“Baik, Tuan.”
Pengawal tersebut keluar dari ruangan Jhonas untuk melaksanakan perintah dari sang Big Boss. Sampai di bagian belakang gedung tersebut, ia mendapati wanita itu tengah membersihkan dapur bersama pelayan yang lain.
Mendengar langkah kaki seseorang menuju dapur, Linda menghentikan kegiatannya dan mengalihkan perhatian ke arah pintu.
“Linda, Tuan Jhonas memanggilmu,” kata pengawal dengan nada bicara datar.
“Di mana aku harus menemui Tuan Jhonas?”
“Ruang kerjanya.”
Linda mengangguk mengerti, lalu dengan patuh mengekor dibelakang pengawal tersebut.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kondisi wanita itu? Masih gila?” tanya si Pengawal sambil mempelambat langkahnya sehingga sejajar dengan Linda.
“Dia tidak gila,” jawab Linda singkat. Ia tak mau memberi informasi apapun tentang Jelita kepada orang lain.
Jangankan kepada pengawal, kepada Boss-nya saja ia lebih memilih untuk diam tak memberikan informasi apapun. Entah sebab apa, naluri keibuannya seolah mengajaknya seperti itu. Hal tersebut secara spontan dilakukan karena merasa iba dengan Jelita.
“Lalu, bagaimana ia bisa menghajar Tuan Danu dan dua pengawalnya hingga cedera parah seperti itu? Benar-benar gila! Kamu harus berhati-hati, Linda.”
“Sudah kubilang Nona Jelita tidak gila dan ... seharusnya kalianlah yang harus berhati-hati dengannya.” mendadak saja kata itu terucap dengan spontan.
Si pengawal menatap dengan ekspresi tersinggung atau malah was-was mendengar jawaban dari Linda, tapi ia memilih untuk bersikap diam saja.
Sampai didepan pintu ruang kerja Jhonas, ia mengetuk beberapa kali dan kemudian terdengar suara Jhonas dari interkom di samping pintu, mengizinkan masuk.
Si pengawal keluar dari ruangan tersebut setelah mengantarkan wanita itu masuk, lalu kembali berjaga di depan pintu. Sementara di dalam, Linda hanya berdiri mematung takut sambil menunduk menunggu perintah selanjutnya dari Jhonas.
“Duduk.”
“Baik, Tuan.”
Linda berjalan perlahan menuju kursi yang ada didepan meja kerja Jhonas dengan wajah masih menunduk.
“Bagaimana keadaannya?”
“Sudah ... sudah lebih baik, Tuan. Perlahan Nona Jelita semakin pulih.”
“Kamu tidak disakiti oleh dia?”
“Tidak, Tuan. Dengan saya, dia bersikap biasa, namun lebih banyak diam dan hanya mau berbicara sedikit saja.”
“Bagus. Tetap jaga hubungan baik dengannya, karena saat ini hanya kamu yang bisa mejadi penghubung antara dia dan aku.”
“Baik, Tuan. Siap, saya laksanakan.”
“Bagus. Hmm ... kalau begitu, berikan benda ini padanya.”
Jhonas meletakan sebuah ponsel di depan Linda yang membuat wanita itu bingung. Dalam hatinya bertanya untuk tujuan apakah Jhonas memberikan sebuah ponsel kepada Jelita? Apakah Boss besarnya ini akan memberikan kesempatan kepada gadis itu untuk menghubungi keluarganya? Atau malah memang berniat akan membebaskan dari tempat ini?
Pikiran Linda penuh dengan berbagai dugaan yang tentu membuat dirinya mendadak merasakan secercah harapan baik bagi gadis yang telah merebut perhatiannya itu. Jika benar demikian, itu berarti Jelita bisa segera bebas. Atau mungkin juga Ayahnya sudah melunasi hutang sehingga Jelita bisa mendapatkan kemerdekaannya kembali.
“Linda?! Linda!! Kau tidak mendengarku??!” bentakan Jhonas seketika membuyarkan lamunan Linda dan membuat wanita itu terkejut.
“Iya? ... baik, Tuan.”
“Aku ingin lihat bagaimana reaksinya setelah ini, hah! ha-ha-ha ...”
Bagai kehilangan ingatan, Jhonas tertawa hingga suaranya menggema keseluruh ruangan. Linda sama sekali tidak tahu rencana tepat sang Tuan besar ini. Namun ketika mendengar tawa dari laki-laki itu, sadarlah ia kalau apa yang terlintas dipikiran tadi hanyalah angan-angan belaka.
Tak mungkin orang jahat ini mau membebaskan begitu saja seorang tawanan secantik itu. Bagi sang j*****m tamak itu, Jelita pasti hanya serupa ‘aset’ lain yang pernah didapat dengan cara merampas.
Sudah barang tentu, gadis-gadis muda dan cantik seperti Jelita akan dijadikan ‘modal’ untuk menumpuk uang dengan cara dijual pada pelanggan yang membutuhkan.
Jhonas, si Boss Besar sudah pasti dan selalu memiliki rencana lain untuk medapatkan dan mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan bagi diri atau perusahaan. “Berikan ponsel itu padanya saat kau membawakan makan nanti,” titah Jhonas lagi.
“Baik, Tuan.”
“Suruh dia tetap mengaktifkan benda ini.”
“Iya, tuan. Akan saya sampaikan nanti.”
“Bagus ... Kau boleh keluar sekarang.”
Linda mengambil ponsel berwarna hitam tersebut dengan hati-hati, lalu memasukan kedalam kantung bajunya. Ia pamit undur diri dari ruangan Jhonas dengan perasaan was-was. Walaupun rasa penasarannya tak terjawab, namun apalah dayanya yang juga hanya berstatus sebagai b***k saja di tempat ini?
Walau beberapa hari ini ia melihat tingkah tuannya yang terlihat seperti tak memiliki kendali diri dengan bertingkah layaknya orang stress, yang bisa dilakukan Linda hanyalah diam dan menunggu rencana apa yang tengah disusun oleh Sang Master yang seperti kehilangan akal dalam menundukkan gadis yang bernama Jelita itu.
Yang dapat ia lakukan hanyalah berdoa serta berharap agar semoga saja Yang maha kuasa selalu melindungi serta memberikan jalan terbaik bagi gadis itu. Dengan langkah perlahan karena masih saja pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan, ia meninggalkan ruangan sang Big Boss.
Wanita itu kembali menuju dapur untuk memeriksa pekerjaan pelayan lain. Linda adalah senior ART sehingga ia memiliki akses lebih banyak daripada pelayan biasa. Sebagai seseorang yang cukup dipercaya oleh majikannya, tentu saja ia sedikit memiliki keleluasaan dalam bertindak dan mengakses ruang lain di seputar gedung.
Sama halnya dengan Danu dan bodyguardnya yang tengah terkapar di Rumah Sakit. Mereka bertiga juga orang-orang kepercayaan Jhonas yang memiliki akses hampir tanpa batas. Bedanya, Linda hanyalah seorang b***k tawanan, sementara tiga begundal itu adalah merupakan sekutu dalam persekongkolan jahat.
Linda menunggu dengan gelisah sambil meneliti dan menatap lekat-lekat ponsel yang dititipkan laki-laki itu padanya. Ia merasa cemas, tentang rencana tersembunyi apa yang sedang disusun oleh Boss-nya itu.
Tak terasa, jam sudah menunjukkan waktu di mana ia harus membawakan makanan untuk Jelita. Setiap menu santapan gadis itu, ia meraciknya sendiri atas perintah Jhonas yang mengatakan padanya dengan tegas. Ia jugalah yang diberi tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan Jelita selama gadis itu berada disini.
Beberapa saat kemudian, Linda telah tiba di depan ruangan tempat Jelita di sekap. Salah seorang bodyguard yang berjaga segera membukakan pintu untuknya ketika melihat Ia kerepotan membawa nampan makan siang bagi tawanan mereka.
Saat Linda masuk, ia kembali mendapati Jelita tengah tertidur di lantai ruangan itu. Kini, ia sudah tak kaget lagi melihat hal seperti yang kini dilihatnya. Linda sendiri sebenarnya merasa penasaran mengapa akhir-akhir ini si gadis menjadi semakin sering tertidur di lantai. Entah apa yang dilakukan gadis itu, ia tak mengerti. Tapi karena mengetahui jika dia baik-baik saja, maka Linda mengambil sikap untuk diam dan pura-pura tidak tahu.
Setiap ada pertanyaan yang muncul dikepala, ia selalu menepisnya karena Linda merasa bahwa dirinya tak berhak bertanya banyak. Ia sendiri sadar tak pernah memberikan jawaban saat Jelita memberikan pertanyaan padanya. Karena itulah, Ia tetap menjaga agar semua berjalan lancar tanpa saling mengusik.
---
Linda meletakan nampan yang berisi makanan di atas nakhas, lalu dengan lembut membangunkan gadis itu.
“Nona ... Nona Jelita, bangunlah. Sudah waktunya anda makan.”
Suara lembut Linda membuat Jelita perlahan membuka mata.
“Jam berapa sekarang, Bi?” tanya Jelita namun sedetik kemudian ia meralat pertanyaannya.
“Ah sudahlah, Bibi enggak perlu jawab.”
Jelita bangkit berdiri, lalu melakukan peregangan pada seluruh tubuhnya sebelum kemudian duduk di tepi tempat tidur.
Ia menatap dengan malas pada makanan yang Linda bawa. Bukan karena bosan untuk makan, hanya saja Jelita merasa tidak berselera.
“Nona Jelita tidak apa-apa?” tanya Linda ramah sambil duduk berhadapan dengan Jelita di sebuah kursi kayu.
“Haha, kalau aku baik-baik aja, selera makanku pasti bakal selalu ada, Bi. Tapi terima kasih, Bibi udah merawat aku dengan baik bahkan mau jadi temanku. Kalau tidak, mungkin aku beneran bisa gila.”
Jelita tersenyum sinis setelah mengucapkan kalimat itu. Mana ada dirinya baik-baik saja? Apalagi setelah ia tahu bahwa kekuatan itu tidak muncul, Kini ia benar-benar merasa lemah serta tanpa harapan.
“Nona, Tuan Jhonas memerintahkan saya untuk memberikan ini kepada Anda.”
Linda mengeluarkan ponsel tersebut dari balik saku baju dan langsung mengulurkan kepada Jelita. Gadis itu mengerutkan kening bingung dan tak percaya begitu saja dengan pemberian itu.
“Ponsel?” gumam Jelita lirih namun tetap terdengar oleh Linda. Wanita itu mengangguk tanpa memberi komentar apa-apa.
“Apa maksudnya Jhonas memberikan ini padaku, Bi?”
“Saya hanya diminta untuk menyampaikan ini kepada Nona Jelita. Mungkin, Anda bisa menyalakan ponselnya. Beliau hanya berpesan agar Nona tetap menjaga benda itu dihidupkan. Saya pamit undur diri, tugas sudah saya laksanakan dan harus segera memberi laporan pada majikan kalau tidak ingin kena tegur. Nona Jelita harus makan biar tetap terjaga sehat. Saya pergi dulu.”
Linda bangkit dari duduk, sementara Jelita kembali menutup bibirnya ketika mengurungkan niat untuk bertanya kepada Linda perihal ponsel yang ada di dalam genggamannya sekarang.
---
Wanita itu telah keluar dan kini kembali Jelita sendirian. Tatapannya tertuju pada ponsel 6 inchi tersebut. Ia sama sekali tidak menyangka jika Jhonas memberikan benda itu pada dirinya. Namun, ia yakin jika laki-laki j*****m itu memiliki sebuah tujuan tertentu untuk semakin melemahkan dirinya. Menyadari pikiran itu, tiba-tiba saja Jelita jadi merasa gusar. Karena entah bagaimana, ia menjadi semakin resah menatap misteri dari ponsel yang kini digenggamnya.
Jelita meletakan benda itu ke atas nakhas, lalu menatapnya dengan cermat sekali lagi. Ia menimbang karena merasa bimbang, apakah harus menyalakannya atau tidak. Tapi, jika Jhonas yang memberikan itu berarti ada hal yang ingin laki-laki itu sampaikan padanya bukan?
Semakin gelisah, sang gadis menelan ludahnya sambil berusaha memantapkan diri untuk kembali meraih benda tersebut dan bertekad untuk memberanikan diri menekan tombol on pada panel disana agar segera dapat menghidupkannya.
Jantung jelita berdebar-debar ketika menatap layar ponsel yang sudah memasuki proses boothing.
Apa yang sebenarnya Jhonas rencanakan?
***
***
Besrsambung ...