“Tuh, kan... Kamu diem. Berarti bener, aku uda nggak menggairahkan lagi.” Ngambek, Mona berdiri sambil memalingkan wajahnya membelakangi Dion.
Merasa terlanjur basah karena sudah memenuhi undangan makan malam ini, akhirnya Dion harus membuang rasa tak nyaman yang dirasakan.
Hal apapun yang ingin kita dapatkan di dunia ini memang memiliki silihnya masing-masing, Ia sangat paham itu. Dan banderol harganya dalam dunia awang-awang itu ditentukan sekali oleh sikap pandai mengambil hati dari sang pemilik kapling dunia tersebut.
Mona Andrea adalah salah satu orang yang cukup berpengaruh di dunia selebrita. Dengan sedikit bisikannya, Ia dapat melambungkan nama seseorang atau bahkan membuangnya dari lingkaran tersebut.
Pengaruh yang Ia dimiliki, tak lain dan tak bukan bisa didapatkannya dari para pemilik modal, produser atau orang-orang yang lebih berkuasa lagi dengan memanfaatkan kemolekan tubuh.
Hal itu juga sudah bukan rahasia lagi. Kawan maupun lawan tahu, tak sedikit orang penting yang bertekuk lutut pada rayuannya.
Dan semua juga mengerti, senjata ampuh apa yang digunakan Mona untuk membuat orang-orang tersebut mau menuruti kemauannya. Tak lain adalah dengan menjual ‘aset pribadinya’ sebagai alat penukar.
Dion juga tahu dan paham tentang dunia dimana Ia sekarang berada. Semua hanya berputar pada kepentingan dan barter. Karier, popolaritas dan uang yang menyertai bisa didapatkan dengan mudah jika orang sudah saling menemukan hal yang saling punya nilai tukar.
Kepentingan seseorang bisa saja ditukar dengan apa yang Ia miliki. Bahkan, kadang kala skill menjadi hal yang nomor sekian setelah paham tersebut.
Kasarnya, apapun bisa didapatkan asal punya dan mau memberikan sesuatu yang diinginkan. Dalam hal ini adalah tubuh dan juga jiwa. Tubuh untuk dinikmati, serta jiwa untuk menjadi seorang pengabdi setia yang selalu siap setiap saat untuk menjadi penjilat.
Akhirnya, paham kepentingan sesaat menang. Dion berdiri mendekati Mona dengan membawa kilatan-kilatan ingatan tentang apartement dan mobil mewah, kehidupan glamour, studio foto bergengsi, Agency dan macam-macam hal yang selama ini telah Ia rintis.
Ternyata, Ia belum siap untuk kehilangan itu....
“Hmmmm... manusia macam apa yang berani bilang jika kamu tidak menggairahkan?”
Dion berkata demikian sambil memeluk pinggang ramping dari tubuh padat wanita yang membelakanginya itu.
“Hmmm... benarkah katamu itu? Atau kamu hanya mau merayu agar hatiku tak kecewa?”
“Bagiku, rayuan itu tak perlu diucapkan dalam kata-kata...”
“Itukah sebabnya mengapa kamu tak menjawab pertanyaanku tadi?”
“Itu kamu tahu... Aku nggak pernah bisa merangkai kata untuk merayu.”
“Dion yang selama ini aku kenal juga seperti itu. Tak pernah pandai berkata, namun sangat pintar merayu dalam hal satunya.”
“Hmmmm....,” kali ini Dion tak lagi mau menyahut dengan kata.
Perlahan dan penuh kelembutan, dihirupnya dalam-dalam aroma rambut belakang kepala Mona yang begitu harum. Sang artis menengadahkan wajah menikmati hembusan hangat yang tengah merayu sela-sela rambutnya itu.
Kemudian, kehangatan itu bergerak ke samping untuk menyapu sisi kanan wajahnya yang halus bagai pualam.
Mona memejamkan matanya meresapi sensasi yang mulai membangunkan hasratnya.
Saat bibir basah disertai hembusan hangat nafas itu hinggap pada telinga, Ia mulai merasakan sebuah hasrat yang otomatis membuatnya menggelinjang.
Namun bibir itu tak berhenti hanya sampai disana, Ia terus bergerak menyusur sepanjang urat leher untuk kemudian hinggap mengecupi pundak terbuka yang hanya tertutup sebuah tali tipis.
Mona mendesah dalam nafas yang tersendat. Lalu udara yang belum sepenuhnya terhirup dengan sempurna, mendadak berhenti saat napas wanita itu tercekat oleh sebuah kejutan memabukkan.
Sepasang tangan Dion yang memeluk perutnya, tiba-tiba telah naik. Dengan lembut, telapak tangan maskulin itu meremas tubuh bagian atasnya. Mona menggelinjang, wajahnya semakin menengadah dengan d**a yang dibusungkan karena nikmat.
Sementara leher tengah dicumbui, area dadanya kini tak luput dari belai dan rayu tangan terampil yang sedang membawanya pada angan yang Ia damba.
Tak salah lagi, Dion memang ahlinya. Semua ungkapan tentang rayuan tanpa kata itu memang benar nyata. Ia jarang sekali bisa merayu karena sifatnya yang apa adanya. Dan bujuk rayu serta cumbu yang dimilikinya hanyalah sebentuk aksi yang akan mampu melambungkan wanita manapun ke puncak Nirwana.
Mona menggelinjang sekali lagi sebelum akhirnya Ia membalikkan tubuh untuk berhadapan dengan Dion. Ditatapnya mata Dion sambil mengalungkan kedua lengan pada leher lelaki itu.
Tanpa perlu meminta lagi, wajah menengadah dengan bibir setengah terbuka itu langsung mendapatkan sebuah kecup panas menggebu yang disambut dengan suka-cita oleh Mona.
“Buktikan, Yon. Buktikan jika aku masih memiliki pesona yang menggairahkan....,” Mona merayu dengan suaranya yang mendayu dan basah.
“Hmmmm.”
Kata-kata menjadi tak diperlukan lagi. Dion yang mulai hanyut dalam permainan, kini mulai menjadi panas. Dengan bernapsu, Ia terus mencumbui bibir sensual itu....
Bibir itulah yang selama ini selalu dipandangi jutaan orang saat Ia membawakan lagu-lagunya. Sebentuk bibir yang demikian indah dan menjadi imajinasi setiap laki-laki pada mimpi-mimpi liar mereka.
Dan... sekali lagi, kenapa tidak? Apa salahnya jika Ia menikmati dalam nyata, sementara laki-laki lain yang kurang beruntung hanya mampu membayangkan saja?
Dua pasang bibir berpagutan dan tak mau saling mengalah. Bibir bertemu bibir dan akhirnya lidah saling bersambaran satu dengan yang lainnya untuk menghadirkan getar rasa yang semakin melambungkan.
Ketika bibir Dion bergerak meninggalkan keasyikan itu, Ia kini mencari sebuah keasyikan baru yang lantas saja memunculkan suara-suara desah dan rintihan saat leher jenjang halus mulus menjadi sasaran berikutnya.
Wajah Mona semakin menengadah. Matanya terpejam setengah terbuka, demikian juga bibirnya yang tak bisa terkatup dengan rapat saat rasa geli menggelenyar merayapi setiap pori pada leher.
Sambil berdiri, Dion terus menggemasi sang pemilik tubuh ramping dan mungil itu. Tubuh yang sepenuhnya telah gemetar dan tangan memeluk lehernya dengan erat karena kaki yang tak mampu menopang tubuhnya karena lemas.
“Dioonn...,” Mona menjerit kecil.
Dengan sekali sentakan, tubuh mungil itu telah berada dalam pondongan tubuh Dion yang kuat.
Tanpa tergesa, Laki-laki itu terus menciumi leher dan pundak Mona sambil melangkah membawanya masuk ke dalam kamar.
Dengan membiarkan pintu kaca yang menuju teras kolam tetap terbuka, Dion terus maju mendekati sebuah tempat tidur berukuran besar di dalamnya.
Lelaki tersebut melucuti gaun malam transparan tanpa lapisan didalam milik sang wanita dengan sekali sentakan halus, lalu membaringkan tubuh indah itu ke atas peraduan kamar yang remang-remang.
Kemudian, Ia melepaskan satu persatu lapisan pakaiannya hingga hanya menyisakan sepotong kecil kain penutup tubuh terakhir pada bagian yang paling Ia banggakan. Dion hanya ingin berlaku adil dengan melakukan itu. Karena wanita yang kini terbaring di atas peraduan juga tinggal tersisa satu kain mungil saja sebagai penutup tubuhnya.
Mona yang terbaring di depannya hanya bisa mengawasi dengan penuh minat saat pujaan hatinya seakan tengah melakukan gerakan pamer dengan mempertontonkan otot yang keras karena latihan fisik itu.
Dion memang paling mengerti apa yang disukai Mona. Dengan hanya melihat seperti inipun, semua hasrat dalam pori tubuhnya telah begitu terbangkitkan.
Ia luluh bahkan sebelum lelaki itu mendekatinya. Seluruh tubuhnya bergetar hanya dengan tatapan mesra dari Dion.
***