Berlian POV.
Aku menghela napas panjang, aku menatap keluar jendela, jendela kaca yang bisa saja aku pecahkan karena amarah yang terpendam didalam sana, amarah tentang adikku yang kini dirawat di rumah sakit karena jatuh dari tangga, aku seperti akan menghancurkan segala yang ada didepanku saat ini. Hancur sekali hatiku saat ini, ketika aku tidak diperbolehkan keluar rumah oleh suamiku sendiri. Aku menikah karena ingin bahagia dan mensejaterahkan keluargaku, namun nyatanya aku menikah karena hanya mendapatkan siksaan semata.
Aku membenci segala apa yang aku raih selama ini, meski aku menikah dengan pengusaha, dengan seorang CEO di perusahaan sendiri, dengan pebisnis dan usahawan, namun kekayaan itu tak mampu membuatku bahagia. Hanya ada tangis disetiap darahku yang mengalir. Aku membenci segalanya, aku memben i suamiku, aku membenci Enggar dan aku membenci dirinya yang sudah menikahiku.
Hanya karena membayar hutang pada rentenir, aku dinikahi dan disiksa seperti ini, entah dosa apa yang pernah aku lakukan dimasa lalu hingga aku mendapatkan nasib seperti ini.
Suara ketukan pintu terdengar, aku melangkah mundur karena takut mendengar suara hentakan kaki. Ku lihat Eci—ART di rumah ini membawakan makanan yang sudah ada diatas nampan. Aku menghela napas panjang dan duduk ditepian ranjang.
"Kamu, Ci?" Aku mengelus dadaku, membuat Eci merasa kasihan kepadaku. Terlihat dari tatapannya yang penuh dengan rasa ibah.
"Kamu makan dulu," kata Eci.
"Ci, apa tuanmu sudah pergi?"
"Sudah. Jangan berani keluar dari sini, Lian, kamu hanya akan mendapatkan masalah nantinya, bukan hanya kamu, tapi juga aku," kata Eci mencoba mengingatkanku.
"Aku nggak akan keluar dari sini, aku hanya ingin mendengar kabar adikku, apa kamu bisa mencari tahu kabarnya?"
"Aku sudah menelpon Endi—asisten Tuan, dan Endi mengatakan bahwa Denis sudah membaik, sudah sadarkan diri juga," jawab Eci membuatku bernapas lega.
"Aku nggak tahu, Ci, bahwa aku di sini hanya menjadi pemuas nafsu suamiku saja, aku bukan wanita yang di cintai, meski meminta dicintai sepertinya aku nggak akan hidup lagi," lirihku, airmataku menggenang. Semua teman-teman yang pernah menghinaku, memujiku bahwa aku mendapatkan jodoh yang baik, yang kaya raya, dan yang dapat membantu mensejaterahkan keluargaku, namun kenyataannya tidak seperti itu. Aku tak pernah mengetahui bahwa suamiku itu memiliki obsesi.
"Nggak ada wanita lain yang pernah Tuan bawa kemari selain kamu, bahkan istrinya sendiri."
Air mataku menggenang, dan Eci menarikku kepelukannya, Eci menghela napas panjang dan berkata, "Semua pasti ada takarnya, kamu harus sabar."
Aku menundukkan kepala. "Aku hanya nggak pernah menyangka bahwa hidupku akan seperti ini.
"Tuan Danzel orang yang baik, Lian, aku tahu betul itu, karena Tuan selalu membantu orang lain."
Ya. Aku menikah dengan sahabat Enggar ... Danzel namanya. Dia yang membuatku jatuh cinta atas sikap sombong dan kasarnya, lalu dia melamarku, aku sempat mengira bahwa dia adalah seorang bujang, bukan lelaki beristri.
***
Flashback ON.
Aku melangkah memasuki rumah itu, rumah yang terlihat sangat berantakan, banyak besi yang berhamburan dimana-mana, seperti yang aku dengar mereka akan membuat tambang di seberang sawah, semua warga di sini merasa terbantukan dengan adanya tambang tersebut.
Aku melihat para pekerja sedang mengangkat beberapa besi dan melasnya di belakang sana, rumah ini memang rumah yang paling besar dan sangat luas dibandingkan rumah yang lainnya, aku sempat mendengar bahwa pemilik rumah ini adalah orang kota. Kemungkinan pemiliknya adalah seseorang yang menempati ini.
Aku melihat seorang pria tampan yang tengah duduk mengobrol dengan Enggar, lelaki itu sangat tampan dan terlihat bijaksana, kulitnya putih, rambutnya berwarna coklat gelap dan manik matanya berwarna coklat pula, seperti seseorang yang tidak berasal dari Indonesia, namun luar negeri.
Enggar melihatku dan memanggilku.
"Gua punya teman baru, kenalkan dia Berlian," kata Enggar penuh semangat mengenalkanku.
"Saya ... Berlian," ucapku. Aku kemari tak membawa kue atau pun box kue seperti biasa, aku kemari karena Enggar menyuruhku.
"Oh jadi kamu yang akan melamar kerja di sini? Lulusan?"
"Bro, gua udah jelasin," kata Enggar mencoba menjaga perasaanku.
Dua lelaki tampan itu ada didepanku. Mimpi apa aku semalam.
"Oke deh. Kalau lo udah jelasin, lo urus aja," kata lelaki itu lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
"Dia memang seperti itu, Lian, maaf ya," kata Enggar.
"Nggak apa-apa. Aku kerja apa nih?"
"Temui Lastri di dalam sana, dia bisa menjelaskan apa yang akan kamu kerjakan," jawab Enggar. "Aku harus ke lokasi."
Aku mengangguk. Masa bodo jika aku di anggap tak berkualitas untuk bekerja di sini, yang penting aku butuh pekerjaan dan aku membutuhkan uang untuk membayar hutang nenekku ke rentenir, aku memang harus memiliki mental baja sekarang. Aku harus berusaha tak perduli dengan apa yang ada disekelilingku.
Sesaat kemudian, seseorang mengejutkanku. Aku menoleh dan melihat Serly tengah menautkan alis.
"Serly? Kamu kerja di sini juga?" tanyaku akrab.
"Juga? Maksudnya ... kamu juga?"
"Iya. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja."
"Aku kan udah ingetin kamu beberapa kali, jangan pernah kemari."
"Aku sampai lupa menanyakan apa maksud kamu melarangku kemari? Apa sih, Ser? Nggak ada apa-apa kok di kantor ini, lagian aku juga di pekerjakan, bukan datang sendiri."
"Apa sekarang kamu mau pamer kalau kamu deket sama Kak Enggar?"
"Kamu suka sama Enggar?"
"Ya aku suka. Kenapa? Mau merebutnya dariku?"
"Ya ampun, Ser, kenapa kamu berprasangka buruk padaku? Apa aku ini bukan temanmu?"
"Udah lah, Lian, kamu itu selalu menghalangiku jika ada sesuatu yang aku inginkan," kata Serly bersedekap.
"Apa yang kalian lakukan di situ? Nggak kerja?" teriak Lastri dari lantai atas.
Aku dan Serly mendongak lalu mengangguk.
"Maaf, Mbak," kata Serly lalu menatapku penuh amarah. Aku sudah bertekad tak akan perduli dengan apa yang akan menghalangiku dan dengan apa yang membenciku.
Aku pun menyusul langkah kaki Serly dan melihat Lastri.
"Kamu siapa?" tanya Lastri.
"Saya di suruh Enggar menemui Mbak," kataku.
"Oh kamu karyawan baru?"
Aku mengangguk. "Iya, Mbak."
"Ya udah. Kamu buatin para pekerja kopi dan siapkan cemilan, setelah itu kamu harus mencopy semua dokumen itu dan email ke pusat. Fax semuanya dan jangan ada yang tersisa," perintah Lastri padaku.
"Baik, Mbak, akan saya kerjakan."
Serly tertawa mengejek dari kejauhan membuatku mengabaikannya dan tak perduli dengan apa yang dia lakukan, yang aku tahu dia bukan teman yang baik, bahkan selama ini aku menganggapnya teman yang baik namun sebaliknya ia tak pernah menganggapku demikian.
Aku melangkah menuruni tangga dan menuju dapur, meski diluar sana berantakan namun di dalam rumah ini semuanya rapi. Ada lima pekerja perempuan termaksud aku. Dan, aku baru tahu kalau Serly bekerja di sini.