Bab 10. Permintaan Viola

1445 Kata
Selamat membaca! "Baiklah, materi hari ini cukup. Jangan lupa kirim tugas yang tadi saya kasih malam ini, setengah delapan." Seketika ruang kelas terdengar bergemuruh. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang ada di ruangan tampak tidak suka saat Devan memberikan tugas dengan jangka waktu yang sempit. "Lihat tuh, Vi, dosen idaman lo killer banget. Dia pasti sengaja ngasih tugas biar kita nggak bisa bebas nikmatin waktu weekend." "Ya udah sih nggak apa-apa, kerjain aja. Daripada nanti matkul dia lo dapat nilai C. Lo kan tahu, Pak Devan itu termasuk dosen penting di semester ini." "Ya, ya, terus aja lo belain dosen idaman lo." "Ih, gue tuh bukan belain, tapi ini demi kebaikan lo juga tahu." "Iya, ya. Eh, tapi ngomong-ngomong, kemarin lo ke mana aja, gue chat kok nggak dibaca-baca sampai sekarang lho, tumben?" Seketika Viola tersedak salivanya sendiri saat sorot mata Devan tiba-tiba menatapnya dengan begitu tajam sebelum keluar dari ruang kelas. "Pak Devan pasti marah deh gara-gara gue bawa-bawa Pak Gunawan. Kalau begini sih alamat bakal kena semprot deh gue pas di rumah nanti," batin Viola yang sudah bisa membayangkan jika Devan pasti akan menceramahinya. "Vi, Vi, lo kenapa dah malah ngelihatin pak Devan aja? Orangnya udah keluar aja masih lo lihatin." Tari mengguncangkan tubuh Viola. Membuat gadis itu seketika menoleh, melihatnya dengan canggung dan sedikit mengulas senyum. "Eh iya, lo tadi ngomong apa?" "Kagak, gue kagak ngomong apa-apa, tadi itu ada si Komo lewat." Sambil menampilkan raut cemberut, Tari mengatakan itu. "Ih, marah gitu aja. Jelek tahu, kalau muka dilipet kata gitu. Udah ah, yuk kita ke kantin dulu!" "Tapi kan sebentar lagi pelajaran Bu Lia. Masa kita absen lagi sih," gerutu Tari merasa enggan beranjak dari posisi duduknya. "Gue ada cerita bagus nih buat lo, mau denger kagak?" "Cerita apa sih? Udah cerita aja di sini sambil nunggu bu Lia masuk!" "Tenggorokan gue seret tahu gara-gara tadi keselek, gue mau minum, Tar. Udah ah, lo mau ikut syukur, kagak juga nggak apa-apa, padahal gue tadinya mau cerita soal Arya." Viola beranjak dari posisi duduknya, lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Tari yang masih tampak bingung dengan perkataan itu. "Apa, Arya? Maksudnya Arya kenapa, Vi?" Tari dengan buru-buru bangkit, lalu mengejar Viola hingga tubuhnya tertabrak seorang pria yang kebetulan baru melintas di sampingnya. "Eh, maaf, maaf ... lo nggak apa-apa?" Pria itu dengan ramah bertanya. Raut wajahnya tampak cemas dan penuh rasa bersalah. "Lain kali jalan lihat-lihat dong!" Tari yang sempat terhuyung kini sudah kembali berdiri tegak. Menatap tajam wajah pria berkacamata itu dan berlalu pergi tanpa meminta maaf. "Ya ampun, perasaan yang salah dia deh. Harusnya kan gue yang marah ya?" Pria itu hanya mengedikkan kedua bahunya. Sejenak geleng-geleng kepala sebelum kembali melangkah sambil terus melihat Tari yang kini sudah berhasil mengejar langkah Viola tepat di ambang pintu. *** Setibanya di kantin yang berada di belakang kampus, Viola dan Tari tampak sudah menempati salah satu meja yang ada di sana. "Jadi, lo tadi ketemu Arya di depan kampus?" tanya Tari sempat terkejut setelah mendengar cerita dari Viola. "Iya, bukan cuma ketemu, tapi dia juga nyelametin gue yang hampir aja ketabrak mobil. Dia sampai meluk gue lagi." Tari yang sejak dulu sudah suka pada Arya pun seketika menunjukkan wajah cemberutnya. "Ih, yang udah kenal lama sama dia kan gue, kenapa lo yang dapat pelukan dia?" Tari memalingkan wajahnya. Menatap ke sisi berbeda dari tempat Viola berada. "Lah, kok lo marah sih, Tar? Tenang aja kali, gue nggak akan jatuh cinta sama dia, walau gue akuin dia memang ganteng." "Yakin lo? Gue nggak mau kalau sampai hubungan pertemanan kita rusak karena kita bersaing buat dapatin Arya." "Ih gila kali lo sampai mikir ke sana, lagi pula gue tuh nggak mungkin banget ngejar Arya." "Lho, kenapa nggak mungkin? Tadi aja lo sempet muji dia ganteng. Berarti kan lo juga tertarik sama dia." "Ish, bukan itu ... dengerin gue dulu ya! Gue tuh mau minta tolong sama Arya buat manas-manasin Pak Devan. Gue tuh pengen dia sadar kalau dia tuh ternyata cinta sama gue." "Lah, lah, lo kenapa jadi kepedean gini dah? Emang lo seberapa yakin kalau Pak Devan itu cinta sama lo?" "Ya ... nggak yakin juga sih." Mendengar jawaban Viola, Tari pun tertawa. Suaranya sampai membuat beberapa mahasiswa yang ada di sana sampai melihat ke arahnya. "Tar, kalau ketawa pelan-pelan kali. Lo kagak malu apa? Muka udah cantik, tapi kalau ketawa udah kaya toa mesjid. Tuh lihat, sampai dilihatin yang lain!" Tari seketika menghentikan tawanya. Menatap sekeliling dan pandangannya kembali melihat ke arah pria yang kini juga tengah melihatnya. Pria yang tadi sempat menabraknya sewaktu di kelas. "Ih, cowok culun itu lagi." "Siapa, Tar?" "Itu sebelah sana! Cowok yang pake kacamata itu." Viola akhirnya dapat menemukan pria yang dimaksud oleh Tari. "Oh dia, William." "Lah, kok lo tahu nama dia? Gue aja kagak tahu namanya." Tari tampak menatap heran sambil membagi pandanganya melihat William. "Semua yang ada di kelas gue tahu namanya, Tar. Lo aja yang aneh, masa temen satu kelas kagak tahu." "Bukan nggak tahu, tapi gue rasa nggak penting juga." Tari menatap tajam. Mengerutkan keningnya dengan kedua alis yang saling bertaut sebagai kode agar William berhenti melihatnya. "Emang kenapa sih, kok lo kayanya benci banget sama dia? Hati-hati loh, nanti kalau benci biasanya abis itu cinta." "Ish, cinta sama si culun itu, ogah. Lagian dia aneh ya, nama udah keren, tapi kenapa penampilannya bisa seculun itu sih?" "Eh, lo tuh nggak boleh menghina orang. Walau culun begitu, tapi coba deh lo lihat! William itu sebenarnya ganteng loh. Ya, walau agak sedikit tambun aja." "Tambun, alias gendut. Pokoknya gue nggak suka kalau cowok kaya dia suka ngelihatin gue." "Eh, Tar, kalau lo nggak boleh orang ngelihatin muka lo, mending muka lo pakein sarung aja biar nggak ada yang bisa lihat." Viola tertawa singkat sambil memukul lengan Tari dengan pelan karena merasa lucu mendengar perkataannya. "Emangnya muka gue bantal apa pake sarung segala! Udah ah, nggak usah bahas cowok itu. Sekarang balik lagi ke masalah Arya, pokoknya lo jangan sampai ikut suka sama dia ya, biar gue aja." "Iya, iya, lo tenang aja! Lagi pula tujuan gue itu cuma satu ngajak lo ngebahas Arya di sini." "Apa?" "Yang tadi gue bilang, gue mau minta Arya manas-manasin Pak Devan. Makanya, karena lo lebih kenal sama Arya, jadi gue minta tolong lo buat ngomong sama dia masalah ini. Gimana?" "Lah, emangnya ngapain sih lo mau manas-manasin dia?" "Ya ampun, capek deh punya temen lemot. Tadi kan gue udah bilang, biar Pak Devan itu sadar kalau dia juga cinta sama gue." Tari semakin bingung, memutar keras otaknya karena ia memang tidak tahu tentang pernikahan rahasia antara Viola dan Devan. "Maksud gue, kenapa lo mau bikin Pak Devan sadar kalau dia tuh cinta apa nggak sama lo sementara lo sama dia kan belum pacaran?" "Kayanya nggak ada salahnya deh kalau gue ngasih tahu Tari. Kalau gue nggak ngasih tahu dia, nanti dia pasti tanya-tanya terus soal alasan kenapa gue sampai butuh bantuan Arya," batin Viola memutuskan. "Vi, Vi, kebiasaan deh, kalau gue nanya lo suka bengong udah kaya orang kurang vitamin." Tari mengatakan itu sambil mengguncangkan tubuh Viola hingga gadis itu kembali melihatnya. "Gue tuh nggak kurang vitamin, tapi kurang perhatian aja dari Pak Devan." "Ah, dasar! Lo itu udah terlalu bucin sama Pak Devan kayanya sampai bisa ngomong begini." "Wajar dong gue kan istrinya." Viola yang terbawa suasana pun seketika mengucapkan itu hingga membuat suara tawa Tari kembali terdengar keras. "Istri ...." Tari terus tertawa. Membuat Viola merasa malu karena satu kantin kini sedang memperhatikannya. "Tar, Tar, istighfar kali." "Apaan sih, Vi? Gue kan ketawa soalnya menurut gue tuh lucu, gue bukan kesurupan, kenapa disuruh istighfar segala?" Tari mencebik. Kedua pipinya tampak mengembang penuh udara sambil melipat kedua tangan di depan d**a. "Habisnya suara ketawa lo bikin heboh satu kampus." "Ya, lucu aja, ternyata lo bukan cuma bucin sama Pak Devan, tapi khayalan lo itu terlalu tinggi sampai bisa mikir jadi istri Pak Devan." Baru saja Tari menyelesaikan perkataannya, Viola tiba-tiba mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam tas, lalu menyodorkan layar ponsel itu ke hadapan Tari. "Nih, lihat!" Tari mulai menatap sebuah foto yang tampak pada layar ponsel Viola. Menatap tak percaya sambil berulang kali mengusap kedua matanya. "Gila, gila, lo bahkan sampai ngedit foto ijab kabul sama Pak Devan kaya gini. Ya ampun, Vi, cinta boleh, tapi jangan b**o kali ah. Lo kurang kerjaan apa ya?" "Sembarangan ngatain gue b**o, lo lihat dulu, mana ada foto editan kaya gini." Tari menatap dengan seksama foto yang terpampang jelas di layar ponsel Viola. Membuka kedua mata lebar-lebar sambil mengusapnya beberapa kali. "Jadi, lo sama Pak Devan beneran udah ni—" "Ssstttt, jangan berisik, Tar!" Viola langsung berdiri, lalu membungkuk dan membungkam mulut Tari yang ada di depannya. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN