Tin. Tin. Tin.
Suara klakson mobil kak yoga yang sudah ada di depan rumah Ara.
“Gawat. Mereka uda sampai.” Ucap Ara.
“Kenapa?”
“Kak yuga sama temen – temen uda sampai disini nih.”
“Eh kita bablas aja ya ngobrolnya dari tadi. Hahaha.”
“Aku siap – siap dulu. Aku matiin ya teleponnya. Dah.”
“Iya. Hati – hati.”
Tut.
Ara segera menyamber kerudung yang dia sampirkan di kursi. Mengambil tas dan segera keluar kamar.
“Buk, berangkat. Uda di jemput sama anak – anak.” Ucap Ara sambil mencium tangan ibunya.
“Hati – hati.”
“Iya buk. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam.”
Ara segera kuar rumah dan menghampiri mereka. Ternyata semua temannya malah di luar mobil.
“Kalian ngapain?”
“Mau mampir.” Jawab Fira.
“Kok mampir? Bukannya buru – buru ya? Kan jam sembilan disuruh nyampe sana?”
“Laper. Minta makan dong. Hehe.” Fira nyengir. Kak yuga dan Nesa juga nyengir.
“Kalian tadi ga pulang? Kok sampe kelaperan barengan.”
“Hehehe. Boleh mampir ga nih?” tanya Fira.
“Ya boleh, tapi apa gapapa kalau telat. Kak yuga mau tanggungjawab?”
“Beres. Asal perut kenyang semua senang.”
“Yaudah ayo masuk.”
“Buuuuuuk ada temen Ara, minta makan katanya.” Lanjut Ara.
“Ga segitunya juga keles ra.” Ucap Fira kesal.
“Biarin. Hahaha.”
“Oh temennya ara ya. Ayo masuk sini – sini. Makan ke meja sana aja hayuk. Kebetulan masakan ibuk juga masih banyak.” Ucap ibu Ara mempersilahkan mereka masuk.
“Buk, kenalin ini calon mantunya. Hahahaha.” Ucap Fira iseng.
“Eh mantu? Calonnya Ara?”
“Engga buk, gosip aja mereka.”
“Tanya saja sama orangnya buk. Iya ga kak?” desak Fira.
“Bohong buk.” Sela Nesa.
“Ish kamu nih. Bikin kacau saja.” Jawab Fira kesal.
“Makanya jangan bikin gosip.” Lanjut ara.
“Tau nih, ketularan Dita kayanya dia Ra.”
“Aku bilangin Dita kalian nanti.”
“Bilangin aja ga takut.” Jawab Nesa.
“Sudah – sudah, makan dulu.” Ibu Ara menengahi mereka.
Kak yuga dari tadi diam, tak menimpali satupun obrolan mereka. Ternyata dia sedang menikmati kunyahan demi kunyahan makanan yang ada dalam mulutnya.
“Pantesan ga nyahut. Ngenakin makan dia.” Sungut Fira.
Mereka melahap habis masakan ibu Ara. Ara hanya kebagian nunggu mereka makan. Karena dia sudah kenyang hanya dengab melihat mereka makan.
“Kalian tadi kemana sih?” tanya Ara.
“Ada urusan.” Jawab Fira.
“Urusan apa?”
“Ada deh.”
“Nes, kalian tadi darimana?”
“Dari rumahku. Ngeprint soal buat semi final besok.”
“Kaliam tadi ga sempet makan?”
“Mana bisa makan. Tahu kan rumah Nesa dimana? Pelosok, dan mana ada makanan di rumah dia. Wong dia tinggal sendirian.” Jawab fira nyerocos.
“Ya sapa suruh minta ngeprint di rumahku. Padahal kan busa ke rumah kak yuga.”
“Udah – udah. Berangkat yuk, uda hampir jam sembilan nih.”
Mereka berpamitan ke ibu Ara. Lalu kak yuga menggas mobilnya dengan kencang.
“Kak, kenapa dari tadi diem aja?” tanya Ara.
“Gapapa.”
“Yakin? Masakannya ga enak ya?”
“Kalau ga enak, ya ga bakal habis Ra.”
“Terus kenapa dari tadi diem aja?”
“Selilitan nih ga kena – kena dari tadi.”
“ASTAGA.” Ucap Ara, Fira dan Nesa bersamaan.
“Kenapa ga bilang dari tadi. Di rumah kan ada tusuk gigi kak.”
“Ga kepikiran. Hehehe.”
Nesa menepuk jidat Fira.
“Apa sih Nes. Sakit tahu.”
“Ya karena aku tahu kalau sakit. Jadi aku nepuknya jidat kamu.”
***
Pagi hari yang cerah. Matahari sudah berada di peraduannya. Mereka sudah bersiap untuk menyambut hari yang akan menguras tenaga itu. Mereka sudah memepersiapkan semuanya.
08.00
Para peserta sudah memasuki ruang olimpiadenya masing – masing. Suasana sangat tenang dan nyaman. Para guru pendamping juga sedang mengikuti seminar di gedung. Jam – jam senggang bagi para panitia. 2 jam lagi, suasana akan sibuk lagi. Ara dan teman – temannya duduk selonjoran di balik gedung seminar.
“Laper nih.” Ucap Fira.
“Astaga. Belum sarapan kamu?” sahut Nesa.
“Sudah. Hehe.” Jawabnya.
“Sudah sarapan masih laper. Itu perut apa kulkas. Ga penuh – penuh tiap kali makan.” Omel nesa.
Ara dan Dita hanya senyum – senyum mendengar obrolan mereka.
“Ya gimana dong. Namanya laper, masak mau bilang kenyang sih.”
“Noh ada kursi, kerikitin gih.”
“Kamu kira aku rayap.”
“Ya kan kamu sama kayak rayap. Makan terus ga kenyang – kenyang.”
Fira cemberut. Ara dan Dita langsung tertawa terbahak – bahak mendengar jawaban Nesa yang nyelekit dihati.
Klotak.
“Ssssstttttt.”
Sebuah sepatu mendarat di depan mereka.
“Jangan kenceng – kenceng kalau ketawa. Lagi ada seminar.” Ucap seseorang dari balik tembok yang mereka sandari.
“Iya maaf. Balas mereka berbisik.”
“Kamu sih Nes.” Omel Fira.
Belum sempat Nesa menjawab, Dita segera melerainya.
“Ssstttt diem. Nanti sepatunya nyampe sini lagi loh.”
10.00
Babak penyisihan untuk tingkat SMP – SMA sudah selesai. Para peserta berhamburan keluar kelas. Beberapa wajah mereka terlihat senang, ada juga yang terlihat masam. Ada yang mengobrol tentang soal – soal yang belum selesai mereka kerjakan. Ada pula yang menyesal karena salah perhitungan. Beberapa dari mereka menyerbu stand – stand bazar yang menyediakan segala macam camilan dan minuman. Mulai dari cilok, cireng, mie rebus, gorengan, dan banyak lagi.
Ara memulai langkahnya dengan malas. Rasa ngantuk tiba – tiba saja menyelimutinya.
“Kenapa Ra?” tanya Nesa.
“Ngantuk Nes.”
“Minum kopi gih.”
“Malah tambah ngantuk aku kalau minum kopi.”
“Eh, kok aneh?”
“Kamu ga inget ya waktu bikin kolam lempung tuh?”
“Oh aku ga ikutan sih waktu itu. Kenapa memangnya?”
“Jadi waktu itu kan ada kopu sama teh. Maksud hati pingin begadang, biar melek ya minum kopi. Eh malah lima menit kemudian menguap terus. Ga lama tidur pules. Hahaha.”
“Sarafmu ada yang konslet tuh kayanya. Hahaha.”
“Iya mungkin.”
Mereka berjalan menuju ruang koreksi. Menyerahkan lembar jawaban pada tim koreksi. Lalu menjaga di luar ruangan sampai semua lembar jawaban selesai dikoreksi.
“Aku tidur dulu ya Nes.” Ucap Ara.
“Tidur dimana?”
“Disini. Ngantuk banget nih. Ga bisa dikompromi.”
“Yasudah sana. Lumayan kalau bisa tidur sampe selesai koreksi jawaban peserta.”
Ara tak menjawab. Dirinya sudah terlelap dan berada dalam alam mimpi. Nesa mendengus,
“Yeee, ngomong sama orang tidur dong aku barusan.”
Tak lama hape Ara berdering. Nesa melihat Ara tak merespon hapenya. Sepertinya dia tidur sangat pulas. Nesa mengambil hape Ara dan melihat siapa yang menelpon.
“Kok ga ada namanya ya.”
Nesa memutuskan untuk mengangkatnya.
“Hallo.”
“Hallo. Siapa ini?”
“Ya kamu yang siapa?”
“Kamu siapa?”
“Kamu tuh yang siapa?”
“Aku pacarnya Ara.”
“Pacar Ara?”
“Kenapa?”
“Ga usah ngaku – ngaku deh. Kamu siapa?”
“Aku pacarnya.”
“Kamu Diki?”
“Siapa Diki?”
“Lah katamu kamu pacarnya. Kalau bukan Diki siapa lagi?”
“Aku bukan Diki.”
“Ya terus siapa?”
“Pacarnya Ara. Ara mana sih?”
“Mendingan kamu ngaku dulu siapa, baru aku kasih hapenya ke dia. Kalau kamu Diki, kamu nyari masalah sama aku. Ngapain kamu menghubungi Ara lagi hah.”
“Aku bukan Diki.”
“Kalai kamu bukan Diki, berarti kamu ngaku – ngaku jadi pacar Ara ya kan? Ara ga punya pacar.”
“Oh dia ga punya pacar.”
“Kok oh?”
“Memangnya dia putus sama Diki kenapa?”
“Kok kepo. Kalau masih ga ngaku siapa aku matiin nih teleponnya.”
“Aku lagi deket sama dia.”
“Namanya?”
“Emangnya dia ga cerita?”
“Engga emangnya kenapa? Kamu ga penting berarti makanya dia ga cerita – cerita.”
Dia terdiam.
“Wey kenapa? Sakit hati ya? Hahahaha. Bercanda doang uda baper.”
“Bercandamu ga lucu.”
“Emangnya kamu beneran deket sama Ara? Sejak kapan? Kamu siapa sih?”
“Aku Luffi. Belakangan ini sih, baru – baru aja deketnya.”
“Pantesan.”
“Pantesan kenapa?”
“Gapapa. Mau ngobrol sama Ara?”
“Iya, dia lagi sibuk ya?”
“Iya sibuk. Sibuk tidur.”
“Kok tidur? Bukannya lagi ada acara ya di kampus?”
“Kecapekan kayanya.”
“Kalau gitu aku matiin aja deh teleponnya. Biar dia tidur, salam kenal. Doain aku sama dia lancar ya.”
“Kok pede banget sih kamu. Hahahaha. Tapi bagus sih, Ara memang harus di to the point in. Kalau ga, ga bakal peka dia. Moga sukses deh buat kalian.”
“Makasih. Aku tutup.”
“Oke.”
***
10.45
Babak semi final tingkat SD, SMP dan SMA segera dimulai. Untuk para finalis SD, mereka akan maju di atas panggung dan menyelesaikan soal di depan semu penonton. Dengan catatan para penonton tidak boleh bersuara sampai mereka selesai mengerjakan soal. Sementara semi final tingkat SMP – SMA, menunggu giliran untuk mengerjakan setelah peserta tingkat SD selesai.
Anak – anak SD itu lucu – lucu. Dengan tingkahnya yang masih kekanakan dan ekspresi wajah yang masih natural. Beberapa dari mereka terlihat pasrah, ada juga yang semangat mengerjakan, ada pula yang menggaruk kepalanya. Entah karena gatal atau bingung cara mengerjakannya. Berbeda dengan saat anak – anak tingkat SMP dan SMA. Saat mengerjakan soal mereka terlihat serius. Walapun ada beberapa yang mengerjakan dengan santai kayak dipantai. Namun, ekspresi tegang diwajah mereka tak dapat ditutupi. Semua nampak jelas terlihat. Ada harapan disetiap helaan napas mereka. Harapan menjadi juara.