Jelita terus melakukan teknik pernapasan, dan dari waktu demi waktu mulai merasakan ada perubahan yang baik dalam tubuhnya. Perasaan rileks dan ringan menjalar keseluruh tubuh, bahkan kini rasa nyeri yang kerap muncul dibagian kepalanya sudah berangsur hilang.
Tanpa kenal lelah, Ia melakukan hal tersebut sepanjang Ia masih bisa bernapas. Kadang, karena terlalu nyaman Ia malah terlelap tidur dalam keadaan duduk dan pernapasan yang teratur seperti saat sebelumnya. Ia hanya beristirahat untuk minum dari teko air putih yang disediakan untuknya. Setelah itu, Ia kembali tenggelam dalam meditasi dan pernapasan yang kini menjadi ‘jalan naga’nya.
Rasa percaya diri semakin bertambah dalam diri karena mengetahui kelebihan yang ia miliki. Dengan sabar, Ia menahan keinginan untuk bertemu dengan Jhonas yang semakin kuat. Meski Jelita merasa yakin bisa keluar dari tempat itu, namun Ia lebih membutuhkan ketenangan untuk menghimpun semua energi baik dalam tubuhnya. Karena itulah, dengan tekun dan sambil mengingat semua yang pernah menjadi ‘bagian dalam dirinya’ dulu, Jelita memanfaatkan waktu yang ada untuk berlatih dengan tekun dan sungguh-sungguh.
Suatu ketika dalam rehatnya, Jelita turun dari tempat tidur dan perlahan berjalan menuju kedepan sebuah cermin persegi berukuran tanggung. Bayangan dirinya segera terpantul ketika ia berdiri didepan cermin tersebut. Di tatapnya lekat-lekat mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, akan tetapi bayangan itu berubah menjadi wajah Ibu dan adiknya, lalu berganti dengan wajah Adam sang kekasih.
Rasa sesak menyeruak masuk ke dalam rongga d**a, membuat napas Jelita tersengal-sengal. Tekadnya menjadi semakin bulat untuk keluar dari tempat ini karena ia sangat merindukan Ibu dan adiknya dan juga mengkhawatirkan keadaan mereka.
Kepergiannya yang tanpa diduga pasti membuat mereka sangat terkejut apalagi sampai saat ini Jelita tak bisa menghubungi mereka. Jangankan menghubungi, ia saja tidak tahu sekarang ada di mana, jam berapa atau hari apa.
Tempat ini bagaikan penjara, tak terduga dan sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Jelita. Ia tak tahu dan belum bisa membayangkan apa sebenarnya tempat dimana dirinya sekarang berada. Bukan penjara, namun sepertinya malah lebih parah dibandingkan itu.
Kemudian, bayangan Budiman sang Ayah muncul di dalam cermin tersebut. Saat melihat wajahnya, Ia merasakan betapa kecewa hatinya karena perbuatan sang Ayah yang dengan tega menjadikan dirinya jaminan ditempat seperti ini. Bahkan, ia hampir saja mati jika tak bertindak nekad dengan melawan secara untung-untungan.
Tak ada air mata yang jatuh kali ini, hanya tatapan tajam ke arah cermin yang tidak lagi menampilkan bayangan-bayangan orang terdekatnya.
Jelita bertekad mulai hari ini, ia akan sering berlatih dan mempraktekkan apa yang pernah diajarkan Abraham padanya dahulu sekali, saat Ia masih kecil dan belum mampu memahami apa yang sebenarnya telah dengan beruntungnya ia peroleh. Sebuah misteri dan juga pertolongan dari Sang Maha kuasa jika apa yang dulu pernah ‘dimasukkan’ dalam tubuhnya secara tak sadar, kini semuanya tersembul keluar meskipun belum sempurna.
Dikurung dalam ruangan seperti itu memberikan kesempatan lebih banyak bagi Jelita untuk mengulang gerakan-gerakan dasar sepanjang yang diingatnya, dan tentu saja melatih teknik pernapasannya supaya lebih baik lagi. Ia melakukannya terus menerus hingga batas kemampuannya, hingga sering ia tertidur dilantai karena kelelahan.
Jelita tidak tahu sudah berapa lama pastinya ia berada di ruangan ini. Rasanya seperti sudah berpuluh-puluh tahun ia terkurung tanpa tahu waktu dan hari, saat seperti biasa Linda masuk ke dalam ruangan Jelita untuk mengantarkan makanan. Namun betapa terkejutnya ia mendapati gadis itu tergeletak di lantai.
Bergegas ia meletakan nampan berisi makanan dan langsung menghampiri gadis itu.
“Astaga, Nona Jelita! Nona? Nona Jelita? Apa yang terjadi?” ucap Linda sambil menggoyangkan pundak gadis itu. Tak berselang lama, Jelita terbangun dengan mata yang sedikit masih terpejam.
“Hoaamh, ada apa Bi?”
Mendengar respon dari Jelita, Linda reflek memeluk erat gadis itu. Ia sangat khawatir bila sesuatu terjadi pada Jelita. Rasa bersalah dan menyesal akan melekat dalam hati karena tak mampu menjaga gadis itu dengan baik.
“Oh ya Tuhan, syukurlah!” seru Linda dengan suara yang sudah parau.
“Hoaamh, aku cuma ketiduran, Bi. Hawanya panas jadi aku memutuskan untuk tiduran di lantai.”
“Syukurlah kalau Nona tidak apa-apa, saya sangat khawatir. Mari saya bantu berdiri. Saya kemari mengantarkan makan untuk Nona Jelita,” kata Linda sambil membantu Jelita bangkit.
Kemudian Jelita duduk di kursi kayu dekat nakas sementara Linda duduk di tepi tempat tidur.
Jelita tak pernah menanyakan waktu kepada Linda setiap kali wanita itu datang kemari. Alasannya karena Linda selalu saja mengalihkan pembicaraan ketika ia menanyakan hal itu. Ada ketakutan yang nampak terpancar dari mata wanita itu, akan tetapi kali ini Jelita sudah benar-benar merasa tidak bisa menahan diri untuk bertanya, karena merasa bodoh jika sampai tidak tahu waktu sama sekali.
“Bibi, ini makan pagi, siang, atau malam?”
Tubuh Linda mematung seketika mendengar pertanyaan itu kembali terlontar dari Jelita. Ia menelan ludahnya, merasa sangat gugup. Bahkan wajahnya menunduk seperti seseorang yang sedang ketakutan. Jelita hanya menghela napas ketika ia mendapat respon yang sama seperti yang sudah-sudah.
“Aku udah enggak punya cerita apa-apa. Mungkin, akan lebih baik kalau Bibi kembali meneruskan pekerjaan Bibi yang lain daripada harus menungguiku makan.”
Mendengar pengusiran halus dari Jelita, Lindapun perlahan bangkit dari tempat ia duduk.
“Selamat makan, Nona Jelita,” kata Linda sambil sedikit membungkukkan badan. Jelita hanya mengangguk saja tanpa berkata apa-apa.
Jelita merasa kesal mengapa Linda bersikap seperti itu. Jika memang Jhonas yang memintanya, toh dia tidak ada disini; kecuali Jhonas memasang alat perekam ketika Linda menemuinya.
Jelita memutuskan untuk menghabiskan makanannya, tapi mendadak muncul sebuah ide dalam kepalanya untuk membuktikan kekuatan fisik yang berasal dari dalam dirinya.
Ia kembali mengatur napas lalu menghembuskannya dengan perlahan seperti yang sudah ia latih beberapa waktu terakhir semenjak ia sadar dengan kemampuannya. Jelita berpikir bahwa, jika ia bisa mengalahkan Danu dan bodyguardnya dengan tangan kosong, itu berarti, sebuah garpu logm bisa ia bengkokan dengan mudah.
Setelah mengatur napasnya, perlahan Jelita mulai berusaha membengkokan garpu tersebut dengan kedua tangan. Ia kembali menarik napas ketika tak ada perubahan pada garpu tersebut. Jelita mencoba berulang-ulang hingga tangannya terasa panas namun garpu itu tetap tak bengkok sedikitpun.
Jelita berusaha membesarkan hati, mungkin garpu tersebut memiliki bahan yang berbeda dengan garpu-garpu biasanya, ‘Oh bisa saja kan?’ gumam Jelita dalam hati.
Kemudian ia mencari benda lain yang mungkin bisa ia patahkan begitu saja. Ia melongok kolong tempat tidur, dan ternyata tidak ada benda apapun, kosong. Kemudia ia membuka lemari yang isinya juga kosong.
Jelita teringat dengan sebuah sumpit bambu yang tempo hari dibawa Linda ketika mengantar makanan untuknya. Ia memang sengaja mengambil salah satu sumpit tersebut dan menyembunyikannya di dalam nakas. Linda mungkin tidak tahu karena wanita itu tak menaruh curiga sama sekali.
“Ah, kali ini aku pasti bisa. Sumpit ini dari bambu yang teksturnya lebih empuk daripada garpu tadi. Aku pasti bisa mematahkannya,” begitu kata Jelita kepada diri sendiri.
Kemudian ia mengulang pernapasannya dan memusatkan konsentrasinya untuk mematahkan sumpit tersebut. Berulang kali Jelita melakukannya, namun gagal. Sumpit itu hanya diam tak ada lecet atau patah sedikitpun padaha Jelita telah mengerahkan seluruh tenaga untuk mematahkannya.
Jelita sama sekali tidak percaya dengan apa yang terjadi, seketika tubuhnya lemas dan ia terduduk di lantai. ‘Nggak mungkin, masa sumpit bambu aja gabisa aku patahin sedangkan batok kepala orang-orang Danu bisa aku remukan bahkan tembus ke otaknya?’
Jelita bermonolog dengan dirinya sendiri. Dan kenyataan itu membuat kepercayaan dirinya runtuh. Ia berpikir dapat mengalahkan Jhonas dengan mudah karena kekuatan yang ia miliki, namun kini kekuatan yang ada padanya hilang begitu saja. Padahal ia sudah berlatih sama persis dengan yang diajarkan laki-laki tua itu kepadanya.
‘Di mana letak kesalahannya? Ya Tuhan. Lalu, bagaimana nasibku selanjutnya? Aku enggak mau disini, aku ingin pulang...”
Tubuh Jelita mendadak terasa berubah menjadi dingin. Gadis itupun beringsut memojokkan dirinya di sudut kamar. Ia tak percaya dengan kenyataan yang memukul secara telak dengan bukti nyata bahwa ia sudah tak memiliki lagi harapan untuk bebas. Rasa percaya dirinya luntur, dan Jelita mulai ketakutan.
‘Apa yang harus aku lakukan?’
Jelita memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya disana. Air mata perlahan mengalir, menetes melewati pipi dan membasahi lutut.
Ia tidak bisa membayangkan hidupnya akan berakhir tragis bila karena tida memiliki kekuatan apa-apa. Kekuatan itu telah sirna dan hanya muncul sekali saja. ‘Apa yang salah? Oh apa ini hanya kebetulan?’ kembali Jelita bermonolog dengan dirinya sendiri membuat tangisnya pecah dalam diam.
...
“Tuan Danu sudah sadar dari koma, Boss.”
“Lalu, anak buahnya?”
“Begitu juga dengan Alex dan Chris, Boss. Akan tetapi, sesuai dengan diagnosa dokter bahwa Chris ... mengalami cacat seumur hidup akibat gegar otak yang sangat parah.”
Jhonas menghela napas panjang ketika mendengar informasi itu. Ia sama sekali tidak menyangka jika kerusakan yang disebabkan oleh Jelita akan sangat parah. Meskipun begitu, ia tidak bisa kalah begitu saja karena ia sudah memiliki rencana “indah” untuk gadis tersebut.
Ketika ia teringat dengan rencananya, Jhonas menyeringai buas. ‘Selain karena gadis itu adalah aset yang berharga, ia juga harus membayar semua kerusakan yang sudah diperbuat’
“Panggil Linda kemari, lalu kau bersama dua orang pengawal lain standby di depan ruanganku. Aku akan menemuinya.”
“Baik, Boss. Perlukah kami menyiapkan semuanya?
“Tidak perlu karena ... kali ini dia benar-benar akan bertekuk lutut denganku.”
***