahaha.”
“Hahaha. Nanti Ibunya bisa mencak – mencak kalau tahu Ayah yang ngenalin. Mana level dia sama anak karyawan Ra. Maunya tuh anak pengusaha, kaya raya.”
“Iya juga sih.”
“Memangnya Hans masih belum punya pacar Ra?” tanya Ayahnya.
“Belum yah. Ga laku kayanya dia disini. Hahaha.”
“Hush, ga boleh ngomong gitu.” Ucap Ibunya.
“Ya gimana mau laku Bu, diakan jualan cilok di kampus Ara.”
“Yang bener kanu Ra?” Ayah dan Ibunya kaget.
“Seriusan. Katanya dia capek dapet cewek matre terus. Mau nyari yang ga mandang harta katanya.”
“Bener itu Ra. Kalau hubungan hanya lihat harta, ya ga bakal awet.” Jawab Ibunya.
“Terus Ibu dulu lihat Ayah dari apanya? Udah hitam, gendut, duitnya pas – pasan juga. Hahaha.”
“Dasar nakal.” Ayahnya menjewer telinganya.
“Aduh sakit yah.”
“Ayah tuh dulu putih. Sekarang saja sering dinas luar. Ya gosong deh. Kata siapa uang ayah pas - pas an?”
“Kataku. Hahaha.”
“Sudah – sudah, ayo dimakan baksonya. Keburu dingin.”
“Wiwid belum pulang bu?” tanya Ayahnya.
“Belum, ada acara katanya.”
“Iya yah, ada acara di kantornya. Pake dress code biru. Baju Ara deh jadi korban.”
“Yaudah, nanti kita beli baju baru.”
“Asyiiiiik.”