Hidden Face

3014 Kata
Hidden Face By Andros Luvena   Pernahkah kalian memperhatikan dinding kamar mandi dengan seksama? Di mana percikan air kerap menempel, terkadang mengalir dengan perlahan, meninggalkan jejak yang basah. Perhatikan jejak-jejak itu, terkadang ... kita bisa melihat beberapa wajah di sana. Dengan berbagai ekspresi, ketakutan ... kebahagiaan, lalu ... kesedihan. Aku menyebutnya, wajah-wajah yang tersembunyi. Mendekatlah, aku akan menceritakan sebuah kisah kepada kalian, salah satu kisah dari wajah-wajah yang tersembunyi. Perhatikan dan dengarkan baik-baik. Malam itu udara terasa amat dingin, hembusan anginnya yang kencang terasa masuk sampai ke dalam tulang. Daun-daun yang berguguran beterbangan melintasi kelamnya malam. Tidak ada bintang di langit, tidak ada cahaya keperakan rembulan ... yang ada hanya seekor burung gagak yang bertengger di dahan yang sudah tidak berdaun. Sesosok tubuh berjalan cepat melintasi jalanan yang lengang, sesekali menolehkan kepala ke belakang seakan takut ada yang mengikuti. Dia berjalan semakin cepat, berbelok di sebuah tikungan dan menyelinap masuk ke sebuah gedung. Seseorang sudah menunggu di sana. “Fall.” Seorang pria tampak menyambut kedatangan sosok itu. Sosok itu membuka kerudung yang menutupi wajahnya, menampakkan paras cantik dengan senyumnya yang indah. “Branch,” gumamnya menghambur dalam pelukan pria itu. “Aku merindukanmu, Fall,” bisik Branch di telinga kekasihnya. Fall tidak mengatakan apa pun, dia hanya memeluk Branch dengan sangat erat, merasakan kebahagiaan yang luar biasa bisa melakukan itu. “Dia tidak melihatmu keluar, kan?” tanya Branch khawatir. Fall menggeleng, “Aku memberikan obat tidur pada minumannya.” “Gadis pintar.” Branch melepas pelukan Fall dan mengelus rambut coklatnya sayang. Branch membimbing sang kekasih menuju salah satu sudut ruangan. Ada sebuah tangga batu di sana, yang undakannya sudah menghitam dan berlumut karena jarang terkena cahaya. Mereka menaiki tangga itu, menuju ke atap bangunan seperti yang biasa mereka lakukan setiap malam. Fall duduk bersandar pada bahu Branch, memejamkan mata dan membiarkna Branch memeluk bahunya. “Apa kita akan terus seperti ini, Branch?” bisik Fall, suaranya terdengar sedih. “Hanya ini yang bisa kita lakukan sekarang,” jawab Branch sendu. Dia menoleh ke arah Fall, mengecup puncak kepala wanita itu lembut. “Kenapa kau tidak membawaku pergi saja,” gumam Fall putus asa. “Kau tahu kenapa aku tidak mau melakukan itu.” Fall terdiam, bergidik ngeri saat teringat raut wajah kesakitan seorang wanita yang menjadi korban kekejamannya. “Dia pasti akan menemukan kita, aku tidak sanggup memikirkan apa yang akan dia lakukan padamu jika itu terjadi.” Branch bergumam sedih. “Lebih baik seperti ini sekarang, melakukannya dengan hati-hati,” gumamnya lagi. Sesaat mereka terdiam, membiarkan hembusan angin musim gugur menerpa tubuh mereka. Tangan mereka saling menggenggam erat, seakan mereka hanya memiliki waktu yang sebentar untuk melakukan itu. “Malam ini tidak ada rembulan....” bisik Fall. “Juga bintang-bintang.” Branch menyahuti. “Terkadang kita melewati malam dengan bulan yang bersinar terang.” Branch terkekeh, “Aku tidak suka jika itu terjadi, kau akan mengacuhkan aku dan memilih untuk menikmati keindahan rembulan.” Fall cemberut, dia mencubit pinggang kekasihnya pelan, membuat Branch semakin tergelak karenanya. “Itu tidak lucu, Branch.” “Apa yang membuatmu berpikir itu tidak lucu?” Fall terdiam sesaat, kemudian dia bersenandung, alunan suara merdunya terdengar mengisi keheningan malam. Cahaya keperakan sampai ke bumi Menembus hatiku yang sepi Oh, andai kau bisa mengerti Betapa kau sangat berarti .... Aku tahu hanya sebuah mimpi Untuk bisa bersamamu Biarlah hanya mimpi Semua kisah adalah semu .... Kau seperti bulan ... dan aku seekor gagak. Fall menoleh ke arah Branch, tersenyum melihat pria itu yang memandangnya takjub. “Kau ingat saat pertama aku menyanyikan lagu ini, Branch?” “Aku membuatkan lagu ini untukmu, Branch. Kau adalah rembulanku.” Branch memeluk Fall kuat, menyelusupkan wajahnya ke leher wanita itu, menghirup aroma yang sudah sangat dikenalnya. “Kau pikir waktu tujuh tahun waktu yang sebentar, Fall? Tidakkah terpikirkan olehmu, akulah si gagak itu. Merindukanmu setiap malam ... yang terkadang muncul, terkadang menghilang entah ke mana.” “Maafkan aku,” bisik Fall pilu. Branch mengeratkan pelukan, menggeser wajahnya mencari-cari bibir wanitanya, menciumnya dengan segala kepedihan yang dia rasakan. Mencintai Fall selama tujuh tahun, bukanlah hal yang mudah buat Branch. Apa lagi jika wanita yang dicintainya itu milik orang lain. *** Cepat larilah, sebelum dia menemukan kalian. Waktu tidak akan bisa menahannya ... tidak akan pernah bisa menahannya ... berlari dan bersembunyilah. Ruangan itu terasa kelam walau lampu penerangan berada di setiap sudutnya, terasa dingin tanpa sedikit pun kehangatan, meski ada perapian yang menghangatkan mereka. Di tengah ruangan, 30 wanita duduk mengelilingi sebuah meja panjang yang terbuat dari kayu terbaik. Menanti dengan gelisah, siapa yang hari ini akan tergantikan. Di salah satu ujung meja makan, di sebuah kursi besar bak singgasana, seorang pria setengah baya yang masih terlihat kuat duduk dengan santai, mengunyah makanannya seraya mengamati para wanitanya satu persatu. Ini adalah hari di mana Him harus mengganti salah satu wanita yang sudah tidak disukainya dengan yang baru. Bagi yang tergantikan bukanlah suatu keberuntungan karena bisa lepas dari pria itu, namun sebuah bencana yang sangat besar ... karena Him tidak akan membiarkan siapa pun yang pernah masuk ke rumahnya, keluar dengan masih bernyawa. Tidak sama sekali. Tiba-tiba dia menunjuk seorang wanita yang duduk di samping Fall. Elene. Terkejut, Fall memalingkan wajahnya pada Elene, yang tidak merasa dirinya ditunjuk karena kebutaannya. “Elene,” desis Fall pilu, menggenggam tangan wanita yang paling dekat dengannya selama ia tinggal di sini. Memberanikan diri, Fall berdiri dan berteriak lantang, meski suaranya terdengar gemetar. “Jangan Elene, kumohon. Kau baru membuatnya buta minggu lalu.” Him tertawa terbahak-bahak, seakan apa yang diucapkan Fall adalah sebuah lelucon. “Itu yang aku suka darimu, Fall. Kau wanita berani, tidak seperti mereka,” kata Him dengan suara seraknya yang khas. “Kau tahu kenapa aku harus menyingkirkan Elene? Karena dia sudah buta seperti yang baru saja kau bilang. Aku tidak membutuhkan wanita buta.” Darah Fall bergolak, masih segar dalam ingatannya ketika pria itu menusuk mata Elene dengan garpu di hadapannya, hanya karena sebuah kesalahan kecil yang diperbuat Elene. “Kalau kau tidak membutuhkan wanita buta, kenapa kau membuatnya buta?!” teriak Fall marah. Kemarahan Fall membuat seisi ruangan terkejut, sebagian menunduk bersimpati, sebagian berbisik-bisik bahwa Fall akan mendapatkan hukuman yang sangat berat. Tapi Him hanya tersenyum miring, menatap Fall dengan tatapan yang tidak bisa dimengerti. “Baiklah, aku tidak akan mengganti Elene hari ini. Mungkin pada pergantian selanjutnya.” Mereka yang ada di situ menahan napas, bisa menduga dengan pasti apa yang akan terjadi selanjutnya. Fall yang akan tergantikan. “Sebagai gantinya ... kau harus memilih satu orang yang akan tergantikan hari ini,” gumam Him. Fall terkejut, sama sekali tidak menduga Him akan menyuruhnya melakukan itu. Fall tidak mungkin tega menunjuk seseorang untuk dibantai oleh laki-laki itu. Fall menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pilihlah Fall, atau aku akan menembak sepuluh orang di hadapanmu,” desisnya kejam. Tubuh Fall gemetar, tidak tahu harus melakukan apa. Sementara wanita-wanita lain yang ada di situ mulai menangis ketakutan, bahkan ada yang berteriak-teriak histeris. Fall memperhatikan sekelilingnya yang tampak kacau, teriakan ... tangisan ... umpatan semakin membuat ia kebingungan. “Dalam hitungan ketiga, Fall.” Him mulai mengeluarkan pistol dari pinggangnya, menarik pelatuknya untuk bersiap-siap. “Satu....” Fall semakin gemetar, matanya nyalang menatap sekeliling. “Dua....” Him mulai bersiap menembakkan pistolnya. “Ti ...” “Wanita itu!” teriak Fall gemetar. Tangannya menunjuk pada seorang wanita yang berjarak setengah meter dari sisi kirinya. Wanita yang ditunjuk Fall berteriak histeris, memaki-maki Fall dengan kata-kata kasar. Him tersenyum miring, menyarungkan kembali pistolnya dan menyuruh tukang pukul untuk membawa wanita yang ditunjuk Fall. Sementara wanita itu dibawa pergi, Fall terduduk lemas ... air matanya mengalir deras. Fall tidak tahu kenapa memilih wanita itu, dia hanya asal menunjuk. Dia memang harus melakukan itu, kan? Atau akan ada 10 wanita lain yang tertembak di depan matanya. Elene memeluk Fall erat, meraba-raba untuk menghapus air matanya. Hanya Elene yang dimiliki Fall selain Branch. Keluarganya sudah lama dimusnahkan sejak ayahnya memimpin pemberontakan untuk melawan Him. *** Malam itu, Fall menangis di pelukan Branch. Branch menatap kekasihnya iba, menghapus air mata yang terus mengalir di pipi gadis itu. Membelai rambut coklat Fall yang berterbangan tertiup angin. Sementara di tempat yang tidak jauh dari mereka, Elene berdiri tegap seraya mendongakkan kepala, mencoba menangkap apa yang terjadi dengan pendengarannya. “Kau harus membawa kami pergi, Branch,” gumam Fall terisak. “Ya, kita akan pergi dari tempat ini,” tekad Branch. Fall benar, mereka memang harus pergi dari sini, mencari bantuan ke kota lain untuk membebaskan kota mereka. Kejadiannya sudah 15 tahun yang lalu, tiba-tiba Him datang bersama pasukannya yang brutal. Mengacaukan kota kecil yang semula aman. Membunuh semua penegak hukum dan aparat keamanan, menyita semua senjata yang ada di kota itu, menjadikan tempat itu wilayah kekuasaannya. Memutus saluran komunikasi, mengarantina penduduk kota. Membangun ladang jagung mengelilingi kota, membuat kota itu terisolasi dari kota lain. Tidak ada yang tahu siapa namanya, orang hanya menyebutnya ‘Him’. Mengumpulkan 30 wanita, dan menjadikan mereka istrinya. Menggantinya setiap 3 purnama. Bagi yang tergantikan, tidak akan kembali, tapi dijadikan pemuas nafsu para pengawalnya, digilir sampai tidak bernyawa. Lima tahun setelah kedatangan Him ke kota itu, terjadi pemberontakan yang dipimpin ayah Fall. Dengan mudahnya digagalkan begitu saja. Keluarga Fall dimusnahkan, hanya Fall yang tidak dibunuh, itu pun untuk dijadikan pengantin Him. “Jangan menangis, Fall. Kita akan pergi dari sini.” Bisik Branch berusaha menghentikan tangis kekasihnya. Branch bertemu Fall 7 tahun yang lalu, langsung jatuh cinta begitu melihatnya. Cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, Fall juga merasakan hal yang sama. Secara diam-diam mereka bertemu setiap malam, menjalin kasih secara rahasia. “Diamlah di sini, aku akan mengambil keretaku untuk membawa kita keluar dari tempat ini,” kata Branch melepaskan pelukan Fall. Fall mengangguk, dia mengusap air matanya perlahan, lalu menghampiri Elene yang masih berada di tempatnya. “Kita akan pergi dari sini, Elene,” bisik Fall. Elene berpaling perlahan-lahan ke arah suara yang didengarnya. Tangannya mencari-cari tangan Fall untuk digenggam erat, kemudian ia mengangguk mantap. Branch kembali tidak lama kemudian, membawa kereta kuda yang biasa digunakan untuk mengangkut jagung. Fall membimbing Elene naik ke atas gerobak dibantu oleh  Branch.  Kereta kuda itu melaju cepat melintasi jalan yang sudah mulai rusak, berderak-derak melewati lubang-lubang yang hampir mengisi setiap bagian jalan. Branch memecut kudanya agar berlari semakin cepat ketika mendengar derap langkah kuda lain di belakangnya. Mulut Branch berteriak-teriak menghela sang kuda, membuat kuda itu meringkik kencang dan berlari semakin cepat. Gerobak yang dinaiki Fall dan Elene tampak oleng ke kanan dan ke kiri karenanya. Kali ini tidak hanya suara derap langkah kuda yang menyusul mereka, tapi juga letusan pistol yang ditembakkan ke arah mereka. Kereta Branch kalah cepat, kini mereka hanya berjarak satu meter. Suara letusan terdengar lagi, kali ini terasa sangat dekat. Fall merasakan tubuh Elene menegang, gadis itu menoleh dan menjerit ketika melihat tangannya yang memeluk bahu Elene berlumuran darah. Kepala belakang Elene tampak berlubang dan mengeluarkan cairan merah kental yang terus mengalir. Fall menangis, memeluk tubuh Elene yang kini sudah tidak bernyawa. Branch mencoba mempercepat keretanya, namun malang ... roda keretanya tertembak hingga terlepas, membuat gerobaknya kehilangan kendali dan terguling. Sebelum gerobak dan keretanya terpisah, Branch melompat ke belakang, tepat ke atas gerobaknya. Berusaha melindungi Fall dengan memeluknya erat. Gerobak itu terhempas berkali-kali, membuat Fall dan Branch terbentur hingga mereka tidak sadarkan diri. *** Malam ini bulan menampakkan diri, bersinar penuh memancarkan sinarnya yang keperakan. Di sebuah dahan pohon yang sudah tidak berdaun, seekor burung gagak bertengger dengan kepalanya yang tertunduk, terkadang mendongak menatap sang rembulan. Tidak ada tempat untuk bersembunyi ... kalian tidak bisa lari lagi. Branch tersadar dalam keadaan tak berdaya, tangan dan kakinya dibentangkan dan diikat ke dua buah tiang di kanan dan kirinya. Ia meringis pilu melihat Fall yang terbaring lemah di bawah kaki Him, masih belum sadarkan diri. “Fall....” panggil Branch sedih. Panggilan Branch membangunkan Fall, ia menggerakkan tubuh dan menyadari bahwa dia tidak sendiri. Mendongak, Fall terkejut melihat Branch yang terikat di depannya. Fall berlari mencoba mendekat, tapi dengan sekali hentak, Him menarik tali yang diikatkan pada pinggang Fall, hingga Fall terjatuh kembali. Branch menjerit marah melihatnya, membuat Him terkekeh gembira. Fall hanya bisa menatap Branch sedih. “Berani sekali kalian menipuku selama ini,” desis Him marah. “Aku akan membuat kalian tidak bisa melupakan ini,” teriaknya. Lalu Him menyuruh dua orang tukang pukulnya untuk menghajar Branch. Kedua tukang pukul bertubuh besar menghampiri Branch, menyarangkan pukulan secara bertubi-tubi ke tubuh pria itu, kemudian memecut tubuh Branch dengan cambuk kulit yang kasar. Fall menjerit-jerit histeris, berusaha mendekat pada kekasihnya namun digagalkan Him yang memegang erat talinya seraya tertawa terbahak-bahak. Fall tidak sanggup melihat Branch kesakitan, bibir Branch yang biasa diciumnya kini mengeluarkan banyak darah, d**a Branch yang biasa dia cumbu penuh dengan goresan-goresan cambuk. Meringkuk tak berdaya, Fall meremas rambutnya dan menjerit-jerit memohon agar Him menghentikan ini. “Hentikan, kumohon hentikan. Aku akan menggantikan dia, aku akan menggantikan dia.” “Berhenti!” Suara berat Him menghentikan aksi kedua tukang pukul itu. “Aku tertarik dengan tawaran Fall,” gumamnya dengan seringai kejam di wajahnya. Mendengar ucapan Him, Branch bereaksi keras, dia menggeram dan menatap Him penuh amarah. Him hanya terkekeh, “Aku sendiri yang akan melakukannya.” Him mengambil cambuk dari salah seorang tukang pukulnya, melilitkan cambuk itu perlahan-lahan ke buku-buku jari, lalu menghentakkannya ke udara. Seakan mengejek Branch yang kini berteriak marah. “Jangan sentuh dia, b******k. Jangan sentuh dia!” Him terkekeh, “Aku akan berhenti mendaratkan cambuk ini ke tubuh kekasihmu ... jika kau berhasil melepaskan diri dari ikatan itu.” Branch meronta melihat Him mulai mencambuk tubuh Fall, membuat Fall berkali-kali tersungkur. Tidak terkira rasa sakit yang Branch rasakan melihat Fall diperlakukan seperti itu, bahkan rasanya lebih sakit daripada saat dia yang menerima cambukan itu. Berteriak marah, Branch memutar-mutar pergelangan tangannya, mencoba melepaskan ikatan tali tersebut. Tak dipedulikannya rasa perih akibat goresan-goresan dari tali tersebut, darah segar sudah memenuhi kedua pergelangan tangannya, tapi ikatan itu masih tak melonggar sedikit pun. Sementara itu, melihat Fall yang sudah tidak sanggup berteriak, membuat Branch menangis. Melihat Fall yang hanya terbaring seraya sesekali mendongak menahan cambukan membuat Branch terasa hancur. Teriakan Branch terdengar putus asa ketika dia menarik kedua tangannya sekuat tenaga, menyebut nama Fall dengan wajah yang penuh air mata. KREEEKK ... Branch merasakan tangan kirinya menjadi lemas, rasa nyeri luar biasa menyerang persendiannya. Engsel lengannya terlepas, tapi Branch tidak peduli dengan rasa sakitnya, ia hanya peduli pada rasa sesal karena tidak bisa berusaha melepaskan diri lagi. Branch meraung pilu. Him menghentikan cambukannya, tertawa melihat Branch yang kini putus asa. “Aku kasihan padamu. Bagaimana kalau aku menyuruh anak buahku untuk memotong tanganmu yang patah agar kau bisa terlepas dari ikatan itu.” Gumamnya. Mendengar itu, Fall menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak, jangan Branch. Jangan, kumohon.” “Dan aku akan memberikan bonus padamu, aku akan melepas semua tali yang mengikat tangan kanan dan kedua kakimu. Dengan cuma-cuma. Tentu saja setelah tangan kirimu terpotong,” kata Him kejam, dilanjutkan dengan gelak tawanya yang menyeramkan. “Tidak, Branch. Jangan dengarkan dia.” Fall mengumpulkan tenaga yang tersisa untuk menghampiri Branch. “Lakukan,” gumam Branch tegas. “Potong tanganku!” “Brrranncchhhh....” Fall berteriak histeris, terhenti ketika Him kembali mencambuk tubuhnya. Kali ini Branch yang berteriak, berusaha menendang-nendangkan kakinya. “Potong tanganku, b******k. Berhenti memukuli Fall.” “Sayangnya aku akan terus mencambuknya sampai kau terlepas,” gumam Him tanpa menghentikan cambukannya. “Potong tangannya!” teriak Him keras. Seorang anak buah Him mengambil gergaji mesin dan menyalakannya. Mata Fall melotot melihat itu, susah payah dia  merangkak untuk menghampiri kekasihnya. Sementara Him hanya tergelak. Suara desingan gergaji mesin mengudara, menembus sunyinya malam dan rintihan binatang malam. Gigi gergaji yang tajam mulai menyentuh pangkal lengan Branch, terasa dingin di kulitnya yang telanjang. Fall menjerit histeris melihat gergaji itu mulai memotong lengan Branch, membuat darah segar bermuncratan ke segala arah. Teriakan kesakitan, kesedihan, dan putus asa mengiringi gelak tawa Him. Branch berdiri limbung ketika semua ikatannya sudah terlepas, darah di bahunya tidak berhenti mengucur. Susah payah dia menghampiri Fall yang merangkak ke arahnya. Tersenyum bahagia saat berhasil menyentuh jari wanitanya, namun ketika hanya tinggal selangkah dia bisa memeluk Fall, dengan kejam Him menghujamkan sebuah pedang ke punggung wanita itu. Fall tewas sesaat setelah matanya menatap Branch penuh rasa sedih, kemudian cahaya dari mata itu meredup dan padam untuk selamanya. Branch terbelalak menatap wajah kekasihnya, gemetar meraih tubuh lemas Fall dengan tangannya yang tersisa, mendekap tubuh itu ke dadanya. Branch mendongak, meraung bagai binatang yang kesakitan, menyaksikan kekasihnya tewas secara mengenaskan di depan mata. “Faaaallll....” Branch merasa tubuhnya semakin lemas, lukanya banyak mengeluarkan darah, penglihatannya pun semakin berkunang-kunang. Dalam kesedihannya, Branch tersungkur menjatuhi tubuh kekasihnya. Menggumamkan nama Fall penuh kepedihan, sebelum akhirnya meninggalkan dunia untuk selamanya ... menyusul kekasihnya.  Sementara Him, dengan gelak tawa yang memecah kesunyian malam, meninggalkan tempat itu diikuti oleh anak buahnya. ................................. ................................. Kalian lihat? Sepasang kekasih itu tergeletak tak bernyawa. Sekarang perhatikan, aku akan menunjukkan sesuatu pada kalian.... Saat tempat itu mulai sepi, aku menghampiri tubuh sepasang kekasih itu, membaliknya dan melihat rasa sedih serta kesakitan terlihat jelas di wajah mereka. Aku menatap mereka kasihan, lalu mengambil kain sutra hitam yang selalu kusimpan. Aku mengusapkan kain itu ke wajah mereka, melipat kembali kain itu dan menyelipkannya ke jubah hitam yang kukenakan. Aku membutuhkan satu ekspresi wajah lagi untuk melengkapinya. Maka, aku melangkah ke arah kepergian pria yang disebut Him. Malam masih sepi ketika lolongan kesakitan terdengar dari rumah besar yang dihuni Him. Dalam gelapnya malam, aku tersaruk meninggalkan rumah itu dengan senyum tipis di bibirku. Masih kuingat raut ketakutan pria kejam itu saat aku membuka penutup kepala di hadapannya. Kenapa dia ketakutan? Apa kalian tahu kenapa? Mungkin karena yang dia lihat adalah sesosok tubuh tanpa wajah, hanya ada dua lubang hitam dan satu garis lebar yang aku sebut bibir di bagian depan kepala. Sekarang, dengarkan aku ...  jika kalian melihat wajah-wajah yang tersembunyi di dinding kalian, ingatlah ... mungkin saja itu adalah wajah dari ketiga orang yang aku ceritakan. Atau mungkin ... suatu saat nanti kita akan bertemu, karena aku akan terus mencari wajah-wajah yang lain untuk menghiasi setiap dinding yang ada di muka bumi. Kalian ingin bertemu denganku?   END    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN