Bab 9. Rencana Elegan

1176 Kata
Selamat membaca! Viola yang tahu bahwa ia datang terlambat pun akhirnya tiba di depan kelas. Setidaknya ia masih yakin jika Devan akan mengizinkannya masuk karena mau bagaimanapun mereka berdua sama-sama datang terlambat. "Ya ampun, capek banget deh. Betis gue sampe lemes gini." Dengan napas terengah-engah, Viola membuka pintu. "Permisi, Pak!" Pandangannya langsung tertuju pada Devan yang sudah berada di kursinya. "Buat apa kamu masuk?" tanya Devan yang baru 5 menit lalu ada di dalam kelas. Pertanyaan itu sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pikirannya. "Emang nggak boleh, Pak?" Viola balik bertanya dengan raut wajahnya yang polos. Sementara itu, Tari yang melihat Viola dalam masalah pun tak bisa berbuat apa-apa. "Kasihan Viola. Lagi-lagi dia bikin Pak Devan marah." "Saya tidak izinkan kamu masuk. Sekarang kamu boleh pergi! Lain kali, kalau mau ikut kelas saya, kamu harus datang tepat waktu." "Tapi, Pak—" "Tidak ada tapi-tapian, sekarang kamu keluar karena saya akan segera mulai materi hari ini." Malas berdebat dengan Devan karena ia tahu akan seperti apa akhirnya, Viola pun kembali menutup pintu. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan dengan kasar. Ada rasa lelah karena harus bersitegang terus dengan Devan dari bangun tidur sampai saat ini. "Padahal dia sendiri juga telat, bisa-bisanya dia nggak bolehin gue masuk." Viola terus melangkah, menyusuri lorong kampus hingga langkahnya tiba di depan lapangan serba guna yang ada di area tengah. "Kenapa dia egois banget sih?" Baru selesai mengatakan itu, Viola melihat sosok pria paruh baya baru saja keluar dari ruangan yang ada di sisi kirinya. "Pak Gunawan." Viola pun tersenyum. Seketika timbul ide dalam pikirannya. Sebelum Gunawan melintas di dekatnya, Viola tampak berbalik. Membelakanginya dan membasahi kedua ibu jari dengan lidahnya. Setelah itu, ia berakting seolah-olah sedang menangis selesai membasahi kedua mata dengan ibu jarinya. Suara rintihan Viola berhasil menarik perhatian Gunawan. Pria paruh baya yang baru saja melewatinya itu kini berbalik. Menghampiri sambil mulai menatap simpati padanya. "Viola, kamu kenapa?" "Nggak apa-apa, Pak ...." "Ngomong aja, Vi, kamu kenapa?" "Yes, akting gue berhasil," batin Viola yang mulai akan bicara pada Gunawan. Beberapa menit kemudian, Viola yang sudah selesai bicara dengan Gunawan tampak melangkah bersamaan. Tujuannya adalah kelas di mana seharusnya Viola berada di sana. "Yes, Pak Devan pasti nggak bisa berkutik kalau Pak Gunawan yang bolehin gue masuk kelas," batin Viola tersenyum puas. Merayakan kemenangan besar di dalam hatinya karena ia tidak menyangka bisa melakukan hal yang seberani itu. Suara pintu terdengar diketuk, Devan pun seketika melihat saat sosok Gunawan yang ternyata membuka pintu ruang kelasnya. "Pak Devan, maaf jika saya mengganggu, boleh kita bicara sebentar di luar." "Baik, Pak." "Selagi saya pergi, sekarang saya minta kalian merangkum materi yang tadi saya sudah jelaskan ya!" Setelah perintahnya dijawab oleh para mahasiswa di kelasnya, Devan pun langsung melangkah pergi. Menghampiri Gunawan dengan penuh tanda tanya. "Iya, Pak, ada apa ya?" Begitu tiba di luar ruangan pandangan Devan masih tertuju pada Gunawan yang kini ada di depannya setelah ia menutup pintu. Ekspresi wajahnya seketika berubah saat kedua matanya beralih melihat Viola yang tiba-tiba muncul dari belakang Gunawan dan tersenyum padanya. "Hai, Pak." "Kamu ...." Kedua mata Devan membeliak. Tentu saja ia terkejut dan tak menyangka jika Viola ada di belakang Gunawan. "Jadi begini, Pak, saya minta tolong agar Viola bisa ikut kelas Bapak hari ini, soalnya dia terlambat datang karena punya alasan, Pak. Tadi dia mau jelasin ke Bapak, tapi Bapak seperti tidak memberikan dia kesempatan. Makanya, dia minta bantuan saya." "Berani sekali Viola sampai bawa-bawa pak Gunawan biar bisa ikut kelas gue," batin Devan sambil melirik Viola dengan sinis. "Sebenarnya bukan enggak ngasih kesempatan, Pak, hanya saja saya memang tidak mentolerir keterlambatan." "Tapi, bukannya, Pak Devan juga datang terlambat ke kelas?" Viola tiba-tiba memotong, membuat Devan semakin kesal padanya dan langsung merasa tidak enak pada Gunawan. "Ya sudah, sekarang izinkan Viola ikut kelas Pak Devan ya!" Merasa tak punya pilihan, Devan pun mengiyakan permintaan Gunawan. Walaupun sebelum menjawab, pria itu tampak mengalihkan pandangannya dengan menatap lebih tajam pada Viola yang hanya tersenyum menanggapinya. "Baik, Pak. Saya juga minta maaf atas keterlambatan saya hari ini." "Pak Devan nggak perlu khawatir, saya tidak mempermasalahkannya karena saya yakin Pak Devan pasti punya alasan yang benar-benar darurat sampai bisa terlambat, sama seperti Viola yang harus menjaga ibunya dulu karena sedang sakit." Devan terkejut. Kali ini rahang wajahnya ikut mengeras, netra matanya tak teralihkan. Begitu menghunus seakan ingin gadis itu melihat kemarahannya. Namun, dengan cepat Devan kembali tersenyum dan bersikap ramah agar Gunawan tak mengetahuinya. "Sekali lagi terima kasih, Pak." "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu ya! Maaf sudah mengganggu waktu mengajar Pak Devan." "Iya, tidak masalah, Pak." "Viola, sekarang kamu bisa masuk kelas sama Pak Devan ya." Viola tersenyum. Menatap Gunawan dengan kedua mata yang berbinar. "Sekali lagi makasih karena udah dibantuin, Pak." Gunawan pun melangkah pergi setelah tersenyum pada Viola. Tinggallah Devan yang kini sudah menatap gadis itu dengan begitu tajam. "Kenapa kamu sampe berani melakukan itu?" kecam Devan tampak penuh amarah. "Karena saya nggak salah, Pak. Kan saya telat juga bareng Bapak." "Tapi kamu itu telat bukan karena saya, tapi karena kamu ngobrol dulu sama Arya di depan kampus tadi. Itu yang bikin kamu telat sampe di kelas." Viola terkejut. Ia bahkan tak menduga jika Devan ternyata melihatnya bicara dengan Arya setelah pria itu menyelamatkannya. "Jangan-jangan Pak Devan cemburu ya?" Pertanyaan itu spontan keluar dari mulut Viola. Pertanyaan yang seketika membuat Devan jadi salah tingkah dibuatnya. Namun, pria itu dengan tegas membantahnya. "Jangan asal bicara! Ingat! Masalah ini belum selesai." Tanpa memedulikan Viola, Devan masuk kelas lebih dulu. Sementara gadis berambut hitam itu, tampak mengepalkan tangan kanannya dengan pose penuh semangat. "Yes, gue berhasil." Setibanya di kursi yang biasa didudukinya, Viola langsung disambut dengan sebuah pertanyaan dari Tari yang tampak kebingungan melihat Viola bisa ikut kembali di kelas Devan. "Vi, gimana caranya lo bisa masuk lagi? Bukannya tadi Pak Devan marah sama lo terus dia ngusir lo keluar." "Ssstttt! Apa lo mau Pak Devan marah lagi karena kita bicara di kelasnya?" Seketika Tari langsung mengunci mulutnya rapat-rapat. Pandangannya menatap ke depan, melihat ke arah Devan yang memang sedang menatap dengan sorot mata tajam. "Ya ampun, serem banget ya. Gue berasa dilihatin genderuwo deh kalau begini, tapi kalau dipikir-pikir, mana ada genderuwo ganteng kaya Pak Devan." Tari memukul pelan kepalanya saat memikirkan hal itu. Membuat Viola yang melihat tingkah Tari seketika tersenyum dan tiba-tiba ia kembali teringat akan pertemuannya dengan Arya di jalan menuju kampus tadi. Pertemuan yang membuatnya jadi punya sebuah rencana. "Mungkin Arya bisa bantuin gue supaya Pak Devan jadi cemburu dan akhirnya dia sadar kalau dia tuh sebenernya emang jatuh cinta sama gue." Setelah bicara dalam hati, Viola melirik Tari. Melihat sahabat barunya yang masih merunduk dan menghalangi wajahnya dari pandangan Devan. "Gue harus minta bantuan Tari, dia kan lebih kenal sama Arya daripada gue." Berbeda dengan Viola, Devan yang kini kembali melanjutkan materi kelasnya tampak begitu kesal. Ia benar-benar ingin membuat perhitungan pada Viola karena sampai membuatnya malu di hadapan Gunawan, sang rektor. "Awas aja kamu, Viola!" Devan hanya mengatakan itu dalam hati sambil sesekali melihat Viola yang tampak semringah dan itu semakin membuatnya merasa kesal. Bersambung✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN