"Mall yang di dekat jalan baru itu kan??" tanya Thomas, kepada wanita di sisinya dan sembari memegangi setir.
"Iya, Dad. Katanya sih di sana," ucap Yasmine yang kembali membaca isi pesan dari Axel.
"Ya sudah. Kita jalan sekarang," ucap Thomas yang sudah mulai melaju dengan mobilnya.
"Kita beneran mau nyusul mereka nih, Dad?? Kalau Kak Axel marah gimana???"
"Kenapa harus marah??" tanya Thomas sembari mengemudi dan melihat jalanan melalui kaca spion.
"Ya kan Kak Axel sedang kencan, Dad. Kita datang, terus jadi ganggu mereka dong."
"Mall itu tempat umum. Bukan tempat pribadi. Siapapun bisa datang ke sana. Benar kan??"
"Ya iya sih."
"Ya sudah. Duduk dan diam saja, kita akan segera sampai di sana," ucap Thomas yang segera tancap gas dan melaju dengan kecepatan yang lumayan kencang.
Sementara itu di dalam gedung bioskop yang gelap.
"Om Thomas duluan, yang suka dengan kamu?" tanya Axel tiba-tiba.
"Ha? Kenapa, Kak?" tanya Vivian sembari menoleh dan menatap lelaki yang arah tatapannya sedang lurus ke depan. Tadi ia sedang tidak fokus, karena asyik menonton.
"Om Thomas, yang mendekati kamu duluan??" tanya Axel lagi dan dapat dipahami oleh Vivian.
"Iya."
"Bertemu dimana??" tanya Axel lagi.
"Club," jawaban yang kini malah membuat Axel yang menoleh kepada Vivian.
"Hah?? Apa??"
Vivian mengembuskan napas. "Kita bertemu di club. Sama-sama sedang minum."
"Kamu sering ke sana??" tanya Axel yang masih juga tidak percaya. Kelihatan seperti wanita baik-baik, tapi malah ada main dengan pamannya. Kelihatan seperti wanita yang polos, tapi malah datang ke club malam.
"Baru. Baru pertama kali dan langsung kapok ke sana lagi. Pikiran aku sedang buntu dan kacau waktu itu. Cuma berusaha cari pelarian sementara. Tapi malah bertemu dia di sana," jelas Vivian.
"Jadi pertama kali dan langsung bertemu, lalu menjalin hubungan??" ucap Axel yang masih juga penasaran. Habisnya, Vivian tidak mau menceritakan, bagaimana awal mula perkenalan mereka.
"Susah bila dijelaskan. Pokoknya, kita bertemu di sana dan bisa sampai sekarang," ucap Vivian, yang tidak mungkin juga menceritakan dengan sejelas-jelasnya, hal apa saja yang telah ia lakukan bersama dengan pria, yang lebih dewasa dari dirinya itu.
"Hah... Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa selera kamu seperti itu? Tidak ada yang lain?? Maksudku , bukan karena jelek atau apa. Tapi jarak usianya terlalu jauh kan? Kenapa tidak cari yang sebaya?? Atau yang sebaya kurang mapan?? Kamu cari yang sudah mapan??"
Vivian tersenyum tipis. "Tidak cari yang bagaimana-bagaimana. Aku juga malas punya hubungan dengan siapa-siapa. Cuma mau fokus menata hidup sendiri dan jadi orang yang sukses, dengan usaha sendiri. Tapi, dia malah datang dan buat aku jadi bimbang. Aku sampai lupa arah dan tujuan. Aku jadi bingung harus bagaimana sekarang. Dia seperti tidak mau lepas," ungkapan hati , yang kini sedang Vivian rasakan.
"Benarkah?? Mungkin, karena terlalu lama sendiri, Om jadi seperti itu dan lagi, perawakan kamu itu mirip mendiang istrinya. Aku tidak pernah lihat langsung sih. Tapi aku lihat foto-fotonya, pas di waktu hari pernikahan. Kebetulan, orang tuaku juga menyimpannya di rumah."
"Oh begitu ya?" ucap Vivian yang tidak mau ambil pusing. Mau dikatakan mirip atau apa, yang ia pikirkan sekarang, apa lagi hal yang akan terjadi setelah ini. Apa lagi yang harus ia lakukan, untuk memenuhi keinginan orang-orang ini. Termasuk dengan lelaki yang sedang jauh di sana juga. Yang sudah pasti akan mengamuk, karena ia malah pergi bersama dengan keponakannya begini.
"Kita mau kemana lagi setelah ini, Kak?" tanya Vivian, yang ingin segera menyelesaikan hari, agar ia juga tetap bisa aman nanti dan lelaki di sisinya ini akan tetap tutup mulut.
"Em, kemana ya? Aku bosan di rumah. Pergi ke arena bermain saja bagaimana?? Atau mau makan dulu nanti?"
"Terserah kakak. Aku ikut saja. Cuma boleh mengikuti kata-kata dari kakak saja kan??"
Axel tersenyum dan menggeleng pelan. "Ya kamu juga boleh menyampaikan pendapat. Apa lagi, aku juga bertanya kepada kamu. Jadi ya jawab saja. Tidak apa-apa."
"Main lagi saja. Kalau makan, aku masih kenyang," jawab Vivian.
"Nah begitu bagus. Ya sudah. Nanti, kita pergi ke timezone saja ya," balas Axel yang kembali tertuju pada layar di depan sana lagi.
"Iya, Kak."
Sementara itu di luar gedung bioskop.
"Teater berapa??" tanya Thomas, kepada Yasmine yang sedang berusaha untuk menghubungi orang, yang mendadak jadi sulit untuk dihubungi ini.
"Tidak tahu, Dad. Kak Axel belum balas. Nomornya Vivian juga malah nggak aktif ini."
Thomas berdecak dan mengembuskan napas. Apa terlalu serius menonton, jadi tidak memperhatikan ponsel sama sekali kedua orang itu??
"Dad, kita tunggu di pintu keluarnya aja yuk!" ajak Yasmine.
"Tunggu di pintu keluar?? Kita harus tunggu mereka sampai selesai??" tanya Thomas yang kelihatan jutek sekali. Sudah di depan mata begini, masa iya tidak ketemu juga? Yang benar sajalah!
"Ya habisnya mau gimana lagi, Dad. Chat nggak dibales. Telepon juga nggak diangkat. Masa iya, kita mau cari di tiap teater satu-satu??"
"Hahh... Ya sudah ayo!" cetus Thomas yang mau tidak mau dan terpaksa setuju.
Yasmine berjalan duluan dan menggiring sang ayah ke sebuah tempat duduk yang memanjang. Mereka berdua duduk di sana sambil menunggu sepasang orang, yang sedang menonton film di dalam teater bioskop.
"Dad?? Kenapa kita jadi menunggu Kak Axel dan Vivian begini??" tanya Yasmine, yang baru menyadari hal yang janggal ini.
"Kamu ingin main dan bosan di rumah kan??" ucap Thomas dan tetap saja tidak Yasmine mengerti maksud serta tujuannya.
"Ya iya. Tapi, kita kan sudah di sini. Kita bisa main sendiri. Pergi ke timezone atau menonton film sendiri. Kenapa jadi harus menunggu mereka segala??"
Thomas yang sedang duduk bersandar dengan tenang. Kini maju dan duduk dengan tegak. Ia lihat putrinya yang duduk di sampingnya ini dan kemudian melontarkan kata-kata.
"Hanya main berdua tidaklah seru. Kita bisa main berempat nanti. Lagi pula, kamu memangnya tidak malu, kalau pergi bersama Dad berduaan saja?? Ya setidaknya, kamu bisa bermain dengan yang sebaya kamu. Itu pasti lebih menyenangkan bukan?? Jadi lebih baik, kita tunggu dan main bersama dengan mereka."
"Hahh... Ya sudah. Terserah Dad saja. Tapi pasti Kak Axel bakalan marah sih. Soalnya kan, kita jadi ganggu acara kencan mereka. Ini aja telepon sama chat nggak digubris. Pasti, mereka nggak mau diganggu tuh."
"Biar saja!" cetus Thomas yang kembali duduk dengan bersandar lagi dan sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya sendiri.
Setelah hampir dua jam menunggu. Film pun berakhir dan lampu di dalam teater bioskop kembali menyala lagi. Axel melakukan peregangan otot dengan kedua tangan yang ia angkat ke atas. Sesudahnya, ia pun bangun dari kursi dan Vivian juga, baru bisa ikut bangun dan berjalan melalui jalan berundak bersama dengan Axel.
"Filmnya membosankan," ucap Axel sembari berjalan dan mengomentari apa yang mereka tonton tadi. Sementara Vivian malah sibuk mengusap sudut-sudut kedua matanya.
Untuk ukuran Axel film tadi memanglah membosankan. Tapi bagi Vivian, justru malah mengharu biru. Apa lagi, film tadi berkisah tentang sebuah keluarga yang hancur. Sama seperti dirinya. Ditinggal oleh ayah dan tidak lama setelahnya oleh ibunya juga, itupun di tangan ayah sambungnya sendiri. Selama ini, ia terus mencoba untuk menjadi kuat demi dirinya sendiri. Tapi menonton film saja, ia langsung tidak tahan sendiri.
"Mungkin karena keluarga Kak Axel lengkap," ucap Vivian sembari terus berjalan
Tapi karena mata yang sedang ia usap, jalanan jadi kurang terlihat dan Vivian hampir saja terjerembab. Untungnya, ada Axel yang sigap dan menahan tubuh Vivian yang mungil, cukup dengan satu tangannya saja, hingga tubuh Vivian menggantung di lengan Axel yang panjang.
"Hampir saja," ucap Axel sembari menarik tubuh Vivian dan membuatnya berdiri dengan tegak lagi. "Ada yang terluka tidak??" imbuh Axel.
Vivian menggeleng kepalanya sambil memajukan bibirnya sendiri.
"Ya sudah. Ayo jalan lagi," ucap Axel sembari menepuk puncak kepala Vivian dan menunggu Vivian berjalan duluan.
Vivian pun melangkah kembali dan untuk yang kali ini, ia lebih berhati-hati lagi, agar kejadian yang tadi tidak terulang kembali.
Setelah melewati jalan yang berundak hanya tinggal melalui pintu yang bertuliskan 'EXIT' di depan sana dan mereka kini, akhirnya berada di luar teater.
Vivian menunggu Axel, lalu berjalan berbarengan dengannya dan saat sudah beberapa langkah dari pintu tadi, dari kejauhan Vivian melihat seorang wanita, yang melambaikan tangan ke arahnya sembari dengan tersenyum semringah, maupun meneriakinya juga.
"Vivian!! Sini!" panggil Yasmine dan Vivian pun seketika menganga, ketika melihat siapa orang yang sedang duduk di sebelahnya. Orang itu berwajah masam dan juga sedang menatap ke arahnya juga, dengan kedua tangan yang ia silangkan di depan tubuhnya sendiri.
"Kamu menyusul??" tanya Axel kepada Yasmine. Yaa, berpura-pura bodoh saja dulu. Padahal, ia sudah tahu, bila ia akan sampai disusul ke sini. Ternyata, dipanasi sedikit, pamannya yang posesif ini, sudah bak cacing kepanasan dan langsung mendatanginya begini.
Menarik sekali.
Jadi semakin terpacu, untuk menggodanya terus menerus.
"Iya, Kak. Aku bosan di rumah. Jadinya nyusul deh. Nggak apa-apa kan ya?? Aku ganggu kalian ya??" ucap Yasmine.
"Iya. Kamu mengganggu nih. Tapi lain kali, jangan dilakukan lagi ya?? Kita baru juga bersenang-senang sebentar. Iya kan Vivian??" ucap Axel sembari menoleh kepada wanita yang berdiri di sampingnya, yang dengan terpaksa harus mengangguk, sampai lelaki yang sedang duduk di kursi, seperti ingin mengamuk.
"Iya maaf deh. Lain kali, aku nggak akan ganggu lagi. Oh iya, sekarang kalian mau pergi kemana?? Boleh ikut kan??" ucap Yasmine antusias.
"Em, bagaimana ya? Ya boleh deh. Tapi untuk hari ini saja ya?? Nanti-nanti, sudah tidak boleh ikut-ikutan!" cetus Axel.
"Iya kak. Nanti nggak akan ganggu lagi deh nanti," balas Yasmine.
"Oh iya, Om ikut juga??" tanya Axel kepada lelaki yang tatapannya sinis di sana.
Thomas berdehem, lalu bangkit dari kursi dan memasukkan satu tangannya, ke dalam saku celananya sendiri.
"Iya. Quality time bersama Yasmine," ucap Thomas dengan alasan, yang membuat Axel harus berjuang keras, untuk menahan diri agar tidak tertawa. Ia tahu pasti, apa alasan pamannya itu berada di sini.
"Oh begitu. Jadi, Om mau ikut juga bersama kami?" tanya Axel yang seperti meledek lelaki dewasa satu ini.
"Tentu saja. Yasmine tetap harus dalam pengawasan," balas Thomas lagi.
"Ya sudah. Kalau begitu, ayo kita jalan," ajak Axel.
"Kita mau kemana emangnya, Kak??" tanya Yasmine.
"Timezone, Yas," jawab Vivian.
"Oh... Ya sudah ayo kita ke sana sekarang!" seru Yasmine yang sudah sangat bersemangat, sampai menggandeng tangan Vivian dan membawanya berjalan duluan.
Axel pun ikut melangkah juga dan sudah hampir mendekat, ke arah dua gadis yang berada di depan sana. Ketika sudah berada satu langkah di belakang mereka berdua, tangannya tiba-tiba saja terulur ke samping dan hendak menyentuh bahu Vivian. Namun, sebelum hal itu sempat terlaksana, sebuah tangan terulur juga dari arah belakangnya, menyentuh jaket yang digunakan oleh Axel dan menariknya dengan kasar hingga ke belakang.
"Berjalanlah dengan lebih pelan," ucap lelaki, yang kini melepaskan jaket yang ia cengkraman tadi dan berjalan bersebelahan, dengan orang yang seketika tersenyum masam di sebelahnya.
"Siap, Om!" balas Axel yang memasukkan dua tangannya ke dalam saku jaket dan berjalan bersama dengan Thomas, di belakang dua wanita, yang sudah jalan duluan di depan sana.
Thomas mengembuskan napas dengan sedikit lega. Kalau begini, ia jadi bisa memantau langsung dan tidak akan sampai kecolongan. Tadi hampir saja, lelaki ingusan ini mengambil alih tempatnya dengan sembarangan.
Enak saja.
Siapa dia, yang berani-beraninya merangkul wanita miliknya itu!
Tidak akan ia biarkan!
Selama ia ada di sini.