Masa-masa remaja Ezra berjalan muram. Tak ada yang mau berteman dengannya, kecuali Yuna yang dibiayai sekolah oleh orang tua Ezra. Di suatu pagi yang cerah tak secerah hati remaja pria berusia 14 tahun itu yang sedang dirundung duka akibat dirinya yang tidak mendapatkan kelompok untuk pelajaran Fisika. Ia mengedarkan pandangannya untuk meminta pada siapa pun yang mau menerimanya di kelompok.
“Hai, gue boleh gabung kelompok kalian ga?” tanya Ezra.
“Yah, sorry, sama yang lain aja, ya,” jawab seseorang yang jawabannya sudah sangat bisa ditebak.
“Hai, boleh gabung sama kalian ga?” tanya Ezra pada yang lainnya.
“Yah, udah pas nih. Lo cari yang lain aja.”
“Hai … b-boleh gabung ga?”
“Dih, ogah! Sama yang lain aja.
Raut wajah Ezra pun tampak semakin murung. Ia bukan orang yang terbilang sangat pintar. Prestasi akademisnya terbilang biasa saja walau tidak buruk. Ia tidak yakin akan mampu jika mengerjakan tugasnya seorang diri.
“Ezra.”
Ezra mengalihkan pandangannya menuju sumber suara. Rupanya suara itu berasal dari seorang gadis cantik yang menjadi kembang sekolah.
“I-iya?”
“Gabung sama kita aja yuk.”
Pria itu pun bagai menemukan malaikat pelindungnya. Ia tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan semangat walau orang-orang yang sekelompok dengan gadis itu menghela napas dan memutar bola matanya karena tak sudi menerima pria itu di kelompok mereka. Namun, apa daya. Indah adalah gadis cantik, kaya, pintar, dan paling populer di sekolah mereka. Menjadi teman Indah merupakan kehormatan bagi mereka karena mereka mendadak menjadi anak populer di sekolah mereka karena berteman dengan gadis secantik dan sekaya Indah Karnasih Hadiputro yang merupakan pewaris Hadiputro Group.
***
Sekolah swasta tempat Ezra menempuh pendidikan di bangku Sekolah Menengah Pertama berencana mengadakan ulang tahun yayasan pendidikan yang menaungi sekolah mereka, yang sudah berdiri selama 30 tahun. Indah pun didaulat sebagai salah satu anggota panitia acara ulang tahun tersebut. Indah bertugas sebagai seksi konsumsi.
Acara pembukaan pesta ulang tahun sekolah itu berjalan dengan sangat meriah. Diawali dengan pidato dan doa pembuka acara lalu dilanjutkan dengan diadakannya berbagai perlombaan. Seperti biasa, saat sekolahnya mengadakan acara sejenis perlombaan seperti itu, Ezra hanya berdiam diri saja di kelas sambil membaca komik. Tak peduli apakah cerita komik tersebut menarik atau membosankan, Ezra tetap fokus membacanya agar ia tetap terlihat sibuk di saat tak seorang pun yang mau mengajaknya bermain atau sekadar berbincang.
“Guys, kelas kita kekurangan orang nih buat lomba tarik tambang. Si Elijah mendadak kena diare, jadi dia gak bisa dateng,” ujar Angga yang baru saja berlari tergopoh-gopoh menuju ruang kelasnya setelah menerima pesan singkat dari Elijah yang memutuskan untuk tidak berangkat ke sekolah daripada membuat repot dirinya sendiri.
“Dave, lo aja gantiin Elijah,” ujar Dera yang melihat Dave sedang bermain kartu uno bersama dengan teman satu gengnya.
“Aduh, hari Sabtu minggu ini kan gue mau ikut violin recital. Kalau tangan gue sakit gimana?” balas Dave.
Angga menghela napasnya lalu bertolak pinggang saking kesalnya “Lo deh Van,” ujarnya.
“Gak bisa gue. Gue kan bentar lagi tanding basket. Repot kalau tangan gue sakit,” balas Ivan yang juga sedang memainkan kartu uno.
Indah ingat ada Ezra di ruang kelas itu. Ia pun mengarahkan pandangannya menuju meja Ezra dan mendapati pria itu sedang tenggelam dalam bacaan komiknya seraya mendengarkan musik melalui ponselnya.
“Ezra!” panggil Indah. Namun, Ezra tidak mendengar panggilan itu.
“Oy, Zra!” panggil Nicky dengan suara lebih keras hingga Ezra mengalihkan pandangannya dari komiknya.
“Ya?” ujar Ezra.
Indah tersenyum pada Ezra lalu mengatakan sesuatu yang hanya akan membuat hidup Ezra pada hari itu menjadi lebih buruk. “Zra, lo ikut lomba tarik tambang, ya. Gantiin Elijah. Dia sakit, makanya gak bisa dateng hari ini.”
“Hah?!” celetuk Ezra. Ia yakin tidak ada satu pun murid di kelasnya yang mau menjadikan dia anggota di kelompok perlombaan.
Angga kembali menghela napas malasnya lalu mengusap kasar wajahnya. “Kalau lo gak ikut, kelas kita tereliminasi,” ujarnya yang mengalah pada ide Indah daripada gagal mendapatkan gelar juara.
“Please, Zra. Ikut, ya,” ujar Indah dengan penuh harap.
Melihat Indah yang memintanya dengan penuh harap, Ezra pun mengiyakannya. Hanya Indah yang menjadi penyemangat terakhir kehidupannya di SMP. Kalau tidak ada Indah di sekolah itu, sudah pasti ia akan merengek pada orang tuanya untuk dipindahkan ke sekolah lain. Sekolah yang tidak ternama pun tak apa, asalkan ia dapat hidup dan belajar dengan nyaman dan aman di sana.
Perlombaan tarik tambang tidak berjalan seimbang. Kelas VIII-3 dapat dikalahkan oleh kelas IX-2 dengan sangat mudah dan tersingkir begitu saja dari pertandingan. Dari segi fisik, Ezra, Angga, dan Nares kalah besar dan kalah kuat dari para anggota tarik tambang yang menjadi lawan mereka. Tentu saja mereka dapat dikalahkan dengan mudah dan semua orang yang hadir saat pertandingan itu berlangsung dapat menebak dengan benar tim mana yang akan keluar sebagai pemenang. Walaupun begitu jelasnya ketidakseimbangan pertandingan itu, tetap saja Ezra yang disalahkan oleh teman-teman satu kelasnya. Mereka menganggap karena fisik Ezra yang lemah yang membuat mereka kalah padahal dalam batin mereka sangat menyadari bahwa kekalahan itu bukan karena Ezra.
“Lemah banget sih lo!” teriak Nares pada Ezra.
“Gak guna lo!” lanjut Dave.
Para murid dari kelas Ezra pun menyoraki Ezra. Hanya Indah yang tidak ikut menghinanya.
Ezra tahu benar keberadaannya benar-benar tidak diinginkan. Ia segera kembali ke dalam ruang kelasnya untuk mengambil tas ranselnya dan bergegas pulang. Saat ia sedang menelepon sopirnya karena ingin pulang saat itu juga, Indah menyusulnya masuk ke dalam kelas.
“Hmm … Ezra,” panggil Indah.
“Ya?” balas Ezra dengan enggan. Ia kecewa pada dirinya sendiri yang sudah mengecewakan Indah yang memercayainya untuk ikut bertanding.
“It’s ok. We can’t win every day,” ujar Indah diiringi senyuman manisnya.
“Maaf ya, gue udah ngecewain lo.”
Indah buru-buru menggelengkan kepalanya. “Enggak, kok. Gue malah seneng lo mau gantiin Elijah.”
“Thanks.”
“Lo mau pulang sekarang?”
“Iya, gue capek. Lagipula hari ini gak ada kelas.”
Indah pun menyodorkan sebotol minuman jeruk pada Ezra yang tadi ia ambil di bagian konsumsi. “Tadi lo lupa ambil minumannya.”
“Thanks. Gue balik dulu, ya,” ujar Ezra seraya mengambil botol yang diberikan Indah. Tanpa sengaja ia menyentuh kulit jari Indah yang terasa sangat lembut.
“Hati-hati di jalan, ya.”
Ezra pun melangkah keluar dari dalam ruang kelasnya menuju halaman parkir sekolah dengan hati berbunga-bunga. Indah tampak sangat manis di matanya.