Sepanjang hari Sekar menangis dan meraung-raung di unit apartemen tipe studionya. Rasa bencinya pada Indah semakin menjadi-jadi. Semua media masa memberitakan tentang pertunangan Indah Karnasih dan Rangga Himawan. Sekar membanting semua barang yang ada di hadapannya. Ia merutuki kehidupannya yang sangat jauh berbeda dari Indah dan Rangga. Ia membenci kenyataan bahwa ayahnya meninggal saat usianya baru empat tahun dan ibunya terpaksa bekerja sebagai buruh cuci. Kehidupannya mulai membaik setelah mendapatkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga Himawan. Namun, rupanya pekerjaan ibunya itu hanya membuat hidupnya terasa semakin meyakitkan. Ia jatuh cinta pada sang star boy Rangga Himawan yang menyadarkannya bahwa ada tajamnya ketimpangan sosial di antara mereka.
***
Satu minggu setelah pertunangannya digelar, Indah bersama manajer keartisannya, asisten pribadi, dan sopir pribadinya berangkat ke Bandung untuk memulai shooting film terbarunya, Oh, My Dream Girl! Perjalanan berjalan lancar. Indah bersama asisten pribadinya yang bernama Yuna, yang juga merupakan teman SMP-nya dulu, mendendangkan lagu dengan riang gembira selama perjalanan hingga Bens, manajer artis, yang berada di kursi samping sopir menghadap belakang lalu memukul lengan mereka dengan kipas lipatnya. Ia khawatir pak Sumanto hilang konsentrasinya saat menyetir karena mendengar suara Indah dan Yuna yang sangat melengking tak beraturan. Indah dan Yuna tertawa melihat Bens yang kemayu mulai mengomeli mereka. Pak Sumanto pun juga ikut terkekeh.
Setibanya di Bandung, Indah berlompat-lompat kegirangan setelah udara dingin menyambut kedatangannya. Yuna tersenyum melihat Indah lalu mengambil foto gadis itu. Mereka istirahat sejenak sebelum memulai aktivitas shooting mereka. Indah mengambil foto vila tempat istirahat mereka lalu mengirimkannya pada Rangga dan diberikan pesan ‘Wish you were here.’
***
Seharusnya Sekar baru datang ke Bandung esok hari karena dua hari pertama jadwal shooting filmnya tidak ada pengambilan adegan perannya. Namun, ia berpikir untuk berangkat lebih awal agar bisa bersantai sejenak di kota kembang itu karena ia harus menyetir sendiri ke Bandung. Ia layak mendapatkan istirahat dari pikirannya yang mumet akibat pria yang dicintainya dan yang telah mendapatkan kesucian dirinya lebih memilih wanita lain.
Setelah satu jam perjalanan, Sekar merasakan adanya masalah pada mobil yang sudah setia menemaninya selama tiga tahun itu. Tiba-tiba saja laju mobilnya tersendat-sendat dan berujung pada kematian mesin. Sekar berteriak kesal dan memukuli setir mobilnya. Mengapa alam semesta seperti tak merestui apa pun yang dilakukannya. Bahkan, mobil yang ia beli dari hasil kerja kerasnya pun tak mau mendukungnya. Sekar terpaksa menelepon bengkel langganannya untuk menderek mobilnya ke tempat perbaikan.
Sekar memilih untuk melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan mobil rental. Biarlah mobil miliknya ia tinggal di bengkel selama diperbaiki. Ia harus segera pergi ke Bandung. Ia tak boleh telat sedikit pun.
Sekar tiba di area tempat peristirahatan para artis dan kru film malam hari. Dari kejauhan, Sekar mendapati mereka sedang berjalan menuju vila setelah makan malam di restoran yang berlokasi tak jauh dari vila tersebut sehingga mereka hanya perlu berjalan kaki ke sana. Rupanya Indah tak terlalu memperhatikan langkahnya. Ia sibuk menatap layar ponselnya karena sedang tersambung dengan panggilan video call dari Rangga. Indah terjatuh hingga ponselnya terpental cukup jauh dari tangannya. Sekar yang mendapati Indah terjatuh tanpa ragu tancap gas untuk menabrak Indah. Para kru yang mendengar suara mobil yang melaju kencang pun secepat kilat menolong Indah dan membawanya ke pinggir jalan agar tidak tertabrak mobil tersebut.
“Woy, anjing lo!” teriak salah satu kru film. Samuel, aktor yang menjadi lawan main Indah di film tersebut, melempar sebuah batu yang cukup besar hingga membuat kaca belakang mobil itu retak.
Sekar tetap melajukan mobilnya dengan cukup kencang. Tubuhnya gemetaran. Entah apa yang merasuki dirinya hingga ia nekat berencana membunuh Indah dengan mobil yang disewanya. Sekar pun memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta. Ia tidak mau dijadikan tersangka kasus pembunuhan berencana.
***
Indah bersama Bens, Yuna, dan pak Sumanto berkumpul di ruang tengah vila yang cukup besar itu. Bens dengan gaya khasnya terlihat panik. Sementara artis dan kru film lainnya sudah masuk ke kamar tidur mereka masing-masing.
“Gak bisa, gak bisa, gak bisa! Kita gak bisa tinggal diam. Gue yakin tuh orang emang ngincer you, Ndah!” ujar Bens lalu membuka kipas lipatnya dan mengipasi dirinya yang tengah berapi-api di tengah cuaca dingin.
“Tadi aku sempat ambil foto mobil itu, tapi karena mobilnya jalannya cepet banget jadi fotonya goyang,” ujar Yuna seraya menunjukkan sebuah foto di ponselnya.
Bens segera mengambil ponsel Yuna dan melihat foto tersebut. Ia zoom foto tersebut dan matanya membesar untuk melihat plat mobil yang terlihat samar-samar. “Ini plat mobilnya dari Jakarta!”
“Waduh, jangan-jangan …,” ujar pak Sumanto yang terpotong oleh Bens.
“Jangan-jangan siapa, Pak Sum?” tanya Bens karena ia pikir pak Sumanto memikirkan orang yang sama dengan yang dipikirkannya.
“Ya jangan-jangan orang dari Jakarta yang mau pulang kampung ke Bandung, terus dia ngebut karena udah malem,” jawab pak Sumanto tanpa rasa bersalah pada Bens yang kini bertolak pinggang dan menatapnya dengan kesal.
“Aduh, Pak Sum, polos amat sih! Bikin gemes aja!” ujar Bens. “Jangan-jangan, Beb, ini si Sekar, Beb,” ujarnya pada Indah.
“Hah?” seru Indah, Yuna, dan pak Sumanto.
“Kok bisa ya mbak Sekar ngebut gitu padahal ada kita lho di situ. Apa dia gak lihat kita ya karena gelap udah malem?” ujar pak Sumanto dengan polosnya.
“Duh, lama-lama gue getok juga nih orang! Gemes banget!” ujar Bens dengan gaya centilnya sambil memukul lengan pak Sumanto dengan kipas lipatnya yang membuat Indah dan Yuna terkekeh.
“Apa perlu kita lapor polisi?” tanya Yuna.
“Gak usah, gue gapapa, kok,” jawab Indah.
“Tapi, kita tetap harus hati-hati, Ndah,” ujar Bens.
“Oh ya, saya belum kasih tau pak Jeno,” ujar pak Sumanto yang bergegas mengambil ponselnya dari kantong celananya.
“Pak Sum, gak usah kasih tau ke papa mama saya, ya. Nanti mereka khawatir,” ujar Indah.
“Tapi Non, saya kan disuruh jaga Non Indah dan kasih kabar apa pun yang terjadi sama Non Indah ke bapak sama ibu,” protes pak Sumanto.
“Lebih baik jangan, Pak. Nanti mereka khawatir berlebihan. Yang ada bisa-bisa saya gak boleh lagi ngartis,” balas Indah.
“Oh gitu ya, Non,” balas pak Sumanto ragu. “Saya bilang aja tadi Non Indah gak sengaja jatuh aja kali ya, tapi kondisinya baik-baik aja.” Indah pun menganggukkan kepalanya. Setidaknya apa yang akan disampaikan oleh pak Sumanto tidak akan membuat karir keartisannya berhenti karena kekhawatiran kedua orang tuanya.
“Kita harus cari bodyguard buat Indah!” ujar Bens yang mengeluarkan pendapatnya setelah berpikir cepat.
“Buat apaan? Emangnya gue Presiden?!” protes Indah.
“Gak bisa, Beb! Lo tuh artis terkenal dan udah banyak yang tau juga lo itu pewarisnya Hadiputro Kimia. Gue khawatir ada orang yang mau mencelakai lo. Gue gak mau tau ya, pokoknya besok kita buka lowongan kerja buat cari pengawal pribadi yang badannya kekar, berotot, dan jago bela diri!”
“Waduh, gajinya berapa tuh, Kak Bens?” tanya pak Sumanto.
“Dua digit!” jawab Bens dengan keyakinan penuh.
“Uwaw!” balas pak Sumanto.
“Yuna, besok sebar lowongan kerjanya,” ujar Bens.
“Oke, Kak Bens,” balas Yuna.
***
Setelah perbincangan mengenai pembukaan lowongan kerja sebagai pengawal pribadi Indah berakhir, mereka masuk ke dalam kamar tidur masing-masing. Bens sekamar dengan pak Sumanto. Indah sekamar dengan Yuna. Sebenarnya untuk para artis mendapatkan kamar tidur sendir, tetapi Indah tak mau tidur sendiri. Bukan karena takut, tetapi karena ia lebih memilih tidur sekamar dengan Yuna agar punya teman mengobrol sebelum tidur.
“Indah, maaf ya,” ujar Yuna saat Indah menyusulnya berbaring di ranjang.
“Maaf kenapa?” tanya Indah dengan dahinya yang berkerut.
“Maaf karena gue tadi lalai jagain lo.”
“Ya ampun masih dibahas aja. Gue gapapa, Yuna Sayang. Lo lihat kan nih gue baik-baik aja?”
“Hmm … tapi gue merasa bersalah sama Ezra.”
“Lah, kenapa jadi bahas Ezra?”
“Dulu Ezra pernah minta gue untuk jagain lo selama dia ke Amerika.”
Perasaan Indah pun menjadi tak karuan. Ia masih sangat ingat pada apa yang dikatakannya pada Ezra sebelum pria itu pindah ke Amerika, yaitu kemungkinan mereka akan menjadi sepasang kekasih ketika dewasa nanti. Walaupun kini ia maupun Yuna tak tahu kabar dari Ezra, ia selalu berdoa agar temannya itu bahagia dan menemukan seorang wanita yang tulus mencintainya.
“Nanti kalau lo ketemu lagi sama Ezra, tolong sampaikan terima kasih gue ya. Terima kasih udah kasih sahabat yang baik banget buat gue, ya itu lo, Yun.”
Yuna tersenyum dan menganggukkan kepalanya walau tak tahu apakah ia masih bisa bertemu lagi dengan sahabatnya itu. “Lo pernah kangen gak sih sama Ezra?”
“Sangat sih. Gue pengen banget ketemu dia lagi,” jawab Indah seraya mengenang masa-masa SMP-nya.