"Kamu kenapa? Telepon Ummi kok malah diam-diaman gini?"
Perempuan berjilbab hitam serta cadar berwarna sama itu masih bungkam, menatap langit pagi dengan pikiran yang cukup membuatnya bingung.
"Bellvania... Kamu kenapa?"
"Ummi saat jatuh cinta sama Abi dulu. Apakah langsung mengetahuinya atau butuh waktu yang lama untuk memahaminya?"
Diseberang telepon sana Zahra, ummi dari Bellvania itu tertegun atas pertanyaan anaknya. Karena perjalanannya dengan Frans tentu sangatlah berbeda dengan perjalanan hidup anaknya. Segala kejadian di masa lalu sungguh sangat memilukan jika mengingatnya kembali.
"Ummi?"
"Kamu kenapa bertanya seperti itu? Hayoo... Lagi suka sama orang ya?"
"Ummi ja-"
"Permisi Kak Bellva, ada pembeli yang ingin bertemu denganmu."
Perkataan Bellvania terhenti karena Annisa tiba-tiba datang menyapa, memberitahu jika ada seseorang yang ingin bertemu dengannya.
"Ummi... Sudah dulu ya! Ada pelanggan. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." setelah mendengar sambungan telepon dimatikan Zahra terdiam, kembali memikirkan kejadian 25 tahun lalu padahal sudah sangat lama tetapi kenapa masih berbelas dalam ingatannya.
"Kamu kenapa?"
Ia mendongak menemukan suaminya sedang menatapnya lembut, penuh kasih sayang. Dan hatinya tentu merasa bahagia karena kini pernikahan nya sudah seindah ini tidak seperti beberapa puluh tahun lalu, setiap hari dirudung duka.
"Bellva bertanya bagaimana saat aku mencintaimu Frans." mendengar perkataan istrinya Frans langsung tersentak sontak ia duduk didekat Zahra lalu menariknya kedalam pelukannya.
"Maafkan kesalahanku karena membuatmu merasakan semua itu Zahra." gumamnya lirih
"Aku sudah memaafkanmu sejak lama Frans. Kamu sudah membayar semua kesalahan itu dengan menjadi ayah yang baik untuk kedua anak kita dan juga menjadi suami terbaik untukku. Aku hanya sedang memikirkan bagaimana caranya menjawab pertanyaan putri kita itu."ujarnya dengan suara lemah lembutnya.
"Aku selalu beruntung mempunyai istri sepertimu." gumamnya sembari mengeratkan pelukannya pada istrinya.
"Lepaskan... Aku harus keluar untuk membantu Renata memilihkan gaun untuk Andita." dengan berat hati Frans melepaskan pelukannya bahkan wajahnya sudah tertekuk kesal.
"Engga malu sama umur." ejek Zahra, kemudian berdiri mengambil cadarnya untuk dipakai.
Setelah memakai cadarnya ia berjalan keluar kamar meninggalkan Frans terpaku sendirian. Kejadian puluhan tahun lalu cukup membuatnya merasa bersalah sampai sekarang bahkan sampai ia mati sekalipun. Apa yang ia lakukan pada Zahra dan sikapnya dulu benar-benar membuatnya malu jika kedua anaknya tau mengenai hal itu.
***
"Maaf sebelumnya, ada apa mencariku?" ujarnya pelan sambil menunduk tidak memandang seseorang disofa seberang.
"Aku ingin mengajakmu bekerja sama." jawab orang itu.
"Bekerja sama?"
"Ya... Aku ingin menjadikan sebagian hasil potretmu menjadi sebuah lukisan. Dan mengenai hasilnya kita bisa membaginya bukan?" ia memang sudah memikirkan hal ini semalam apalagi karya-karya perempuan aneh didepannya sungguh sangatlah memukau.
"Kamu bekerja sebagai pelukis?"
"Ya... Bagaimana apakah kamu mau?"
Bellvania terdiam memikirkan apakah harus bekerja sama dengan laki-laki bernama Barra Gernadi ini atau tidak. Seseorang yang ingin bertemu dengannya adalah seseorang yang sama seperti kemarin tapi bedanya ia mengajak Bellva untuk bekerja sama.
"Baiklah." ujarnya yang langsung membuat Barra senang. Entah kenapa ia merasa sangat senang.
"Kalau pagi begini ternyata studiomu rame ya." ia mengedarkan pandangannya menatap satu persatu orang datang, ada yang sekedar melihat ada juga yang berselfie ria di pojok ruangan yang sudah di dekorasi sedemikian rupa untuk berfoto. Ada juga sekedar melihat saja kemudian berlalu pergi, posisi mereka saat ini sedang berada di ruang penerimaan tamu yang ada di studio ini. Saat kamu pertama kali masuk kedalam studio ini maka kamu akan disuguhkan satu set sofa kemudian terdapat bebarapa lorong serta pajangan foto.
"Begitulah." jawabnya singkat.
"Apakah kamu akan terus menerus menunduk seperti itu tanpa melihatku sama sekali?"
"Maaf jika kamu tersinggung tapi beginilah saya." sekilas wajah Barra terlihat kesal tetapi kembali tenang dan tersenyum pelan. Ia harus mencoba menghargai perempuan aneh ini.
"Apa kata mahram dan halal sangat penting untukmu?"
Bellvania tertegun, merasa sedikit bingung dengan perkataan Barra. Memangnya ada apa dengan kata itu? Kenapa tiba-tiba jadi topik pembahasan seperti ini?
"Maaf... Jika pembahasanku sudah berada diluar jalur." sebagai jawaban Bellvania hanya menganggukkan kepalanya pelan, sesekali matanya mengarah ke arah Utara dimana disana ada Annisa yang sedang sibuk melayani pelanggang yang datang.
"Untuk kelanjutannya bisa kamu bahas dengan salah satu pegawaiku. Foto yang kamu pilih nantinya mereka akan memberikanmu duplikatnya untuk kamu bawa pulang dalam bentuk file. Jadi tidak perlu susah lagi, kalau begitu saya permisi dulu mau membantu yang lain. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Keduanya terdiam setelah Bellvania bersuara, dan perempuan bercadar itu sedikit heran karena Barra belum kunjung juga menjawab salamnya. Karena merasa tidak ada tanda-tanda Barra akan bersuara Bellvania berdiri meninggalkan Barra sendiri di sofa khusus tamu.
"Annisa..." panggilnya setelah sampai disisi remaja itu.
"Kenapa kak Bellva?" jawabnya sambil memperhatikan pelanggan yang berjalan kesana kemari.
"Laki-laki itu bernama Barra, dia akan bekerja sama dengan studio foto kita. Katanya dia tertarik dengan foto-foto disini maka dari itu dia ingin melukisnya, maka dari itu saat dia meminta segera berikan duplikatnya dalam bentuk file yaa." ujarnya lalu tersenyum pelan di balik cadarnya.
"Siap Kak Bellva." ucapnya semangat.
"Foto yang berlatar belakang monas itu sepertinya banyak peminatnya kak. Apa sebaiknya kita pesan bingkai yang banyak pada Pak Galih?"
Bellva terdiam, ia mengingat bagaimana suasana monas kala itu saat sedang berjalan-jalan mencari sudut foto yang pas. Sangat ramai bahkan banyak anak-anak yang sedang berlarian kesana kemari seakan menghiraukan perkataan ibu mereka, banyak muda mudi yang saling berbagi cerita serta para pedagang kaki lima pada tempat yang seharusnya yang telah disediakan.
Ia harus mencari suasana yang pas untuk memotret karena Umminya selalu mengatakan jangan sampai ada gambar menusia atau hewan dalam foto yang akan kamu pajang dan tentu Bellva harus mencari tempat dimana semua syarat itu terpenuhi.
"Yaudah...Kamu telepon Pak Galih terus pesen bingkai bermotif yang sama dengan itu jumlahnya 10 aja dulu ya untuk stok persediaan. Takutnya malah mubazir nantinya." Annisa mengangguk pelan lalu mengambil ponselnya untuk menelpon pengrajin kayu langganan mereka sejak studio foto mereka.
Bellvania berjalan ke lorong tempat foto berlatar belakang monas itu, disana memang ada beberapa orang yang sibuk membaca diskripsi yang ia sediakan. Foto itu memang sederhana tetapi cukup membuatnya merasa kagum dengan hasilnya.
Monas yang menjulang tinggi tetapi ter-potret buram dan Bellvania jadikan fokus adalah awannya. Ia memang begitu menyukai awan menurutnya sangat cantik dan mengagumkan secara bersamaan. Bisa berbentuk apapun bahkan terkadang menghilang tanpa jejak memperlihatkan langit biru yang membentang sangat luas.
"Mbak..."
"Iya kenapa?"
"Fotonya bagus sekali, oh iya Mbak pake cadar karena tuntutan keluarga ya? Atau karena keinginan sendiri?"
"Abi saya engga pernah maksa katanya yang penting saya tutup aurat aja dulu sesuai dengan perintah Allah kalau mengenai memakai cadar itu tergantung saya apakah ingin atau tidak. Kalau masalah tuntutan keluarga sepertinya bukan."
"Soalnya sekarang anak-anak remaja banyak banget yang bandel. Pake cadar tapi sikapnya berbanding terbalik dengan penampilan."
"Bu! Jangan jadikan penampilan dengan sikap atau kepribadian seseorang karena itu tidak terhubung sama sekali. Mereka memakai cadar ataupun jilbab memang terkadang karena tuntutan orang tua bukan?"
Ibu-ibu yang Bellva tebak berumur 45 tahun itu mengangguk pelan sebagai tanda setuju.
"Tetapi mereka bisa saja membukanya jika memang terpaksa? Mereka bisa saja membukanya karena bukan keinginannya tetapi apa yang mereka lakukan? Tetap memakainya dengan alasan takut dimarahi orang tua masing-masing tetapi tanpa mereka sadari mereka melakukannya atas keinginannya sendiri. Hati kecilnya menginginkan hal itu walaupun logikanya mengatakan terpaksa..."
"... Mengenai kepribadian itu tergantung mereka sendiri. Jika memang mereka memperlihatkan sikap aslinya maka biarkan nantinya akan berubah dengan sendirinya."
"Kagum saya menemukan perempuan sepertimu." di balik cadarnya Bellvania tersenyum pelan. Ia memang tidak pernah mempermasalahkan sikap dari remaja yang ibu-ibu tadi ucapkan karena memang itu bukan jalurnya untuk ikut campur.
Mata hijau itu memperhatikan ibu itu menjauh. Memakai gamis yang mempunyai banyak motif serta jilbab yang memanjang dibelakang tetapi agak pendek di depan tidak seperti jilbabnya yang sama panjang. Kaki ibu itu juga masih terlihat sebagai pertanda ibu itu tidak memakai kaos kaki sepertinya.
Sekali lagi Bellva tak pernah mempersalahkan bagaimana orang di sekelilingnya karena selagi ia nyaman maka tak perlu berada diluar jalur.
"Kak Bellva?"
"Ehh Annisa... Kenapa?"
"Kata Pak Galih... Dia akan membawa pesanan kita seminggu dari sekarang."
"Oh iya."
"Kak? Tadi aku membereskan meja tempat kakak dan Kak Barra itu dan aku menemukan ini ditempatnya tadi."
Bellvania menatap benda yang ada di genggaman tangan Annisa. Disana terdapat kalung berbentuk salib yang sesekali dipakai oleh umat kristen tetapi kenapa bisa Barra memilki kalung seperti itu? Apakah salah satu temannya beragama kristen?
"Lalu dimana laki-laki itu?"
"Sepertinya kalau tidak salah lihat aku melihatnya sedang berada di pekarangan depan. Melihat-lihat bunga." jawab Annisa ragu.
"Yaudah sini kalungnya." Bellvania mengambil kalung yang ada di genggaman tangan Annisa lalu berjalan keluar studio .
Dari kejauhan ia melihat siluet tubuh Barra yang sedang fokus menatap bunga matahari.
"Barra?" panggilnya yang langsung membuat laki-laki itu berbalik hingga sontak Bellvania menunduk.
"Ada apa?"
"Apa ini milikmu?" tanyanya sambil memperlihatkan kalung di genggaman tangannya
"Ya... Ini milikku."
"Itu berarti kamu..."
"Aku beragama kristen Bellvania."
Perkataan itu membuat Bellvania tanpa sadar mendongak menatap manik hitam gelap milik Barra dan Barra menatap manik hijau milik Bellvania.
Kenapa tiba-tiba Bellvania merasakan sesak didalam sana?