Arsenio terlihat acuh tak acuh dan terus mengelus lengannya karena merasa merinding, harus makan ditempat terbuka seperti ini, dan dekat sungai pula. Arsenio menggeleng, ia salah telah mengikuti karyawan yang baru saja masuk dan menurutnya sangat gila. Arsenio menghela napas halus dan sesaat kemudian pesanan mereka datang.
“Ini pesanannya, special buat Mr juga,” kata PArmin memberikan dua piring sate lengkap dengan lontongnya pada Berlian.
“Ini, Pak,” kata Berlian memberikan satu piring kepada bosnya.
“Ini beneran enak, ‘kan?”
“Pak, makan makanan seperti ini itu sehat.”
“Ah kamu. Kayak tahu saja sehat itu gimana,” geleng Arsenio melihat Berlian menarik satu sate dari tusuknya dengan giginya yang putih membuat Arsenio menunggu penilaian Berlian.
“Enak banget, Pak,” seru Berlian membuat Arsenio pun mencobanya dengan ragu.
“Sate buatan Kang Parmin mah kalah sama makanan restoran,” sambung salah satu pelanggan yang juga tengah menikmati sate.
Arsenio mengabaikan perkataan pemuda itu yang sudah mereview sate buatan Parmin ini, Arsenio menggigit kecil bagian atasnya, lalu mengunyahnya perlahan karena ini pertama kali baginya. Arsenio menatap waspada pada Berlian yang masih menunggu penilaian darinya.
“Gimana, Pak? Enak, ‘kan?” tanya Berlian tak sabar menunggu review dari atasannya.
“Lumayan,” jawab Arsenio lalu menggigit satu persatu sate buatan Parmin.
Berlian lalu tersenyum dan kembali menikmati sate di tempat terbuka, angin datang menembus tulang, terlihat banyak orang yang datang membeli. Berlian tak menyangka akan duduk berdampingan dengan bosnya dan makan di tempat terbuka ini.
Berlian akui bahwa bosnya itu memang orang kaya dan tidak pernah makan makanan ditempat seperti ini, namun hal yang baru itu malah membawa nikmat luar biasa bagi orang kaya tersebut.
“Tambah satu porsi lagi,” kata Arsenio pada Parmin.
“Siap, Mr,” jawab Parmin puas mendengar review dari orang kota seperti Arsenio.
Berlian hanya tertawa kecil mendengar Arsenio menikmatinya dan kini sudah menambah dua kali. Berlian akhirnya lega karena ia tak jadi dipecat.
Ketika mereka selesai makan satenya, Berlian dan Arsenio menghabiskan waktu setengah jam untuk menikmati sate buatan Parmin, apalagi Arsenio yang merasa puas dan merasakan nikmat luar biasa pada gigitan sate tersebut.
“Bapak nggak nyesel kan kemari?” tanya Berlian belum puasa dengan jawaban lumayan dari Arsenio.
“Ya begitu lah kira-kira,” jawab Arsenio. “Oh iya aku nggak bawa dompet,” tambahnya.
“Kok Bapak nggak bawa dompet?”
“Aku kan tadi mau bawa mobil tapi kamu melarangku, sedangkan dompetku adalah dalam mobil, jadi kali ini kamu yang bayar,” kata Arsenio membuat mata Berlian membulat, uangnya hanya cukup makan sampai besok, jika ia membayar sate yang ia makan, yang ia bungkus dan yang dimakan Arsenio, itu akan membuat uangnya habis dan kantungnya sobek. Seolah-olah Berlian yang mentraktir bosnya itu.
“Dasar orang kaya kere!” gumam BErlian membuat Arsenio tertawa kecil karena jelas mendengar u*****n itu.
Parmin memberikan kembalian uang Berlian dan uangnya tersisa 10ribu saja. Berlian seperti akan menangis rasanya karena ternyata ia yang rugi telah mengajak Arsenio kemari. Bukan ia yang mengerjai atasannya namun ia yang dikerjain.
“Aku pulang bagaimana?” tanya Arsenio.
“Bapak pulang saja sendiri,” jawab Berlian melangkah meninggalkan atasannya itu.
“Hei, aku nggak punya uang,” teriak Arsenio.
“Bapak usaha aja sendiri, aku juga udah kehabisan uang karena membayar makanan bapak,” teriak Berlian lalu terus berjalan menuju pulang.
Berlian tak menyangka akan membayar apa yang dimakan bosnya itu, yang harusnya membayar adalah Arsenio bukan dirinya, itu tidak masuk dalam rencananya. Malah ia memakan senjatanya sendiri.
Sampainya di rumah … Berlian membuka pintu rumah dan melihat Denis masih menonton.
“Kakak kenapa pulangnya malam sekali?” tanya Denis melihat kakaknya mengunci pintu.
“Kakak tadi mampir ke tempat mangkal Kang Parmin dan membelikan kamu sate,” kata Berlian menunjukkan sate yang ia beli.
“Wah. Kebetulan sekali, Denis sangat lapar,” seru Denis.
“Ya udah. Kamu makan dibelakang, setelah itu masuk ke kamarmu untuk tidur,” kata Berlian.
“Baik, Kak, tapi Kakak sudah makan?”
“Sudah. Kakak makan dengan Bos kakak,” jawab BErlian.
“Syukurlah. Kakak masuk istirahat gih,” kata Denis membuat Berlian mengangguk.
Berlian lalu masuk ke kamarnya dengan helaan napas halus, ia menghempaskan tubuhnya di ranjang keras, ia masih menggunakan Kasur, bukan springbed, ibunya tengah sakit keras dan tengah melawan sakit di rumah sakit, ia jarang menjenguk ibunya karena dokter melarangnya, penyakit ibunya parah dan menular, itu akan menjadi penyakit serius jika pindah ke orang lain.
Berlian menghela napas halus dan mencoba melupakan sosok lelaki yang sudah membuat uangnya habis, apalagi besok Denis akan ke sekolah, ia hanya memiliki 10ribu untuk jajan adiknya itu.
Rumah ini adalah rumah peninggalan neneknya, namun karena bangunannya tua dan using, akhirnya banyak bagian yang roboh.
Berlian sangat bersyukur atas bantuan Enggar padanya, akhirnya ia bisa menemukan tempatnya mengeluh dan mengadu meski ia terkadang tidak ingin mengeluh.
***
Arsenio akhirnya sampai di kantor, ia masuk ke kamarnya dengan perut yang kenyang, setelah makan malam, ia malah melawan dinginnya malam yang menembus kulitnya, karena harus berjalan kaki jauh ke tempat mangkal Parmin.
Arsenio membuka kulkasnya dan mengambil minuman kaleng dan membuka tutupnya, setelah itu meneguknya perlahan dan berdiri didekat dinding kaca, ia melihat hamparan sawah yang luas, orang di kampung ini memang menolak tanah mereka dijual, namun Arsenio tahu bagian mana yang membutuhkan uang dan bagian mana yang akan tetap mempertahankan tanahnya.
Arsenio terus meneguk minuman berkaleng itu.
Helaan napas halus dari mulut Arsenio terdengar, ia tak menyangka bisa berjalan berdampingan dengan Berlian dan menuju ke tempat mangkal Parmin, ia terlihat Lelah berjalan kaki, namun setelah ia makan dan kenyang, kelelahannya hilang begitu saja.
Arsenio terus melihat hamparan sawah yang luas, meski ia membangun proyek pertambangan raksasa di kampung ini, namun sawah itu tetap terjaga dan tidak terkena wabah apa pun, karena pembuangan proyeknya ada di arah berlawanan.
“Aku harus melakukan banyak hal sebelum kembali ke Jakarta,” gumam Arsenio kembali meneguk minumannya.
Arsenio membuka sweaternya dan menaruhnya disembarangan tempat, untung saja ketika proyek di sini di bangun akhirnya ada laundry yang bisa ia gunakan untuk mencuci pakaiannya. Biasanya orang-orang akan ke sungai mencuci pakaian, namun sekarang sudah ada laundry yang dibayar perkilo.
Arsenio menyibak tirai kamarnya dan menutup dinding kaca yang bisa membuatnya melihat keadaan sekitar, ia juga bisa melihat banyak orang yang lewat jika pagi hari, ia juga pernah melihat Berlian melintasi kantor ini membawa kotakkue yang berisi jualannya.
Flashback OFF.