BIG

2461 Kata
Kurasa  saat  ini  aku  terkena  karma. Kalian  mengerti  maksudku? Aku  harap  begitu,  karena  aku  benar-benar  membutuhkan  penjelasan. Sesuatu  yang  memenuhi  pikiranku  saat  ini  benar-benar  membuatku  bingung. Sekarang  kalian  juga  mulai  bingung  dengan  apa  yang  aku  bicarakan. Oke,  aku  akan  memulainya  dari  awal. Aku,  seorang  pria  keturunan  pribumi. Asli  Indonesia. Dengan  postur  tubuh  tegap  dan  kulit  yang  kecoklatan. Mempunyai  garis  rahang  dan  tulang  pipi  khas  seorang  pria sejati.  Badanku  tidak  terlalu  besar  seperti  atlet  binaraga,  tapi  aku  ditakdirkan  memiliki  bentuk  tubuh  yang  sempurna,  dengan  perut  sixpack  dan  otot-otot  yang  keras.  Wajahku?  Hmm ...  aku  yakin  di  atas  rata-rata.  Terlihat  dari  daftar  gadis-gadis  seksi  yang  menunggu  untuk  mendapat  giliran  berkencan  denganku.  Oke, sekarang kalian  pikir  aku  menyebalkan? Oh  ayolah, aku  hanyalah  pria muda yang menikmati  hidup. Aku  seorang  pemuja  wanita—seksi—di sini aku tekankan kata seksi karena aku tidak tertarik dengan yang selain itu.  Untungnya aku  memiliki  segala yang diinginkan wanita,  tubuh  sempurna,  wajah  tampan  dan  uang  yang  melimpah. Itu  membuatku  mudah  mendapatkan  gadis  yang  kumau. Jangan  tanyakan  berapa  banyak  wanita  yang  sudah  kutiduri,  aku  terbiasa  meniduri  wanita  sesering  mengganti  celana  dalamku. Oke,  aku  bercanda.  Tidak  sesering  itu,  tapi  paling  tidak  seminggu  sekali  aku  bercinta  dengan  wanita  berbeda. O, ya. Perlu kalian ingat di sini, aku sama sekali tidak tertarik dengan wanita bertubuh besar. Wanita-wanita  yang  kukencani  hanyalah  wanita  ramping,  tinggi  semampai  dengan  kaki  yang  indah.  p******a  montok  itu  pengecualian,  aku  menyukainya.  Bukan  wanita  gendut  dengan  lemak  di  mana-mana. Bukankah itu  terlihat  menjijikkan. Tunggu! Jangan  pergi  dulu,  karena  dari  sinilah  ceritanya  dimulai. *** “Sialan. Lebih  keras,  Babe.”  Teriakku  di antara  deruan  napas  yang  memburu. Saat  ini  aku  berada  di  apartemen  seorang  gadis  yang  kutemui  di  bar  semalam. Yah ...  sekarang  sudah  pagi,  matahari  cukup  tinggi  di  luar  sana,  tapi  cahayanya  tidak  bisa  menembus  tirai  yang  menutupi  jendela  di  ruangan  ini. Kami  menghabiskan  malam  dengan  bercinta,  dan  pagi  ini,  aku  dibangunkan  dengan  kejutan menyenangkan. Blowjob yang menakjubkan. Hoo ... jangan melotot padaku. Pengetahuan untuk kalian para wanita ... percaya padaku,  semua  pria  menyukai  blowjob. Sayangnya, kenikmatan yang kurasakan tidak berlangsung lama. Karena  selanjutnya,  aku dikejutkan suara seorang wanita bertubuh  besar  yang sudah berdiri  di  tengah  pintu—bahkan  tubuhnya  menutupi  pintu  kamar—terbelalak  melihat  apa  yang  kami  lakukan. “RAINAAA ...”  teriak wanita itu  histeris. Aku  yang  terkejut  dengan  kehadirannya  terduduk  bingung.  Siapa  Raina? Sila—gadis  yang  memberikan blowjob padaku— kini  terduduk  di  sampingku  dengan  wajah  yang  pucat  pasi,  berusaha  menutupi  tubuh  polosnya  dengan  bedcover.  “Ka-kakak ...”  gumamnya  ketakutan. Aku  berpaling  ke  arahnya  dan  terbelalak,  “Raina?  Bukannya  namamu  Sila?” “Aku  Sila.”  Gadis  bertubuh  besar  itu  sudah  ada  di  hadapanku,  berkacak  pinggang  dan  menatapku  tajam. “Bu-bukannya  kakak ... baru  pulang  besok.”  Suara  Raina  terdengar  putus-putus. Aku  makin  terbelalak,  “Dia  kakakmu?”  tanyaku  tak  percaya  seraya  menunjuk  perempun  yang  ternyata  bernama  Sila  itu. “Aku  kakak  sepupunya.”  Bentak perempuan itu  kesal,  tangannya  menepis  jariku  yang  menunjuk  wajahnya.  “Aku  berubah  pikiran,  Raina.  Apa  yang  kau  lakukan  dengan  pria  jalang  ini  di  apartemenku?”  tanya  Sila  dingin. What??!!!  Aku  meradang  mendengar  sebutannya  untukku.  Pria  jalang?  Yang  benar  saja. Aku  berdiri,  menjulang  di  hadapannya,  tanpa  mempedulikan  ketelanjanganku.  Setengah  menunduk,  mendekatkan  wajahku  ke  wajahnya.  Mengintimidasinya  dengan  tatapanku.  Namun dia  sama  sekali  tidak  terpengaruh,  mendongakkan  dagu  angkuh,  membalas  tatapanku  dengan  tajam.  Andai  tatapan  bisa  mengobarkan  api,  aku  yakin  akan  membutuhkan  lebih  dari  seratus  mobil  pemadam  kebakaran  untuk  memadamkannya. “Dia ...”  aku  menunjuk  Raina  yang  hanya  mengkeret  ketakutan,  “habis  bercinta  denganku  semalam. Di  a-par-te-men-mu.”  Gumamku  menekankan  kata  apartemenmu.  “Kau  tahu,  berapa  ronde  yang  kami  lewati ...  lebih-dari-empat-ronde.” Tangan Sila  melayang bersiap  untuk  menamparku, dengan  tangkas  aku  menangkap  pergelangan  tangannya.  “Hati-hati  dengan  tanganmu ...  BIG ...?”  gumamku  menghilangkan  perasaan  heran  karena  pergelangan  tangan  Sila  yang  terlalu  kecil  untuk ukuran  tubuhnya. Wajah  Sila  memerah  mendengar  julukan yang kuberikan untuknya, dia menghentakkan  tangan yang kupegang  kesal.  “Kau  tahu,  berapa  umur  Raina  sekarang?” Dia pikir aku bodoh, tentu saja aku sudah  menanyakan  umur  Raina sebelum  mengajaknya  bercinta, dan aku pikir gadis 20 tahun sudah bisa memilih mana yang diinginkannya dan mana yang tidak. Aku  menyeringai,  “Tentu  saja. Kau  pikir  aku  seorang  p*****l?” “Kau  memang  pedofil.”  Tudingnya  penuh  amarah.  “Bulan  depan  dia  baru  genap  16  tahun.” Kata-katanya  menghilangkan seringaian di wajahku. Raina  tidak  terlihat  seperti  gadis  berusia  16  tahun,  karena  itu  aku  percaya  saja  waktu  dia  bilang  umurnya  20  tahun. “Kau bercanda,” desisku shock. “Sayangnya tidak,” geramnya mendorong aku keluar dari kamar, melemparkan bajuku dan membanting pintunya keras. Aku keluar dari apartemen itu dalam keadaan linglung, untungnya aku masih mengingat untuk memakai baju. Kalian sudah bisa menebak ke arah mana ceritaku?  Ya. Tentu  saja  ini  tentang  si  ‘BIG’  yang  aku  sebut  tadi.  Kejadian itu membuatku tidak bisa tidur selama berhari-hari, bayangan Big melaporkan perbuatanku ke pihak berwajib selalu membuat aku merinding ngeri. Bagaimana kalau Big benar-benar melaporkanku? Apa kata Papa tentang ini? Tunggu. kalian jangan berpikiran aku laki-laki manja yang kebutuhan hidupnya dipenuhi orangtua. Sama sekali tidak. Aku memang bekerja di perusahaan Papaku, tapi aku bekerja sangat keras seperti pegawai yang lainnya. Cukup bercerita tentang diriku. Sekarang bagaimana caranya agar aku bisa terhindar dari masalah. Satu-satunya cara, aku harus mencari tahu apakah Big melaporkan aku atau tidak. Lalu aku memutuskan untuk mulai  mengikuti  Big,  menguntitnya  kemana-mana.  Sama  sekali  tidak  kuduga  jika  kegiatan  baruku  ini  akan  mengubah  cara  pandangku. Melihat  keseharian  Big,  membuatku  mengerti  karakternya. Dibalik  tubuh  besarnya  yang  penuh  lemak,  ternyata  dia  seorang  yang  sangat  lembut  dan  penyayang. Aku  pernah  melihatnya  menggendong  seorang  kakek  yang  jatuh  dari  sepeda  karena  terserempet  mobil.  Aku  juga  pernah  melihatnya  membantu  ibu  hamil  yang  kecopetan  di  sebuah  jalan  yang  sangat  sepi.  Big  mengejar  pencopet  itu  sendiri  dengan  tubuhnya  yang  besar,  saat  itu  aku  tertawa  terbahak-bahak  dari  dalam mobil,  melihat  caranya  berlari. Namun  ketika  dia  terjungkal,  jatuh  terkapar  di  jalan  tanpa  bisa  bangun  lagi,  perasaan  iba  menyelusup  masuk  ke  dalam  hatiku.  Spontanitas  aku  keluar  dari  mobil  dan  berlari  menghampirinya.  Membantunya  membalik  tubuhnya  yang  tengkurap. “Kau  tidak  apa-apa?”  tanyaku  cemas. Khawatir dia memiliki darah tinggi atau jantung yang bisa membuatnya celaka akibat terjatuh tadi. Hei, jangan melihatku seperti itu. Dia sangat besar, kau tahu. Siapapun akan berpikir sama sepertiku. “Kenapa  kau  ada  di  sini?”  dia  balik  bertanya. “Aku-  aku  hanya  kebetulan  lewat  sini,”  jawabku  gugup. “Kau  tidak  apa-apa,  Nak?”  perempuan  hamil  yang  kecopetan  berjalan  mendekat  ke  arah  kami. Big  tersenyum  pada  perempuan  hamil  yang  kini  sudah  berada  di  depannya.  Entah  kenapa  jantungku  berdebar-debar  saat  melihat senyumannya. “Saya  tidak  apa-apa,  Bu.  Maaf,  saya  tidak  berhasil  menangkap  pencopet  itu,”  gumam  Big  penuh  sesal. “Tidak  apa-apa,  Nak.  Ibu  yang  minta  maaf,  sudah  merepotkan.” “Tidak  kok  Bu.”  Big  mengeluarkan  sebuah  amplop  dari  dalam  tasnya  dan  menyerahkan  ke  perempuan  itu.  “Ini  buat  ganti  uang  ibu  yang  dicopet.” Tentu  saja  perempuan  itu  menolak,  tapi  Big  bersikeras  agar  uangnya  diterima.  Perempuan  itu  tidak bisa menolak, dia menerima uang Big dengan mata yang berkaca-kaca.   “Aku  heran  sama  kamu,”  gumamku  pelan, ketika perempuan hamil itu sudah meninggalkan kami. “Kenapa?” “Kau  sudah  berusaha  menolongnya,  terjatuh  eh ... malah  minta  maaf  sama  ibu  itu.” “Aku  minta  maaf  karena  tidak  bisa  membantunya  menangkap  pencopet  itu.  Apa  itu  salah?”  Dia  berusaha  berdiri  tapi  kemudian  memekik  kesakitan. Aku  menangkap  tubuhnya  yang  oleng.  Secara  tidak  sadar,  Big  mencengkeram  bahuku  erat,  pandangan  kami  bertemu,  dan  anehnya  jantungku  berdebar  tidak  karuan. “Huh ...  merepotkan  saja,”  gumamku,  lalu  aku  mengangkat  tubuhnya  dan  menggendong Big  ke  mobilku.  “Ternyata  kau  sangat  ringan.  Kupikir  wanita  gemuk  itu  akan  terasa  berat.”  Wajah  Big  memerah,  “Turunkan  aku,”  gumamnya,  berusaha  melepaskan  diri  dari  gendonganku. “Ssshhh ...  tenanglah.  Aku  akan  membawamu  ke  rumah  sakit.” Big akhirnya terdiam, memalingkan wajahnya yang sudah merah padam. Aneh ... kenapa dia terlihat cantik? Sekarang  kalian  benar-benar  mengerti  kan,  kenapa  aku  menyebut  ini  karma? Aku  benar-benar  tidak  bisa  menghilangkan  Big  dari  pikiranku.  Dia  menghantuiku,  hadir  di  setiap  mimpi-mimpiku. Aku  tidak  ingin  melewatkan  satu  hari pun  tanpa  BIG. Semakin  mengenalnya,  aku  semakin  memahaminya. Big  wanita  yang  cerdas,  teman  bicara  yang  sangat  menyenangkan.  Selain  itu,  sorot  matanya  mampu  menghadirkan  ketenangan  dalam  jiwaku,  juga  senyumannya. Aku  rasa,  aku  sudah  mulai  gila. Aku  bahkan  sering  membayangkan  bercinta  dengannya.  Meremas  p******a  besarnya,  menyentuh  lemak-lemaknya. Anehnya  aku  sama  sekali  tidak  merasa  jijik  membayangkan itu,  aku  bahkan  sangat  b*******h. Kalian  ingat  ketika  aku  mengatakan  aku  bisa  mendapatkan  setiap  wanita  yang  kuinginkan?  Berbekal  kepercayaan  itulah  aku  berniat  berbicara  dengan  Big,  menyangkut  keinginanku  untuk  bercinta  dengannya. *** Aku merasa sangat kesal saat ini, terbangun dari tidurku di tengah malam ... dengan sesuatu  yang  basah  dan  lengket  di  boxer  membuatku  merasa tidak nyaman.  Aku  mimpi  basah.  Setelah  bertahun-tahun  tidak  mengalaminya  karena  kebutuhan  seks-ku  selalu  terpenuhi,  kini  aku  kembali  mimpi  basah  seperti layaknya  remaja puber yang tidak pernah bercinta. Parahnya aku memimpikan  Sila. Si Big yang  sudah  menolakku. Sekarang kalian  pasti  menertawakanku.  Tertawalah. Aku  memang  pecundang  yang  pantas  ditertawakan. Aku  masih  ingat  saat  membisikkan  kata-kata  itu  pada  Sila.  Kata-kata  yang  selalu  ampuh  saat  kubisikkan  pada  wanita  lain.  “Bercintalah  denganku ...”  bisikku  di  telinganya  saat  berada  di  apartemen miliknya. Sila  tersenyum,  bukan  senyum  sensual  seperti  para  gadis  yang  kubisikkan  kata-kata  itu.  Tapi  senyum  pengertian,  dan  dia  berkata  lembut,  tanpa  kesan  menggurui  sama  sekali. “Aku  wanita  baik-baik,  Daniel.  Tetaplah  berteman  denganku.” Aku  menunduk  malu  di  hadapannya,  seperti  seorang  murid  yang  ketahuan  menyontek  oleh  gurunya ... atau anak badung yang ketahuan mencuri permen. Dia  satu-satunya  wanita  yang  menolakku,  dan  aku  justru  sangat  menginginkannya. Aku merasa tersiksa dengan kehidupanku sekarang, tidak enak makan ... tidak enak tidur. Kalian akan mengerti jika jadi diriku. Kemudian  aku  berpikir  keras,  sangat-sangat  keras.  Sampai  tidak  tahu  harus  melakukan  apa.  Lalu  cahaya  itu  datang,  cahaya  yang  menuntunku untuk   mendapatkan  ide  yang  sangat  brilian. Kalian  ingat  Raina?  Ya.  Adik  sepupu  Sila  yang  pernah  kutiduri.  Aku  bertemu  dengannya  di  bandara,  saat  dia  mau  berangkat  ke  Amerika. Ternyata  selama  ini  Raina  tinggal  di  Amerika bersama  ibunya. Itu menjelaskan tentang gaya hidupnya yang bebas. Dia berada di Indonesia untuk mengunjungi sang ayah yang sudah bercerai dengan ibunya. Kami  sempat  berbicara,  walau  dia  terlihat  ketakutan  saat  berbicara  denganku.  Dia  menceritakan  sedikit  tentang  Sila,  yang  ternyata  pernah  mengalami  trauma  karena  pemerkosaan  yang  dilakukan  mantan  pacarnya. Menurut  Raina,  sejak  saat  itu  Sila  tidak  pernah  berhubungan  dengan  pria  manapun. Raina juga menceritakan tentang hal yang paling diinginkan Sila saat ini, menikah. Sejak pertemuanku dengan Raina, aku mulai memikirkan sesuatu. Suatu hal yang sangat penting dalam hidupku. Kalian  mulai  mengerti  arah  pembicaraanku? Tepat,  aku  akan  melamar  Sila  dan  menikahinya. Membutuhkan  waktu  berbulan-bulan  untuk  meyakinkan  Sila  bahwa  aku  mencintainya,  dan  ingin  menikahinya.  Sila  tidak  begitu  saja  percaya.  Itu  bisa  dimengerti  melihat  panjangnya  reputasiku.  Tapi  aku  tidak  menyerah.  Aku  terus  berusaha.  Akhirnya ...  setelah  sebelas  bulan  berlalu  dan  221  kali  lamaran  yang  di  tolaknya,  dia  menerima  lamaranku  yang  ke 222  kali.  Aku  melompat-lompat  kegirangan  saat  itu,  di  atas  panggung  konser  sebuah  grup  band  papan  atas.  Ya,  aku  melamarnya  di  tengah-tengah  konser  amal  yang  kebetulan  dia  menjadi  panitianya.  Aku  menerobos  ke  tengah  panggung  dengan  paksa,  merebut  mic  yang  sedang  dipakai  vokalis  band,  dan  melamar  Sila  di  depan  ribuan  penonton.  Tanganku  menunjuk  ke  arah  Sila,  lampu  sorot  panggung  mengikuti  arah  telunjukku. Sila  yang  berada  di  antara  penonton,  sedang  menjual  aneka  aksesoris  band  pada  para  penonton  untuk  tambahan  dana  amal  terlihat  sangat  kaget melihat beribu-ribu  pasang  mata  yang menatap  tubuh  besarnya  penuh  rasa  ingin  tahu. Aku  mengucapkan  lamaranku,  memintanya  untuk  menerima  cinta  dan  menikahiku. Kalian pikir dia bisa menolak? Tentu saja tidak. *** Hari ini hari pernikahanku, udara yang sejuk karena pendingin ruangan tidak mampu mengusir keringat yang terus mengucur di dahiku. Bagaimana tidak, aku berada di depan penghulu sekarang. Mengucapkan  sumpah  tanpa didampingi pengantin wanita. Sila  bersikeras  untuk  menemuiku  ketika  ijab  telah  selesai,  tidak  sebelum  ijab  qabul.  Meski  aku  kecewa  karena  harus  menunda  keinginanku  melihat Sila  memakai  baju  pengantin,  aku  mencoba  untuk  memahaminya. Sekarang,  aku  berjalan  menuju  kamar  Sila.  Di dampingi  orang  tua  Sila  yang  tak  henti-hentinya  memberikan  wejangan.  Aku  sempat  kuatir,  jangan-jangan  mereka  juga  akan  ikut  masuk  ke  kamar  Sila.  Untungnya  tidak.  Mereka  meninggalkanku  saat  aku  sudah  sampai  di  depan  kamar  Sila. Aku  menarik  napas  panjang,  merasa  gugup  saat  menyadari  Sila  sedang  menungguku  di  balik  pintu  itu.  Perlahan  aku  mengetuk  pintu  kamarnya. “Sila ...”  panggilku  pelan. “Masuk  saja,  Mas.” Jantungku  berdegup  kencang  mendengar  Sila  memanggilku  Mas,  bukan  Daniel  seperti  biasanya. Aku  membuka  pintu  perlahan,  melangkahkan  kaki  memasuki  kamar  Sila,  dan  menutup  kembali  pintunya,  mengunci  dengan  hati-hati. Melangkah  mendekati  Sila  yang  duduk  membelakangiku  di  kursi  putar,  sebagian  tubuhnya  tertutup  sandaran  kursi  yang  diduduki.  Mengulurkan  tangan,  aku  membelai  bahunya.  Merasa  ada  yang  berbeda,  aku  memutar  kursi  itu  menghadapku ....  Aku  terbelalak  melihat  perempuan  yang  duduk  di  hadapanku, tidak percaya dengan penglihatanku. Gaun  kebaya  putih  panjang  yang  dikenakannya  membentuk  tubuhnya  dengan  sempurna,  garis  lehernya  yang  rendah  memperlihatkan  belahan  payudaranya. “Si-Sila ...”  sebutku  tak  percaya. Itu  memang  Sila,  tidak  diragukan  lagi,  wajah  lembut  itu,  senyuman  itu,  mata  itu ...  itu  milik  Sila.  Sila-ku ...  si Big-ku ...  yang  sudah  tidak  besar  lagi. Sila  yang  di  hadapanku  adalah  Sila  yang  ramping  dan  seksi. “Ba-bagaimana  bisa?”  aku  benar-benar  tidak  percaya. Sila  tersenyum  minta  maaf,  “Maafkan  aku,  Mas.  Aku  sudah  membohongimu.  Ini  ada  alasannya. Aku  bisa  menceritakannya  sekarang.” Aku  menutup  bibirnya  dengan  jariku,  siapa  yang  butuh  penjelasan?  Aku?  Tidak  saat  ini.  Aku  mengangkat  tubuhnya  dari  kursi  dan  meletakkannya  di  atas  ranjang  pengantin  kami.  Menatapnya  tajam  saat  melucuti  baju  pengantinnya dengan tidak sabar. Membiarkan jiwaku melayang menembus keindahan pelangi dengan pendar-pendar cahaya di sekelilingku. Oh, Tuhan ... ini sangat indah. Aku  membelai  rambutnya  yang  basah  terkena  keringat,  mengecup  keningnya lembut.  Lalu  berguling  ke  samping  untuk  kemudian  menariknya  dalam  pelukanku. “Sekarang  kau  bisa  menceritakan  alasanmu  membohongiku,”  gumamku  sambil  mencubit hidungnya. Sila  terkikik  geli,  “Aku  tidak  bermaksud  membohongimu. Aku  hanya  menghindari  pria-p****************g  yang  mencoba  mengambil  keuntungan  dariku.” “Dengan  berpura-pura  menjadi  gendut?”  Lidahku  tergoda untuk menelusuri  cuping  telinganya. Kali  ini  Sila  mendesah,  “Hanya  itu  satu-satunya  cara,  bukan?” Aku  tidak  memikirkan  jawaban Sila.  Saat  ini,  ada  hal  yang  lebih  penting  yang  harus  kuurus.  “Aku  mencintaimu  Sila, tidak  perduli  bagaimanapun  fisikmu,  aku  akan  tetap  mencintaimu.” “Aku  tahu  kau  tulus  mencintaiku ...”  gumam  Sila.  “Aku  juga  mencintaimu.” Akhirnya ...  kisahku  berakhir  dengan  bahagia.  Aku  mempunyai  pelajaran  berharga  dari  pengalaman  ini.  Bertemu  Sila  mengubah  cara  berpikirku.  Aku  yang  sebelumnya  hanya  menjadikan  wanita  sebagai  alat  pemuas  seks-ku,  kini  bertekuk  lutut  di  hadapan  wanita  yang  sebelumnya  kuketahui  sebagai  wanita  gendut.  Type  wanita  yang  sangat  kuhindari.  Sila ...  si  Big. Bagiku,  Sila  tetaplah  Big,  karena  aku  jatuh  cinta  padanya  saat  dia  masih  menjadi  Big.  Jika  sekarang  aku  mendapatkan  wanita  terseksi  dalam  hidupku,  itu  adalah  bonusnya. SELESAI
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN