Dilema

2240 Kata
"Mau main yang mana dulu??" tanya Axel kepada dua wanita, yang baru saja mengisi saldo kartu, untuk memainkan semua permainan yang ada di tempat ini dan tentu saja, yang paling tua lah yang membayar dan sekarang baru selesai memasukkan kartu miliknya ke dalam dompet. Tapi malah melihat tiga orang tadi, yang sudah pergi meninggalkannya sendiri. Thomas mengembuskan napas, lalu menyusul ketiganya, yang sekarang sedang berada di depan sebuah mesin capit boneka. "Mana kartunya?? Sini, aku ambilkan," ucap Axel yang maju sebagai pahlawan kesiangan. "Kak, ambilkan yang itu tuh," tunjuk Yasmine pada satu boneka beruang berwarna merah muda. "Kamu mau yang mana??" tanya Axel kepada wanita satunya lagi, yang hanya diam saja sembari memperhatikan ke dalam mesin capit ini. "Aku mau yang itu," ucap Vivian sembari menunjuk boneka beruang yang warna putih. "Kak, punyaku duluan lho! Kan Daddy yang bayar tadi," ancam Yasmine yang tidak mau kalah. "Iya bawel," jawab Axel sembari serius memperhatikan ke dalam kotak, melalui kaca yang transparan ini. Axel sudah mulai menggerakkan tangannya dan alat capit di dalam mesin pun mulai bergerak , ke arah dua boneka yang berdempetan. Sepasang bola mata Axel terfokus pada boneka beruang yang berwarna merah muda. Ia atur letak posisi capit nya dan menurunkan, hingga berhasil mengapit boneka yang berwarna merah muda itu. Yasmine sudah tersenyum kegirangan dan ketika diangkat, boneka tersebut malah terjatuh kembali dan Axel mengayunkan tinjunya ke bawah. "Ah! Gagal kan!" seru Axel, yang merasa kecewa sendiri. "Awas!" ucap orang yang sejak tadi hanya diam saja, sambil memperhatikan dengan gemas. Tetapi sekarang, ia sudah mengambil alih tempat Axel tadi dan berusaha untuk mengambil boneka, yang paling dekat lebih dulu. "Yah!! Yang pink-nya malah jauh," ucap Yasmine agar sang ayah berusaha untuk mengambilkan boneka yang ia inginkan. Akan tetapi, alat capit itu malah pergi ke boneka lain, yang lebih dekat dengan lubangnya. Semuanya terdiam dan menunggu dengan jantung yang berdebar keras. Kemudian, tidak sampai hitungan menit, satu boneka ditarik dan dijatuhkan ke dalam lubangnya. Vivian sudah hampir tersenyum dan Thomas pun segera berjongkok, untuk mengambil boneka tersebut. Sebuah boneka beruang berwarna putih sudah pun telah diraih oleh Thomas dan ia kembali berdiri lagi dengan tegak dengan boneka yang berada di genggaman tangannya. Sudah memiliki niatan, untuk memberikan boneka tersebut, kepada wanita yang menginginkannya. Sudah hendak mengulurkan tangannya, ke arah wanita itu juga. Namun, tangan yang lain malah menyambarnya lebih dulu, sampai Thomas pun hanya bisa menganga dibuatnya. "Ini untuk Yasmine kan, Dad??" ucap Yasmine yang sudah mendekap boneka yang tadi ia dapatkan. Thomas menoleh kepada Vivian yang segera menundukkan kepalanya. Dilema. Ingin menarik dan memberikannya kepada Vivian. Tapi Yasmine adalah putrinya sendiri. Dia pasti kecewa nanti, kalau sampai ia melakukannya. Thomas menelan salivanya sendiri. Ia gamang dan Axel pun segera berdiri di depan mesinnya lagi, lalu menatap kepada Vivian. "Yang warna cokelat mau?" tanya Axel kepada wanita yang sedang menunduk itu. Hanya warna cokelat saja, yang kelihatannya mudah untuk diambil. "Iya, Kak. Warna apa saja," jawab Vivian sambil menggigit bibir bawahnya sendiri. Thomas diam mematung. Tidak ada yang berani mengomentari wanita, yang sedang sibuk dengan mainan barunya. Mereka hanya fokus kepada permainan boneka capit lagi saja dan berusaha untuk mengambil yang lainnya. Axel sudah mulai menjalankan mesinnya lagi dan mengarahkan capit bonekanya, ke arah boneka yang berwarna cokelat. Ia turunkan dengan segera, setelah melakukan perhitungan yang matang dan boneka itu pun terbawa, lalu dijatuhkan pada lubangnya. Axel segera berjongkok dan merogoh ke dalam mesin bagian bawah, lalu mengeluarkan bonekanya dari dalam sana. Ia pun bangkit dari sana dan berdiri di hadapan Vivian. "Ini, milik kamu," ucap Axel seraya memberikan boneka beruang warna cokelat itu kepada Vivian. Vivian tersenyum tipis dan mengambil apa yang sudah susah payah Axel ambilkan untuknya, lalu mendekap boneka itu juga dan tersenyum dengan lebih tulus dan juga lebar. "Terima kasih, Kak," ucap Vivian dengan senyuman yang masih bertahan di bibirnya sekarang. Tangan Axel reflek terulur dan menyentuh ujung kepala Vivian, lalu mengusap-usapnya penuh dengan kelembutan. "Iya sama-sama. Ayo, kita pergi main yang lain," ajak Axel. Vivian mengangguk dan pergi bersama dengan Axel. Yasmine juga segera menyusul di belakang mereka dan hanya Thomas saja, yang masih berdiam diri dan terpaku di tempat. Ia merasa telah kalah satu langkah, dari keponakannya sendiri. Ia gagal, untuk menyenangkan hati Vivian dan malah lelaki lain lah, yang sudah berhasil melakukannya. Thomas mengembuskan napas dan segera datang menyusul. Setelah tiba di dekatnya, ia pandangi terus menerus, wanita yang bahkan sedang melihat, juga menyemangati lelaki, yang sedang bermain bowling di sana. "Ayo, Kak! Kakak pasti bisa!" seru Vivian sembari tersenyum dengan lebar. Tapi ketika menoleh dan melihat dirinya, Vivian pun malah menghentikan senyumannya itu. Tangan kiri Vivian terlihat mendekap boneka beruang berwarna cokelat. Sementara tangan kanannya nampak menjuntai ke bawah. Thomas memperhatikan ke arah sekeliling dan juga, kepada wanita dan pria di depan sana, yang sedang bermain bowling. Setelah dirasa cukup aman, tangan Thomas mulai merayap dan berusaha untuk menyentuh tangan Vivian yang sedang menjuntai ke bawah tadi. Baru tersentuh sedikit, Vivian melonjak kaget dan segera menoleh, lalu cepat-cepat menarik tangannya, saat sadar, bila ada yang sedang mendekati dirinya secara diam-diam. Vivian pun saat kini, malah mendekap boneka dengan kedua tangannya dan kemudian pergi ke depan sana, lalu berdiri di sisi Yasmine. "Kamu mau main juga??" tanya Yasmine. Vivian menggelengkan kepalanya dan Axel, yang sudah selesai dengan gilirannya itu pun mendekati Vivian. "Mau ikut main??" tanya Axel. "Tidak bisa, Kak," jawab Vivian. "Aku ajari mau??" tanya Axel. "Eum, boleh deh, Kak," jawab Vivian yang penasaran juga, dengan cara mainnya. "Ya sudah. Bonekanya simpan dulu," perintah Axel. Vivian nampak mencari-cari tempat dan mensejajarkan boneka miliknya, dengan milik Yasmine pada kursi. Selanjutnya, ia pun mendekati Axel kembali dan berdiri di sebelahnya. "Ini, kamu pegang bolanya dulu. Kamu masukkan jari kamu ke sini ya?" ucap Axel yang sudah memulai instruksi yang Vivian lakukan dengan sebaik-baiknya. "Kalau sudah , nanti tinggal lemparkan ke sana," ucap Axel dan Vivian pun menggelindingkan bola bowling nya dengan sangat pelan hingga bola tidak meluncur ke tengah, melainkan melenceng ke bagian sisinya saja. Axel berjongkok dan menutupi wajahnya sendiri. Ia tutup karena sedang menahan untuk tidak tertawa. Tapi malah menertawakan Vivian juga ujung-ujungnya. "Ya ampun, Vi. Bukan begitu," ucap Yasmine, yang ikut-ikutan tertawa juga. "Ya aku tidak tahu cara mainnya," ucap Vivian. "Sini sini, aku yang ajari sini," ucap Yasmine yang ikut memberikan tips dan juga trik dalam bermain bowling. Ketiga orang di depan sana asyik sendiri. Sementara lelaki yang sejak tadi hanya berdiri, ia hanya dapat menatap dari kejauhan saja, keakraban ketiganya. Ingin ikut bermain juga, tapi seperti tidak ada celah untuknya. Sekarang, ia bahkan seperti seorang pria, yang sedang mengasuh ketiga anaknya saja. Thomas pun kini duduk pada kursi panjang, di dekat dua boneka yang sedang diletakkan dengan sejajar. Ia pandangi dua boneka itu dan kembali merasakan rasa bersalah lagi. Harusnya, ia memberikan untuk Vivian tadi dan bukannya malah Axel. Setelah tiga orang yang sudah lelah bermain. Yasmine datang ke sisi Thomas dan mengambil boneka miliknya, lalu duduk di samping Thomas sembari menyandarkan kepalanya di lengan Thomas. "Sudah mainnya??" tanya Thomas. "Iya, Dad. Sudah. Capek juga ternyata," balas Yasmine. "Pergi kemana mereka??" tanya Thomas yang melihat Axel pergi bersama dengan Vivian berduaan. "Oh mau beli minuman dulu sebentar katanya. Nanti juga ke sini lagi," jawab Yasmine sembari membelai- belai boneka miliknya. "Kamu yakin ingin yang itu??" tanya Thomas dan yang sedang bersandar padanya itupun mengangkat kepalanya dan menatap kepada Thomas. "Kenapa memangnya, Dad??" tanya Yasmine. "Bukannya, kamu mau yang merah muda tadi? Nanti Dad ambilkan warna yang kamu mau." "Ah ini juga sudah bagus kok. Yas suka yang ini," ucap Yasmine sembari mendekap boneka yang sempat diinginkan oleh Vivian. Sudahlah tidak ada harapan. Nanti, ia akan membelikan yang lain saja untuk Vivian. Agar dia tidak marah kepadanya lagi. Dua orang yang sempat pergi tadi, akhirnya kembali lagi. Mereka datang dengan empat botol air mineral yang masing-masing membawa dua. Vivian memberikan satu botol untuk Yasmine. Sementara Axel memberikan satu botol lagi untuk Thomas. "Sudah. Tidak usah main lagi," ucap Thomas yang melihat Vivian sampai bercucuran keringat. Ia mencoba permainan tadi dengan keras, hingga jadi kelelahan. Belum lagi, ia masih harus pergi bekerja juga nanti sore. "Sudah mainnya?" tanya Axel kepada Vivian. "Iya, Kak. Sudah dulu," jawab Vivian. "Ya sudah. Kita cari makan sekarang ya," ucap Axel sembari menyelipkan rambut Vivian yang nampak berantakan dan juga mengusap peluh, yang berada di dahinya. Sementara lelaki yang sedang memperhatikan itu , seketika menatap dengan kesal, keakraban keduanya yang sudah sangat di luar dari batasan kesabaran dirinya ini. "Ya sudah ayo cepat!" cetus Thomas yang bangun dengan cepat, saat Yasmine baru akan kembali bersandar lagi di lengannya. "Kita mau pergi makan dimana???" tanya. Thomas bernada kesal sembari menatap Axel dan yang paling lama, sembari menatap kepada Vivian. "Terserah kak Axel saja," ucap Vivian sembari melirik kepada pria yang berada di sebelahnya. "Kok jadi terserah aku?" ucap Axel sembari meletakkan tangannya di atas kepala Vivian dan juga tersenyum kepadanya. Thomas menelan salivanya dengan perasaan yang tidak terima. Ingin rasanya mengamuk saat ini juga dan menyingkirkan tangan Axel dari sentuhan yang ia lakukan pada Vivian. Akan tetapi, ada Yasmine di sini. Ia tidak bisa marah dengan leluasa dan lagi-lagi terpaksa harus menahan-nahan kekesalannya. "Iya, Kak. Aku ikut saja, apa yang kakak katakan," ucap Vivian dan membuat Thomas menjadi lemas. Sangat sangat penurut sekali, kekasih hatinya ini, kepada pria lain. Apa karena masih kesal, karena ia tidak mendapatkan boneka yang ia inginkan tadi itu?? "Ya sudah ayo, kita jalan dulu sambil melihat-lihat makanan yang kira-kira enak," ucap Axel yang dengan sangat lancarnya, meletakkan tangan di bahu Vivian, lalu membawa Vivian bersamanya. Thomas bergeming. Ia merutuki kesalahannya yang tadi dan berharap, bila Vivian tidak benar-benar sudah berpaling begitu saja darinya. Setelah hari yang begitu memuakkan bagi Thomas. Axel pergi mengantarkan Vivian ke tempat kerjanya. Sementara Thomas pulang ke rumah bersama Yasmine dan menunggu laki-laki, yang sedang pergi mengantarkan wanita miliknya untuk pergi bekerja. Thomas berdiam diri di balkon kamarnya sembari memperhatikan situasi. Sepasang bola matanya itupun, akhirnya menyapu sosok pria, yang sejak tadi sudah ia tunggu-tunggu kedatangannya. Thomas pergi ke bawah dengan terburu-buru, sembari dengan membawa sesuatu di tangannya dan saat sampai di ruang tamu dan bertemu dengan pria yang memang ia tunggu-tunggu itu, Thomas melemparkan apa yang ia bawa tadi ke hadapan pria tersebut. "Ini! Ayo ambil!" cetus Thomas sembari melemparkan sepasang sarung tangan boxing kepada Axel. "Apa ini, Om??" tanya Axel kebingungan. "Apa kamu buta?? Tidak bisa melihat benda itu dengan jelas??" ucap Thomas, dengan sangat ganas. "Iya. Axel tahu, ini sarung tangan boxing kan?? Tapi untuk apa??" "Kita olahraga sedikit." Axel mengerutkan keningnya dan kemudian tersenyum tipis. "Jangan becanda, Om. Maksudnya, Om mau kita sparing?? Kita bertanding boxing?" ucap Axel yang masih serasa tidak percaya. Dia yang masih muda dan bugar ini, ditantang untuk bertanding boxing?? "Iya. Apa lagi memangnya??" jawab Thomas dingin. Axel menyunggingkan senyumnya, lalu geleng-geleng kepala. Bukan tidak berani, tapi, masa ia harus melawan yang lebih tua begini?? "Kenapa?? Tidak mau?? Atau mungkin takut??" ucap Thomas dengan nada meremehkan. "Bukan, Om. Tapi rasanya, kita bukan lawan yang sebanding," balas Axel yang tak kalah besar kepala. "Jadi kamu takut??" desak Thomas, yang menyinggung sedikit harga diri Axel. "Tidak juga." "Ya sudah. Ayo cepat ambil dan kita pergi ke halaman belakang," ajak Thomas yang kini melenggang duluan dan meninggalkan lelaki, yang tengah geleng-geleng kepalanya ini. "Hahh... Ada-ada saja," ucap Axel yang kini pergi menyusul Thomas. Di halaman belakang. Thomas membuka pakaiannya dan terlihatlah, tubuh atletis dengan enam undakan yang ada di depan perutnya. Ia simpan pakaian, yang tadi sempat ia gunakan di atas kursi panjang, yang bisa digunakan untuk rebahan. Sementara itu, orang yang ia ajak berduel pun malah senyum-senyum sendiri saja. Oh gilanya ia pikir. Yang benar saja, sampai harus adu jotos segala?? Tapi, demi harga diri dan demi memenuhi keinginan dari pamannya ini. Rasa-rasanya , harus ia sambut tantangan ini dengan senang hati. Axel turut membuka pakaiannya juga dan sekarang , ia pun menggunakan sarung tinjunya juga. Tanpa adanya aba-aba. Tanpa ada wasitnya diantara mereka. Axel yang baru selesai menggunakan satu sarung tangan boxing-nya itu, langsung dihajar dengan sekali pukulan telak, hingga ia jatuh tersungkur di bawah. Axel tersenyum dan menggelengkan kepalanya, dengan posisi telentang di atas lantai. Ada yang main curang rupanya. Ia belum lah siap. Tapi sudah dihajar duluan. Baiklah. Sepertinya, ia tidak akan sungkan-sungkan lagi. Akan ia perlakuan pamannya ini, bak seorang lawan yang seimbang. Axel selesaikan memakai sarung tinjunya. Kemudian, ia seka bibirnya yang berdarah dan bangkit dari bawah, sembari menatap lelaki di depan sana, yang sudah bersiap, untuk kembali menyerangnya lagi. Tetapi sebelum pukulan itu sampai, Axel pun mengayunkan tangan kanannya juga, dengan sekuat tenaga dan mengenai pipi orang yang sudah lebih dulu memukulnya tadi. 'BUGH!' Thomas terjatuh ke bawah dan Axel menyunggingkan senyumnya sembari berkata, "Menyenangkan sekali ya, Om?" ucap Axel sembari tersenyum dengan lebih lebar. Malamnya. Vivian berjalan dengan lesu sambil berjalan melalui tangga. Ia berpijak pada anak tangga yang satu dan yang lainnya. Ia gunakan sisa tenaganya yang masih ada dan bersusah payah, untuk datang ke lantai atas sana. Lelah dan ingin segera masuk ke dalam kamar, lalu tidur. Namun, baru akan memegang gagang pintu kamar. Mulutnya tiba-tiba saja dibekap oleh seseorang dan tubuhnya itupun, diseret masuk ke dalam kamar utama. Vivian dijebloskan ke dalam kamar dan orang yang membawanya tadi, cepat-cepat mengunci pintu, lalu menyembunyikan kuncinya di dalam saku piyama yang sedang ia kenakan. "Kamu apa-apaan sih?? Kenapa...," Vivian berhenti berbicara, saat orang yang mengunci pintu tadi berbalik ke arahnya. "Wajah kamu kenapa??" tanya Vivian keheranan, kepada lelaki yang wajahnya nampak babak belur ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN