Dia Suamiku

1047 Kata
Berlian menghela napas panjang dan melihat pemandangan diluar sana, dinding di kamar ini semuanya kaca, hanya ada tirai yang menjadi pembatas agar tak seorang pun yang melihat apa yang terjadi didalam sini. Berlian menyeka airmatanya yang luruh begitu saja, ada kesedihan yang tak bisa ia ceritakan pada orang lain, ada airmata yang selalu menghiasi wajah cantiknya, taka da yang bisa ia lakukan selain mempasrahkan segalanya pada yang maha kuasa tentang nasib dan takdirnya kini. Air matanya terus menggenang, ia merindukan sang adik yang jauh di sana, ia harus menahan rindu yang menyiksanya kini, ketika mendengar Denis sakit dan kini tengah di rumah sakit, Berlian terus memikirkan bagaimana caranya ia harus keluar dari sini dan menemui Denis. Denis pasti membutuhkannya saat ini, Denis adalah tanggung jawabnya, namun tanggung jawab yang Berlian miliki hanya lah sesuatu yang dihilangkan suaminya hanya dengan satu kata dari mulutnya. Suara pintu terdengar terbuka, ia menoleh dan memegang dadanya yang terdengar memburu ketika mendengar suara pintu itu. Berlian menghela napas lega ketika melihat Eci masuk membawa nampan berisi sepiring makanan dan segela air mineral. Eci ditugaskan untuk menjaga dan mengurus segala sesuatu yang ia butuhkan. Sedangkan Eci memiliki Ibu yang juga bekerja di rumah ini, Ibunya adalah ART yang menyiapkan makanan, mencuci dan membereskan rumah, sedangkan ayahnya bekerja sebagai tukang kebun. Rumah ini adalah rumah kedua orangtu suaminya dulu, namun keluarga suaminya sudah pindah ke rumah lain dan kini rumah ini kosong dan tidak berpenghuni. Hanya ada Juminten—ART dan Anto—tukang kebun. “Ayo makan,” panggil Eci. “Ci, kamu dapat kabar dari Denis?” tanya Berlian. “Udah, karena itu kamu harus makan,” jawab Eci. “Gimana kabarnya? Apa dia baik-baik saja?” tanya Berlian duduk disofa tepat disamping Eci. “Aku akan menjawabnya, namun kamu harus makan setelah mendengarnya.” “Aku janji,” jawab Berlian. Dulu … Eci sering memanggil Berlian dengan sebutan Nyonya, namun karena Berlian tak suka mendengarnya dan menyuruh Eci tak memanggil dengan sebutan itu, Berlian butuh teman di rumah besar ini, ia tidak ingin semua orang segan padanya. Eci pun memilih melakukan itu. Semakin hari mereka semakin akrab saja seperti teman pada umumnya. “Denis sudah keluar dari rumah sakit. KEadaannya baik-baik saja,” jawab Eci. “BEnarkah?” “BEnar. Jadi kamu nggak usah khawatir lagi. Aku mendengarnya langsung dari Bilyar, supir pribadi Tuan.” “Alhamdulillah. Syukurlah jika dia baik-baik saja.” “Sekarang … makan lah, jangan terus menyiksa dirimu, Denis pun nggak akan senang jika kamu menyiksa diri seperti ini.” “Tuanmu mana?” “Sepertinya … Tuan nggak akan pulang malam ini." “Kenapa?” “Aku juga gak tahu." Berlian menghela napas panjang, ia lega jika suaminya itu tidak pulang dan tidak ke rumah ini, ia berharap bisa tidur dengan tenang hari ini dan seterusnya tanpa ada gangguan dari suaminya itu. Ya. Berlian adalah istri kedua, ia tidak pernah tahu sebelumnya jika suaminya sudah menikah sebelum dengan dirinya, meski harapannya sia-sia, namun setidaknya ia bisa bernapas lega agar suaminya tak sering pulang kemari, Berlian tidak pernah memikirkan sebelumnya bagaimana nasibnya menjadi istri kedua. Istri pertama dari suaminya itu sudah memiliki seorang putri yang diberi nama Alifah Abimayu. Berlian menikah dengan seorang pengusaha sukses, Arsenio Abimayu nama suaminya. Ya. Nama suaminya adalah Arsenio, lelaki itu yang menikahinya, bukan Enggar yang pernah memberikan janji padanya. Setelah proyek di Jogja selesai dan sudah berjalan seperti pertambangan seperti biasanya. Arsenio membawa Berlian juga Denis ke Jakarta. Berlian selalu berharap ia akan lebih bahagia di Jakarta, namun nyatanya tidak sama sekali. Denis yang meminta izin padanya untuk bersekolah di pesantren, dan ia tinggal sendirian di rumah besar ini. Setelah beberapa bulan menerima siksaan batin dan lahir dari suaminya, ia pun tak diperbolehkan bertemu dengan adiknya sendiri. Kenyataan apa yang ia inginkan? Sakit? Tentu saja sakit. Lebih sakit lagi wanita yang nantinya akan tahu bahwa suaminya telah menikah lagi. . . Flashback ON. Hari itu, Berlian dan Enggar jalan bersama menuju kantor, beberapa hari ini Enggar menunjukkan perhatian yang lebih pada Berlian. BErlian tak pernah tahu bagaimana perasaan lelaki itu padanya, namun ada rasa senang sekaligus bahagia terus jalan bersama dengan lelaki yang sudah menolongnya itu. Berlian hendak melangkahkan kakinya masuk ke kantor setelah sampai beberapa menit yang lalu, namun Langkah kakinya terhenti ketika Enggar menggenggam lengannya. Berlian berbalik dan menautkan alis. “Ada apa?” tanya Berlian. “Aku mau membicarakan sesuatu padamu,” jawab Enggar. Berlian memperbaiki posisinya dan menghadap wajah Enggar. Sedangkan di atas sana seseorang tengah melihat keduanya yang sedang membicarakan sesuatu. “Aku bisa mengatakan sesuatu padamu?” tanya Enggar. “Katakan saja. Aku akan mendengarkanmu,” jawab Berlian dengan senyum mengambang. “Aku sudah lama suka sama kamu, Berlian, aku berharap perasaanku nggak bertepuk sebelah tangan,” kata Enggar membuat Berlian membulatkan matanya penuh, Seorang lelaki tampan itu menyukainya? Masa sih. “Jangan bercanda,” kekeh Berlian. “Aku nggak bercanda, Berlian, aku sangat menyukaimu, aku menyukaimu sejak kita mengobrol di gubuk dekat sawah.” “Kamu menyukaiku? Aku merasa aku nggak pantas di sukai, Enggar.” “Kenapa? Bagiku kamu wanita yang sempurna dan wanita apa adanya, aku nggak butuh seseorang yang pantas untuk menemaniku,” kata Enggar membuat bunga dihati Berlian tumbuh begitu saja. Berlian merona, ia juga memiliki perasaan yang sama pada Enggar, namun tidak enak saja harus mengungkapkannya duluan, ia merasa sangat beruntung telah di sukai lelaki tampan dan kaya seperti Enggar. “Apa kamu mau menjadi bagian dari hidupku?” tanya Enggar. “Maksud kamu … menjadi pacarmu?” “Iya. Aku akan membuatmu bahagia, aku janji,” kata Enggar mengambil kedua tangan Berlian dan menatap wajahnya. Jantung Berlian berdetak begitu kencang dan mengangguk pelan yang artinya ia menerima perasaan lelaki itu. “Aku terima,” jawab Berlian. “Benarkah? Jadi … sekarang kita pacaran?” Berlian mengangguk malu dan setengah berlari masuk ke kantor, ia senang sekaligus bangga pada dirinya sendiri karena telah mendapatkan kepercayaan untuk jatuh cinta sekali lagi, setelah ia menyukai seseorang namun ada teman yang menyukai seseorang itu. Berlian belajar tak akan mengalah lagi meski ia sudah tahu bagaimana perasaan Serly pada Enggar. Di atas sana, Arsenio tengah mengepalkan kedua tangannya, ia tidak akan terima jika Enggar bahagia dan berpacaran dengan Berlian. Ia harus melakukan sesuatu untuk membuat Enggar merasa bahwa ia tidak pantas mendapatkan kebahagiaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN