Bab 1. Kembali Bertemu
Selamat membaca!
"Kenapa malah bangun, Pak? Saya udah tanggung banget nih!" Seorang gadis cantik bernama Viola tampak protes. Sudah setengah jam lamanya, gadis itu dibuai oleh foreplay yang dilakukan oleh Aldrich Devan–seorang dosen di kampusnya. Tentu saja ia tidak mungkin membiarkan Devan pergi dan meninggalkannya dalam keadaan seperti saat ini. Keadaan di mana ia butuh pelampiasan untuk melepas segala hasrat yang sejak tadi begitu menggila dalam dirinya.
"Maaf saya enggak bisa ngelakuin lebih dari ini."
"Maksudnya, Pak?" Viola masih menatap Devan yang sudah berdiri di tepi ranjang dengan heran.
"Ya, saya enggak bisa jika sampai berhubungan intim."
"Apa alasannya? Terus saya gimana, Pak?" Viola semakin tidak mengerti. Bagaimana mungkin, Devan bisa menghentikan permainannya di saat ia sudah terbuai dalam hasrat yang dibuat oleh pria itu sejak tadi.
"Saya enggak peduli." Pria itu tampak dingin. Padahal dari awal keduanya sudah dipengaruhi minuman keras hingga sepakat mencari hotel yang ada dekat dari cafe tempat mereka tengah mengadakan acara pesta kampus.
Devan melepas paksa genggaman Viola. Dengan terburu-buru, pria itu memakai kembali kemeja yang teronggok di lantai dan mengambil dasi miliknya juga tanpa memakainya.
"Pak, jangan pergi!" Viola dengan tegas meminta. Suaranya terdengar keras. Namun, Devan tetap mengabaikannya dan keluar begitu saja dari kamar hotel.
"Sial, kenapa Pak Devan malah pergi sih? Mana gue kentang banget lagi." Viola hanya bisa menatap kepergian Devan tanpa bisa menahannya lagi. Baginya, bersama pria itu adalah hal yang membuatnya sangat bahagia karena sejak pertama kali masuk kampus, Viola memang sudah mengagumi Devan. Bahkan ia pernah sesumbar pada teman-temannya jika ia akan menyerahkan keperawanannya pada Devan. Dosen pembimbing yang terkenal super dingin di kampus. Namun, sikapnya itu justru mampu membuat detak jantungnya jadi tak beraturan, walau pria itu hanya berada di dekatnya.
Viola pun bangkit. Menatap ranjang yang sudah sangat berantakan saat ini. "Ya ampun, aneh banget deh, kenapa Pak Devan pergi gitu aja sih? Apa dia enggak ngerasa kentang juga kaya gue?"
Di saat Viola mengambil selimut yang berantakan di atas ranjang, kedua matanya tampak membulat sempurna saat melihat bercak darah m*****i sprei putih hingga membuatnya langsung berteriak histeris seperti melihat hantu.
"Apa ... darah? Jangan-jangan tadi Pak Devan ngambil kesucian gue cuma pake ... ya ampun, gimana ini? Masa keperawanan yang udah gue jaga selama ini hilang gitu aja. Arghhhh ...." Viola hanya bisa merutuki kebodohannya. Mengacak rambut yang memang sudah berantakan sambil berguling-guling di atas ranjang setelah melepas tubuhnya tanpa mengenai bercak darah keperawanannya.
Kenangan itu selalu singgah ke dalam mimpi, walau ia enggan mengingatnya. Kenangan yang membuat Viola sampai jatuh dari atas ranjang tidurnya.
"Aduh, sakit." Sambil mengusap bagian bokongnya, Viola mulai bangkit dari posisinya terjatuh. "Kenapa sih udah dua tahun, tapi gue masih aja mimpiin Pak Devan?" Pikiran Viola kembali tertarik ke belakang. Tepat di saat Devan tiba-tiba menghilang dan tak lagi terlihat mengajar di kampus, bahkan nomor telepon pria itu juga sudah tak bisa lagi dihubungi.
"Viola, kamu sudah bangun, kan?" Tiba-tiba suara panggilan itu terdengar semakin dekat.
"Sudah, Bu. Kenapa?"
"Ayo cepat mandi, terus sarapan di bawah! Bukannya ini hari pertama kamu masuk kuliah."
Viola menepuk dahinya. Menatap sang ibu yang masih berdiri di ambang pintu setelah membukanya.
"Oh iya, aku lupa." Viola pun bergegas bangkit, lalu duduk di tepi ranjang sambil melipat selimut yang jatuh teronggok di lantai.
"Ya udah, jangan lama ya! Jangan nyanyi-nyanyi dulu di kamar mandi, nanti ayah enggak mau nganterin ke kampus baru kamu."
"Nasib-nasib, jadi anak ayah. Selalu pindah-pindah. Makanya, aku sampai enggak punya temen. Please, Bu, kota ini terakhir ya!"
"Ya, Ibu juga maunya gitu, La. Tapi, tergantung dari kantor ayah kamu."
Begitulah kehidupan Viola. Gadis itu terpaksa harus pindah kuliah dari kota satu ke kota lain mengikuti ayahnya yang masih sering dipindahtugaskan oleh kantornya.
"Ya, semoga aja ayah enggak dipindahkan lagi." Viola menghela napasnya dengan kasar, lalu bangkit dan mulai melangkah menuju kamar mandi yang ada di sudut kamarnya. Kamar baru yang ukurannya tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman untuk Viola tempati. Sebuah rumah yang didapat ayahnya sebagai fasilitas kantor untuk mereka tempati selama bertugas di Jakarta.
***
"Kamu hati-hati ya, Vi. Pokoknya harus bisa pilih-pilih teman, terutama laki-laki."
Begitulah nasihat dari ayah Viola yang bernama Bimo setibanya di depan kampus. Pria paruh baya yang usianya sudah memasuki 42 tahun.
"Iya, Yah. Lagi pula aku juga enggak pintar bergaul, apalagi yang aku tahu anak-anak di kota ini kalau berteman suka ngelihat status keluarganya."
"Enggak semuanya kok. Nanti pasti kamu bisa dapat temen yang baik di sini, tapi saran Ayah sih kamu lebih baik fokus aja belajar. Kejar nilai kamu biar kamu dapat IP yang tinggi, apalagi kamu pindah sebenarnya tanggung banget karena kamu udah semester akhir."
"Iya, Ayah, aku paham kok. Pokoknya Ayah nggak usah khawatir ya! Viola janji, Viola nggak akan ngecewain Ayah. Ya udah, aku masuk dulu ya, Yah." Viola meraih dan mencium punggung tangan Bimo sebelum berlalu pergi meninggalkan sang ayah yang kembali masuk ke mobil, lalu pergi meninggalkan pelataran kampus.
Setelah melepas kepergian ayahnya, Viola pun masuk ke lobi. Langkahnya langsung tertuju pada sebuah lift di mana ia harus sudah tiba di lantai dua dengan cepat karena kelas pertamanya akan segera dimulai dalam beberapa menit. Beruntung ayahnya sudah mengurus semua administrasi dan keperluan Viola untuk bisa kuliah di kampus barunya kemarin. Jadi hari ini, Viola bisa langsung mengikuti kelas pertamanya tanpa harus direpotkan dengan masalah administrasi dan hal lain yang memang paling enggan dilakukannya.
Setibanya di dalam ruang kelas, Viola mendapatkan kursi paling belakang di barisan tengah. Pandangannya langsung tertuju pada mahasiswa dan mahasiswi yang ada di kiri juga kanannya.
"Hai, lo mahasiswi pindahan ya, soalnya gue baru ngelihat lo hari ini?" Seorang wanita yang kelihatan cantik dengan rambut pendek sebahu tampak menegurnya. Wanita itu terlihat baik dengan senyum ramah menyapa Viola.
"Iya, ini hari pertama gue masuk. Kenalin, nama gue, Viola. Lo siapa?"
Wanita yang duduk tepat di sampingnya itu mulai mengulurkan tangan, lalu keduanya pun saling berjabat tangan.
"Salam kenal juga ya, gue Karen Oktavia, panggil aja gue, Tari."
"Tari? Kok bisa dipanggil Tari." Viola tampak heran. Raut wajahnya tampak penuh tanda tanya saat menatap wanita yang baru mengurai jabatan tangannya.
"Iya, jadi Tari itu nama kecil gue."
"Oh gitu … berarti semua teman-teman di sini manggil lo, Tari ya?"
Wanita itu diam sejenak. Lalu, tersenyum lebar sambil menggaruk kepalanya. "Ya enggak juga sih, mereka malah tahunya Karen."
"Terus kenapa gue harus manggil lo, Tari?"
"Ya, biar akrab aja." Wanita yang ingin dipanggil Tari itu pun terkekeh singkat sebelum akhirnya ia kembali mengunci bibirnya untuk diam saat pintu ruangan terdengar dibuka.
"Ingat, ya! Kelas hari ini gurunya killer banget. Jangan sampai lo enggak dengerin dia ngomong, nanti lo bakal kena masalah. Pokoknya mata lo tuh harus terus ke arah dia, enggak boleh berpaling sedikit pun."
"Apa semenakutkan itu?" Penasaran dengan sosok dosen yang baru saja masuk ke ruangan itu, akhirnya Viola mulai mengarahkan pandangan matanya ke arah depan.
"Pak Devan …." Sulit rasanya mengucapkan nama itu di tengah keterkejutannya saat ini. Kedua matanya tampak berkedip berulang kali sambil terus mengusap dengan jemarinya. Tentu saja Viola harus memastikan apa pria yang dilihatnya saat ini adalah pria sama yang waktu itu meninggalkannya begitu saja dalam keadaan tak berdaya karena tak bisa melampiaskan hasratnya.
"Ternyata benar, dia Pak Devan. Ya Tuhan, akhirnya gue bisa ketemu lagi sama dia. Apa ini memang sudah takdir? Takdir jika gue harus minta pertanggungjawabannya karena dulu dia telah merenggut keperawanan gue."
Viola terus memperhatikan Devan yang masih tampak sama dengan yang terakhir kali dilihatnya. Sosok yang dingin dan juga tampan. Wajahnya memancarkan karisma yang bisa membuat wanita mana pun akan jatuh hati saat melihatnya.
Bersambung ✍️