‘Bagaimana aku bisa melakukannya? Dan ...’
Belum selesai Jelita bermonolog dengan dirinya sendiri, Linda yang juga penasaran dengan gadis itupun lantas bertanya. Pertanyaan sama dengan yang dilontarkan Jelita kepada dirinya sendiri.
“Sebenarnya, Anda siapa? Nona? Nona Jelita?” panggil Linda sambil menyentuh pundak Jelita yang membuat gadis itu melonjak terkejut.
Napasnya memburu setelah apa yang ia lihat dalam ingatannya. Jantung Jelita berdegub kencang tak beraturan. Ia menggigit ujung bibirnya, lalu beralih memegang d**a agar detak jantungnya bisa menjadi sedikit lebih teratur.
Ingatan itu kini tergambar jelas, saat dengan bengis ia menghajar Danu bersama begundalnya hingga nyaris tewas. Lalu Ia memandang kedua tangan yang penuh memar dan luka lecet, semua cukup menjadi bukti bahwa dengan tangan itulah ia telah membuat kerusakan yang teramat parah.
Ada kekuatan dalam dirinya yang telah terbangkitkan, dimana Jelita sendiri tidak tahu energi macam apakah itu. Rasanya juga sangat mustahil baginya jika tiba-tiba saja berubah menjadi seorang superhero yang memiliki kekuatan magis karena hal itu adalah ilusi semata.
Tapi hal tersebut telah membuat Jelita sadar bahwa ia memiliki sesuatu yang bersembunyi dalam dirinya. Entah apapun bentuknya itu yang sempat terkubur cukup lama, namun Ia seperti kembali bangun dalam situasi yang membuatnya terjepit.
Gadis itu mematung, diam tak bergerak. Wajahnya yang pucat, seolah menambah miris kesan orang yang melihatnya dalam keadaan seperti itu. Matanya menatap kosong dan hampa seakan jiwanya kini tiada lagi berada dalam dunia yang sekarang.
Seperti dibawa ke masa lalu, pikirannya melayang menuju masa lalu disaat ia masih kanak-kanak. Abraham—laki-laki tua yang senantiasa nampak bugar, mendadak muncul dalam ingatannya. Dia adalah tukang kebun sekaligus teman bermain Jelita.
Jelita adalah seorang anak tunggal pada waktu itu. Ayahnya yang seorang pengusaha terlalu sibuk untuk selalu berada di rumah karena harus merintis bisnis demi bisnis yang menyita waktunya. Sedangkan sang Ibu, beliau juga membantu sang Ayah agar roda usahanya terus berputar dan menjadi semakin berkembang.
Dan tinggallah Jelita sendiri di rumah dalam asuhan seorang bibi tua yang merupakan istri dari laki-laki yang tinggal di belakang rumahnya dalam sebuah lahan kosong. Ia tidak ingat darimana mereka berdua datang, namun samar-samar hanya mengerti jika kedua orang tersebut diberi tempat pondokan dalam area kebun belakang rumah karena tak memiliki tempat tinggal.
Lalu kenanganpun bergulir dalam ingatan Jelita. Ia kembali teringat ketika laki-laki itu mengajarinya untuk selalu bergerak, katanya agar tubuhnya sehat dan bugar. Saat Jelita mencoba mengganggu Abraham yang sedang bekerja, laki-laki itu memanfaatkannya dengan memberi intruksi-intruksi aneh kepada Jelita.
Misalnya saja ketika gadis itu ingin menarik perhatian Abraham dengan berloncatan di sela-sela tanaman jagung yang sudah setinggi lutut orang dewasa. Awalnya, lelaki baik hati tersebut hanya mendiamkan tingkah polahnya yang nakal, namun lama kelamaan Ia menjadi gusar karena banyak sekali pohon-pohon hasil jerih payahnya menanam terinjak-injak oleh kaki kecil Jelita.
Hingga akhirnya, kesalahan gerakan kaki mebuat gadis itu terkilir dan jatuh menimpa sederet tanaman yang sedang tumbuh dengan suburnya. Kegusaran laki-laki itu lenyap, seiring dengan kekhawatiran ketika melihat si anak nakal menangis karena tak dapat bangun dan berdiri dengan tegak lagi.
Selanjutnya, Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Abraham memondong dirinya menuju teras pondok yang sangat sederhana. Tangisnya tak mau berhenti karena rasa sakit yang sangat telah menyebabkan pergelangan kaki kanannya menjadi bengkak seketika. Saat sang Bibi keluar pondokan dengan wajah penuh khawatir, sang suami hanya memberi isyarat untuk tenang, lalu dengan lemah lembut membujuk gadis kecil itu untuk memeriksa sakitnya.
Awalnya Jelita menolak, namun karena sikap tegas dan entah bagaimana, aura yang ada pada Abraham membuat Jelita menurut. Sambil menunduk menahan tangis, ia memasrahan kakinya di periksa dan entah apa lagi yang dilakukan lelaki tua itu padanya.
Dan ajaib, tiba-tiba rasa sakit itu hilang dalam sekejap. Padahal, ia hanya merasakan jika kakinya dipijit pada beberapa bagian dan terakhir ditarik dengan lembut sampai mengeluarkan bunyi seperti berderit pelan.
Disitulah semuanya berawal. Jelita dihukum untuk berloncatan dari sela pohon jagung ke bagian lain tanpa membuat tanaman itu sendiri rusak. Setiap hari, Abraham menyuruhnya untuk melompat, hingga pohon-pohon itu tanpa terasa juga telah tumbuh bertambah tinggi. Awalnya masih banyak pohon-pohon rusak karena terinjak kakinya. Namun lama kelamaan semakin sedikit Ia menyentuh pepohonan yang diloncati karena mendapat selalu petunjuk bagamana cara untuk melompat dengan benar.
Anehnya, ia sama sekali tidak merasa bosan, Justru Jelita menikmati hukuman dari Abraham. Melihat hal itu, Abrahampun bertambah semangat untuk mengajarinya. Mungkin Ia melihat jika dalam tubuh gadis mungil itu terpendam sebuah bakat yang besar.
Laki-laki itu lantas mengajarkan Jelita bagaimana cara bernapas yang baik supaya sirkulasi udara berjalan lancar dalam tubuh. Baik pernapasan perut, pernapasan d**a, maupun pernapasan diafragma, semua ia ajarkan padanya.
“Napas adalah salah satu sumber kekuatan alami yang Tuhan anugerahkan kepada manusia, hanya saja banyak orang yang tidak memperhatikan bagaimana cara bernapas dengan baik. Ketahuilah Jelita, pernapasan yang baik dan teratur akan memberikan kekuatan untuk tubuhmu, jiwamu, juga pikiranmu.”
Kata-kata dari Abraham kembali terngiang dikepalanya, membuatnya semakin jelas mengerti mengapa ia bisa ‘dikunjungi’ oleh kekuatan sebesar itu.
Hari demi hari, bukan hanya pernapasan dan gerakan melompat saja yang diajarkan kepadanya. Beberapa gerakan dasar seperti menumpukan berat badan, kuda-kuda besi, gerakan pinggul dan lain-lain juga diajarkan kepadanya. Sama seperti yang pertama kali, belajar gerakan-gerakan tersebut adalah sebuah hal yang aneh dan menggelikan Jelita pada waktu itu. Apalagi, lelaki tua itu juga menyebut gerakan yang harus dipelajari dengan nama yang aneh-aneh.
Namun, saat itu Jelita adalah gadis kecil kesepian yang tak memiliki teman bermain. Sehingga, ‘berolahraga dan senam kebugaran’ bersama sang kakek tukang kebun adalah sebuah kegiatan yang mengasyikkan. Ia tidak sadar jika apa yang diperoleh semasa kecilnya adalah sebuah dasar yang kuat untuk mengolah tubuh hingga membentuk tenaga simpanan serta otot-otot terlatih. Hanya saja karena masih belum mengerti, semua hasil tersebut akhirnya menjadi ‘terkubur’ semenjak kepergian Abraham yang tiba-tiba dan tanpa pamit.
Semenjak Abraham pergi dan dengan kegiatan sekolah yang semakin banyak, Jelita tak lagi melakukan latihan itu hingga masuk ke sekolah menengah atas.
Hanya karena suatu saat Ia merasa rindu kepada Abraham, diputuskankannya untuk mengikuti kelas bela diri yang juga mengajarkan teknik pernapasan seperti Abraham mengajarinya. Ia mengikuti kelas itu hingga masuk kelas tiga SMA dan memutuskan vacum karena harus fokus Ujian Nasional.
Ingatan itu kini tergambar begitu jelas, dan kembali gadis itu memandangi telapak tangannya dengan wajah bingung. Kini ia sadar bahwa apa yang telah diperbuat bukanlah kebetulan belaka, melainkan sesuatu yang pernah ia latih namun sempat “tertidur” dalam waktu yang cukup lama.
Kenyataan itu membuat Jelita merasa lebih baik karena ia menganggap bahwa masih ada harapan baginya untuk pergi dari tempat ini, ia memiliki kekuatan walaupun tak seberapa. Tapi yang jelas, sekarang Ia sudah menjadi tidak takut kepada apa dan siapapun. Baginya, mati lebih baik daripada hidup dengan menanggung hinaan.
Dalam hati kecilnya ia berterima kasih kepada Abraham yang telah mengajarinya tanpa pernah mengatakan tujuannya. Namun ternyata kini, Jelita telah merasakan manfaatnya. Menyadari ingatannya tentang masa lalu menjadi berguna, spontan gadis itu mencoba memposisikan duduk dengan benar, lalu mengambil napas dan menghembuskannya perlahan. Ia memejamkan mata dan membayangkan dirinya duduk di pekarangan belakang rumah bersama Abraham yang berada disampingnya.
Jelita merasakan sesuatu yang hangat pada bagian perut, kemudian menjalar perlahan ke seluruh tubuh. Ia melakukan hal itu beberapa kali sampai ia merasakan sesuatu yang memberatkan hatinya perlahan menjadi ringan.
“Nona Jelita, apa Anda baik-baik saja?” tanya Linda yang menatap Jelita penuh khawatir.
“Iya, Bi.”
Merasa adanya ganguan hingga tak mungkin leluasa belajar lagi melakukan tehnik pernapasan, Jelita mengakhiri latihannya yang spontan.
Jelita tak memberi penjelasan apapun pada Linda, termasuk juga tidak menjawab pertanyaan yang wanita itu berikan. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah bagaimana ia bisa keluar dari tempat ini. Dan Satu-satunya jalan yang terlintas dalam benaknya adalah ia harus bisa bertemu dengan Jhonas.
Jelita semakin bertekad untuk bertemu dengan laki-laki itu, apapun yang terjadi nanti Jelita menjadi semakin percaya diri jika ia bisa keluar dari tempat ini.
“Bibi, aku ingin bertemu dengan Jhonas.”
Linda diam sejenak mendengar pertanyaan yang Jelita sampaikan padanya. Dan perubahan raut wajah dari wanita itu membuat Jelita sadar sehingga ia kembali bertanya,
“Kenapa, Bi?”
“Begini, situasinya sedang tidak memungkinkan untuk Nona bertemu dengan Tuan Jhonas. Emosi Beliau sedang tidak stabil dan ... dan saya lihat Anda juga belum cukup pulih. Akan lebih baik jika Anda memulihkan kesehatan terlebih dulu. Karena meski bertemu sekarang, pasti tidak akan ada jalan keluar.” Wanita ini menghela napas panjang, lalu, “Kalau sudah waktunya, Tuan Jhonas pasti akan meminta,” sambung Linda lagi.
“Itu berarti aku akan semakin lama disini, Bi. Aku ingin pulang ...”
Linda menatap iba gadis itu, ia begitu merasa tidak berdaya karena tak punya daya kuasa apapun untuk membantu. Yang bisa dilakukannya hanyalah merawat Jelita dengan baik karena gadis itu sudah merebut perhatiannya dan kini ia anggap sebagai puterinya semenjak pertama dilihatnya.
“Anda memang diminta untuk istirahat di kamar ini, atau kasarnya dikurung sebagai seorang tawanan. Keluar secara paksapun tak akan bisa, karena semua terkunci dengan rapat dan bibi tak memilki alat untuk membukanya. Semua serba dikawal, Nona.”
Jelita menghela napas panjang ketika mendengar itu. Pupus sudah harapannya untuk langsung bertemu dengan Jhonas saat itu juga. Tidak ada pilihan lain, mau tak mau sementara Ia harus pasrah dan menerima saran dari Linda yang lebih paham dengan situasi di tempat ini.
‘Ah, sebenarnya ini tempat apa?’
“Sebaiknya Nona Jelita istirahat, saya keluar sebentar untuk meletakan peralatan makan ini.”
Jelita mengangguk lemah sambil menatap punggung Linda. Wanita itu mengetuk pintu, lalu tak berselang lama pintu terbuka sedikit. Nampak seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan stelan jas berdiri disana sambil tatapannya tajam ke arah Jelita.
Linda segera keluar dan pintu yang langsung kembali di tutup dengan cukup keras hingga Jelita bisa merasakan getaran hempasannya.
Kembali keheningan mengisi ruangan itu. Jelita menatap kosong ke dua telapak tangannya. Ingatan tentang dari mana kekuatan yang ada dalam tubuhnya terbangkitkan, membuat Jelita memutuskan untuk kembali mencoba melakukan pernapasan yang tadi dilakukannya. Ia akan terus mencoba sampai semua bisa dilakukannya dengan baik, dan berharap bahwa kekuatannya bukanlah sebuah ilusi belaka.
Segera Ia memposisikan dirinya dengan duduk bersila di atas tempat tidur. Seketika, rasa tak nyaman dari kepalanya mulai berdenyut ketika memejamkan mata untuk berkonsentrasi. Rasa itu tak diabaikannya, dan ia kembali fokus untuk melakukan teknik pernapas.
Awalnya belum terasa apapun, lalu lambat laun sebuah sensasi hawa hangat ia rasakan mulai berkumpul dibagian pusat perutnya. Kemudian kehangatan itu perlahan menjalar melewati setiap sendi-sendi tubuhnya, memberikan perasaan ringan juga sedikit lega bersamaan dengan ia menghembuskan napas.
Jelita melakukannya secara berulang-ulang hingga ia merasakan sesuatu yang berbeda pada tubuh. Rasanya jauh lebik baik dari sebelumnya, karena tubuhnya terasa lebih segar seperti baru saja bangun dari tidur yang sangat nyenyak.
Walupun belum merasakan suatu efek yang luar biasa pada tubuhnya, dengan telaten dan sabar gadis itu mengulang dan mengulang lagi apa yang coba dilakukan tadi. Sesekali Ia gagal dan mendapatkan dirinya hampir pinsan saat matanya berkunang dan dunia terasa berputar dengan cepat, namun Ia bahkan tak pernah menyerah untuk mencoba berlatih lagi dan lagi.
Sementara itu, di dalam ruang kerja Jhonas ...
Laki-laki itu tengah terdiam sambil menyandarkan kepala pada kursi tinggi berlapis kulit mewah yang merupakan singgasana ruang kerjanya, kemudian ia mengurut keningnya sendiri seperti orang yang tengah frustrasi.
Tak pernah sedekitpun Jhonas membayangkan bila Danu dan orang-orangnya akan tumbang dengan sangat tragis oleh seorang gadis macam Jelita. Ia memang mendapat informasi tambahan mengenai tentang keiikutsertaan Jelita pada kelas bela diri, namun itu tak membuat Jhonas percaya begitu saja karena baginya itu tidak masuk akal. Apalagi gadis itu sudah vacum beberapa tahun dan tidak lagi mengikuti kelas bela diri tersebut. Sudah cukup bagi Jhonas menyimpulkan kalo Jelita hanyalah atlet amatiran.
Namun jika mengingat dampak yang ditimbulkan, kepalanya kembali berdenyut. Bagaimana tidak, orang kepercayaannya adalah orang-orang pilihan yang memiliki kekuatan terbaik dari sekian banyak kandidat paling baik.
Bela diri Danu juga tidak bisa diremehkan, apalagi tinju mautnya. Namun itu semua seolah tak berarti apa-apa di hadapan Jelita. Dan yang lebih mengherankan lagi, hal itu hanya berlangsung hanya dalam beberapa gebrakan saja.
Jhonas sadar dan merasa sangat beruntung. Bayangkan saja jika Danu tak menghantam perempuan jalang itu dengan vas, mungkin ia akan bernasib sama dengan tiga orang kepercayaannya itu.
Kesal karena tak ada lagi kaki tangan yang mendampingi, Jhonas melemparkan gelas kristal berisi wine merah ke arah tembok hingga menimbulkan suara nyaring menggema diruangan. Dalam kemarahan yang menenggelamkannya, terlintas sebuah akal licik. Bukan Jhonas namanya kalau ia merasa kalah begitu saja, apapun harus bisa ia dapatkan dan tidak ada yang bisa membuatnya merugi.
Kemudian, laki-laki itu memutuskan untuk memanggil Linda agar datang ke ruangannya. Ia membutuhkan laporan dari wanita itu yang ditugaskan untuk menjaga Jelita. Tak lama kemudian, pintu ruang kerja Jhonas terbuka dan Linda telah masuk bersama pengawal yang mengantarnya. Jhonas memberikan isyarat kepada sang pengawal pengganti untuk keluar.
Linda menunduk tak berani menatap Boss besar yang tengah duduk dengan pongah di atas kursi kebesarannya.
“Duduk,” titah Jhonas.
Kemudian Linda berjalan perlahan tetap dengan menunduk, lalu duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Jhonas.
“Katakan bagaimana keadaannya sekarang. Apa dia sudah sadar?”
“Sudah, Tuan. Kondisi Nona Jelita saat ini baik, ia telah menghabiskan makanan yang saya bawakan. Hanya saja, ia masih sering meringis sakit pada bagian kepalanya yang terluka.”
“Ada lagi?”
Linda menelan ludahnya ketika hendak mengatakan tentang Jelita yang tak ingat bagaimana caranya menghajar Danu and the gang. Linda berpikir cepat tentang untung ruginya. Jika menceritakan hal itu kepada Jhonas, ia khawatir kalau Jelita akan mendapat masalah. Jadi, akhirnya ia memilih untuk diam dan pura-pura tidak tahu.
“Tidak ada, Tuan.”
“Kalau begitu, kamu boleh keluar sekarang.”
Linda membungkukan badan, lalu berdiri dan meninggalkan ruangan Jhonas.
“She’s so different and i know it. Jika aku bisa memilikinya, bukankah itu akan jadi sebuah keuntungan?”
***