Tidak Terbiasa

1111 Kata
Malam menunjukkan pukul 10, namun Berlian masih di kantor mengerjakan beberapa pekerjaan yang di perintahkan Lastri padanya, Berlian takt ahu jika ternyata apa yang Lastri lakukan hanya lah untuk mengerjainya. Malam semakin larut, namun Berlian tak juga kunjung pulang. Adiknya sudah menunggu di rumah. Berlian terus mengacak rambutnya frustasi, ia tidak bisa mengerjakan ini karena ini pekerjaan pertamanya sebagai siswa SMA yang baru tamat. Berlian tak tahu harus bertanya pada siapa. Ia juga tidak tahu harus meninggalkan pekerjaan ini atau tetap di sini. Berlian menghela napas panjang dan berkata, “Sepertinya aku memang bukan lulusan kepintaran sampai hal seperti ini saja aku tidak tahu. Kemungkinan aku akan menginap di sini dan menyesali diri harus masuk ke kantor ini,” gumam Berlian berbicara pada dirinya sendiri. Derap Langkah kaki terdengar, Berlian menoleh kanan kiri untuk mewaspadai sesuatu, ia baru di kantor ini dan ini hari pertamanya, dan ia tidak tahu bagaimana keamanan di kantor ini. Suara pintu sebuah ruangan yang ada di sudut sana terdengar terbuka, Berlian membulatkan matanya penuh dan seorang lelaki keluar dari ruangan tersebut, menggunakan kacamata baca dan mengenakan sweater blaster. Berlian menghela napas panjang ketika yang membuka pintu tersebut dan derap Langkah yang ia dengar adalah Langkah sang bos kedua yang ia tahu di perusahaan ini. Setahunya bos pertama adalah Enggar. Arsenio melihat Berlian dan menautkan alis sesaat. “Kenapa kamu masih di sini?” tanya Arsenio dengan nada tegas. Ia memang lelaki yang punya prinsip dan tegas dilingkup pekerjaan. “Saya sedang mengerjakan ini, Pak,” jawab Berlian. “Apa yang sedang kau kerjakan?” tanya Arsenio melangkah menghampiri Berlian yang masih duduk dikursi kerjanya. Arsneio mengambil dokumen yang dikerjakan Berlian dan menautkan alis berganti melihat Berlian yang masih kebingunan melihat Berlian yang begitu polos. Arsenio menggeleng dan menaruh dokumen itu diatas meja. “Apa kamu bodoh? Atau … pura-pura bodoh?” tanya Arsenio membuat Berlian menautkan alis karena tak mengerti apa yang dikatakan Arsenio. “Maksud Bapak?” “Kamu coba baca tanggal dan bulan yang tertera di sampul dokumen itu.” Berlian menunduk dan melihat tanggal yang tertera. “Ini tanggal 2 Januari 2021 dan keterangannya sudah selesai.” “Artinya?” “Selesai?” “Iya. Selesai. Ini dokumen dua bulan yang lalu yang dikerjakan Lastri. Jadi untuk apa kamu mengerjakan ini ulang? Atas perintah siapa kamu mengerjakan ini ulang?” tanya Arsenio dengan gelengan kepalanya. Ia tak habis pikir wanita yang di rekomendasikan Enggar malah sangat bodoh dan lamban. “Jadi … saya di kerjain?” tanya Berlian pada Arsenio. “Mana aku tahu, makanya kalau di perintahkan sesuatu lihat tanggalnya dan tanyakan untuk apa. Agar tidak seperti ini lagi,” kata Arsneio melangkah menuju tangga. “Sebaiknya kamu pulang.” Arsenio lalu melangkah menuruni tangga, ini adalah rumah 4 lantai, lantai paling atas adalah tempatnya tinggal, jadi mengapa ia turun kebawah? Berlian mengambil tasnya dan setengah berlari menyusul Langkah kaki bosnya. “Bapak mau kemana?” tanya Berlian sok akrab. Langkah kaki Arsenio berhenti, membuat Berlian menubruk punggung bosnya, ia lalu memperbaiki rambutnya dan mundur beberapa Langkah. “Memangnya apa urusannya denganmu, aku mau kemana?” “Saya bisa menemani Bapak,” jawab Berlian cengengesan. “Kamu mau menemaniku?” “Iya. Saya tahu semua seluk beluk kampung ini, jadi saya akan menunjukkan apa pun yang bapak ingin tahu,” kekeh Berlian, seperti ada yang menyuruhnya tersenyum. “Dasar gila!” gumam Arsenio. “Jadi … Bapak mau kemana?” “Saya mau ke kota cari makan,” jawab Arsenio. “Kamu pulang saja dan jangan bodoh seperti tadi.” “Saya juga—” Suara bunyi perutnya yang kasar membuat Arsenio membulatkan matanya dan menautkan alis melihat tingkah Berlian yang kini cengegesan seraya memegang perutnya agar tak sampai mengeluarkan bunyi yang memalukan. “Saya juga belum makan seharian, Pak.” “Lalu urusannya denganku?” “Bapak kan bos di sini.” “Lalu?” “Saya bisa menunjukkan tempat yang enak untuk Bapak dan sangat enak, makanannya terkenal di kampung ini bahkan warga di kampung sebelah sering ke kampung ini.” “Tempat makan yang enak? Makanannya apa?” “Anda akan tahu jika kita sampai di sini. Saya akan mengantarkan Anda ke sana.” “Kamu tidak sedang menjebakku, ‘kan?” “Mana ada saya mau menjebak Bapak, saya bukan siapa-siapa di sini,” geleng Berlian. “Bapak percaya deh sama saya, jika ikut saya ke tempat makan yang saya maksud, bapak nggak akan nyesel, lagian jam segini mah warung makan di kota pasti udah pada tutup, kan harus melakukan perjalanan satu jam lagi dari kampung ini.” “Baiklah. Saya ambil mobil dulu.” “Nggak usah naik mobil, Pak,” jawab Berlian. “Lalu?” “Kita jalan kaki saja, dekat kok dari sini,” seru Berlian. “Dekat, ‘kan?” “Dekat sekali kok, percaya pada saya,” jawab BErlian lalu melangkah duluan meninggalkan atasannya itu. “Apa aku harus percaya padamu?” “Saya orang kampung di sini dan lahir dikampung ini, Pak, jadi saya tidak mungkin mempermainkan Anda,” jawab Berlian penuh kepercayaan diri yang tinggi. “Baiklah.” Arsenio lalu menyusul Langkah kaki Berlian dan mereka berjalan berdampingan menuju tempat makan yang enak yang dikatakan Berlian padanya, semoga saja tidak mengecewakan. Hampir dua puluh menit berjalan jauh dari kantor, membuat lelaki itu ngos-ngosan dan ingin menjambak rambut Berlian karena sudah berhasil membonginya, Ia tak lupa ketika Berlian mengatakan bahwa tempatnya dekat, namun nyatanya hampir membuat jantungnya copot dan napasnya jadi memburu. “Kamu membohongiku?” tanya Arsenio membungkuk dan memegang kedua lututnya. “Saya tidak bohong, Pak, kita sudah sampai,” jawab Berlian menunjuk kang Parmin yang kini tengah melayani beberapa pelanggan yang memesan satenya. “Gerobak ini kamu bilang tempat makan yang enak?” tanya Arsenio. “Gila kamu, ya.” “Ini lebih nikmat dibandingkan makanan mewah, Pak, jadi Anda bisa memecat say ajika saya bohong akan rasanya,” tantang Berlian membuat Arsenio meluruskan tubuhnya. “Tapi aku tidak bisa memakan makanan seperti ini,” jawab Arsenio menolaknya. “Bapak coba aja dulu,” jawab Berlian lalu menarik atasannya itu untuk duduk dibangku kosong. Arsenio merinding karena tempatnya sangat menyeramkan, gerabak ini mangkal di bawa pohon besar. Semua pelanggan yang datang makan sate Kang Parmin, terlihat sangat menikmatinya membuat Arsenio menghela napas panjang. “Aku benar-benar akan memecatmu jika kamu berani membohongiku tentang rasanya.” Gumam Berlian. “Kang, satenya tiga ya, dua makan di sini dan satunya bungkus,” pesan Berlian. “Oke, Neng,” jawab Parmin yang memang sudah terbiasa mangkal di sini. Makanan terenak menurut Berlian ya hanya sate buatan Parmin, karena rasanya yang enak dan harganya yang sangat murah juga ramah di kantong dan lingkungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN