Kalung itu masih berada dalam genggaman Bellvania dan mereka berdua masih belum sadar karena masing-masing terbuai oleh manik matanya. Bellvania dengan keterkejutannya sedangkan Barra dengan perasaan bingungnya.
"Ada apa?" gumam Barra setelah beberapa detik kemudian tentunya pertanyaan itu membuat Bellvania tersentak dan sadar diri. Ia segera menundukkan pandangannya kembali.
Rasanya didalam sana terasa sesak, dadanya seakan baru saja dipukuli dengan keras padahal Bellvania tak mengerti apa yang sedang terjadi disini.
"Ini kalungmu." ujarnya tanpa menjawab pertanyaan Barra sama sekali. Ia menyimpan kalung itu didekat pot bunga kecil karena tak mungkin ia bersentuhan langsung dengan Barra.
"Kenapa aku merasa kamu kaget saat mengetahui aku beragama kristen. Bukankah sadari kemarin kamu seharusnya sudah mengetahui itu Bellvania?"
Lagi dan lagi Bellvania tersentak, perkataan Barra barusan memang ada benarnya. Apalagi pertanyaan Barra sejak kemarin tentunya bisa menjawab semuanya tetapi kenapa Bellvania bisa lupa dengan kenyataan itu.
"Jika boleh jujur, aku mulai tertarik padamu Bellvania. Hatiku merasa sangat penasaran akan duniamu serta segala prinsip dan keyakinan yang kamu pegang teguh. Hati dan pikiranku selalu bertanya-tanya tentang dirimu, padahal kita baru saja bertemu kemarin. Apakah aku boleh menyimpulkan jika aku telah memiliki perasaan padamu Bellvania?"
"Tidak... Itu bukan perasaan suka Barra. Tetapi hanya penasaran dengan keyakinan serta agamaku. Kamu boleh bertanya dengan orang lain tentang dunia perempuan dalam agama islam yang pastinya bukan saya." jawab Bellvania cepat, ia masih menatap nanar lantai dibawah sana. Rasanya ia masih sulit mempercayai kenyataan ini, padahal semalam ia perlahan menemukan jawaban tetapi saat ini?
"Aku telah bertanya pada temanku Bellvania tetapi jawabannya seakan bukan jawaban yang aku cari. Bolehkah kita kenalan lebih dekat?"
Bellvania memejamkan matanya, entah kenapa rasanya saat itu ia ingin menangis. Kekeliruan yang ia alami malah membuatnya bingung seperti ini. Padahal baru saja ia bertanya pada umumnya tentang Cinta lalu haruskah patah sebelum waktunya?
"Apakah kamu kecewa karena aku beragama kristen Bellvania?" Barra kembali bersuara karena Bellvania hanya bungkam tanpa menjawab sama sekali.
"Aku tidak tau apa yang terjadi dengan pertemuan kita Bellvania, karena aku juga bingung saat ini." lanjut Barra lagi.
"Saya permisi." Barra menatap nanar kepergian Bellvania, tangannya meraih kalung yang selalu ia pakai kemana-mana itu memasangnya kembali pada lehernya lalu berjalan menjauh menuju mobilnya.
Ia merasa kecewa dengan respon perempuan yang membuatnya penasaran itu, hatinya merasa hampa saat langkah kaki perempuan berpenampilan tertutup itu menjauh darinya. Ia sangat tau perempuan itu hanya kaget dengan kenyataan mengenai keyakinannya.
"Kak Barra..."
Tangan Barra terhenti padahal sudah ingin membuka pintu mobilnya. Ia berbalik menemukan anak remaja berpakaian santai dengan penutup kepala hanya sebatas siku saja tidak seperti Bellvania sepanjang lutut. Anak remaja ini juga tidak menutup wajahnya bahkan pakaian yang anak remaja ini pakai tidak besar hanya celana jeans serta baju lengan panjang.
"Ada apa?" tanyanya
"Ini file yang kakak minta tadi. Maaf agak lama dan untungnya Kak Barra belum pergi." Barra melihat anak remaja itu mengulurkan tangannya kepada Barra secara langsung seakan tidak masalah jika bersentuhan dengannya tetapi Bellvania tadi tidak melakukan hal seperti itu.
"Kamu tidak keberatan jika memandangku secara langsung seperti ini? Kenapa kamu tidak menundukkan kepalamu?"
Annisa, remaja 18 tahun itu mengerutkan keningnya bingung dengan pertanyaan orang dewasa didepannya.
"Kenapa kamu tidak menutup wajahmu?"
"Hah?" hanya itu yang bisa Annisa ucapkan. Ia bingung ingin menanggapi seperti apa pertanyaan Barra
"Kenapa penutup kepalamu pendek? Tidak panjang seperti milik Bellvania?"
Annisa menggaruk kepalanya yang terbaluti jilbab segitiga panjang sesiku itu, jujur ia benar-benar bingung dengan perkataan laki-laki dewasa didepannya.
"Aku permisi kak." karena merasa tidak ada lagi yang bisa lakukan bahkan menjawab pertanyaan Barra pun enggan ia lakukan. Ia membawa langkahnya masuk kembali kedalam studio foto meninggalkan Barra yang masih menatapnya dengan pandangan bertanya.
Barra hanya terdiam ditempat selama beberapa detik hingga ia memutuskan masuk kedalam mobilnya, mengendarai mobil itu dnegan pikiran yang benar-benar berantakan. Kenapa anak remaja itu tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Hanya berlalu pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan apapun lagi.
***
"Kak Barra... Aneh!"
Lamunan Bellvania tersentak karena Annisa datang tiba-tiba lalu mengatakan Barra Aneh.
"Aneh? Aneh kenapa?" tanyanya sambil menatap Annisa
"Dia bertanya padaku apakah tidak papa jika memandangnya langsung? Kenapa penutup kepalaku tidak panjang? Dan yang paling aneh adalah pertanyaannya satu ini."
"Apa?"
"Kenapa aku tidak menutup wajahku? Aneh kan." Bellvania bungkam. Ia kembali melihat nanar foto yang terpajang di lorong sana.
Sampai saat ini Bellvania masih sulit menerima jika Barra berbeda keyakinan dengannya. Ia tidak mempermasalahkan agama laki-laki itu tetapi ia ingin memaki perasaan aneh yang datang dalam dirinya. Ini adalah perasaan aneh yang ia cari selama ini tetapi kenapa malah diberi kejutan sebesar ini.
Ini adalah perasaan yang ia ingin rasakan setiap bertemu dengan laki-laki tetapi kenapa harus Barra yang sangat mustahil untuk bersamanya. Mereka berdua berbeda arah serta kepercayaan yang sangat bertolak belakang, apa yang harus ia ceritakan pada umminya nanti.
"Kak Bellva... Kakak melamun?"
"Iya! Ada apa?"
"Ada dengan kalian berdua hari ini." ujar Annisa kemudian berlalu pergi dari ruangan kecil tempat ketiganya beristirahat. Meninggalkan Bellvania sendiri tanpa menunggu perkataan Bellvania selanjutnya.
Pintu ruangan Annisa biarkan terbuka hingga foto dilorong sana masih terlihat, jika boleh Jujur Bellvania hanya bingung ingin menanggapi seperti apa perasaannya saat ini, gelisah, terasa mengecewakan, hampa, dan seperti sesak tak berkesudahan sama sekali.
Ia menatap ponselnya dimana disana tertera Abi-nya sedang menelpon.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Abi." sapanya setelah menggeser tombol hijau di benda pipih itu.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, kamu sehat kan?"
"Iya Abi... Tenang saja! Ada apa menelponku?" Bellvania berdiri berjalan kedepan jendela, menatap hamparan bunga di belakang sana.
"Memangnya tidak boleh menelepon putri abi sendiri?"
Bellvania tertawa pelan mendengar hal itu, manik hijaunya berbinar merasa tenang. Keresahannya menghilang entah kemana.
"Boleh dong... Masa iya aku ngelarang Abi aku sendiri menelpon sih! Kangen Bellvania ya?" ujarnya dengan nada jahil di akhir ucapannya
"Kamu ini! Engga tau kenapa Abi tiba-tiba kepikiran kamu kayak engga enak gitu. Kamu engga papa kan nak?"
Bellvania mematung mendengar perkataan Abi-nya. Memang sejak kecil ia sangatlah dekat dengan Abi-nya itu apalagi ia pernah mendengar cerita dari neneknya saat Ummi-nya koma Abi-nyalah yang merawatnya walaupun harus ada bantuan baby sitter.
"Engga papa Abi... Tenang aja." jawab Bellvania sambari tersenyum pelan dibalik cadarnya.
"Alhamdulillah."
"Disana keadannya bagaimana?"
"...."
Sembari mendengar perkataan Abi-nya mata hijau itu juga menatap hamparan bunga itu. Setidaknya gelisah nya bisa menghilang sementara walaupun hanya beberapa saat saja.
Karena tentu saja Bellvania hanya ingin segera pikirannya teralihkan dari segala ketidakpercayaannya ini, kenyataan bahwa mereka berdua berbeda keyakinan sungguh adalah patah yang terlalu cepat untuknya. Padahal baru saja Bellvania merasa bangga karena bisa merasakannya setelah lama menunggu tetapi nyatanya?
"Kamu tidak mendengarkan perkataan Abi Bellvania?"
Lamunan Bellvania tersentak, ia lupa jika sambungan telepon ini masih terhubung dan juga Abinya masih berbicara mengenai bagaimana calon sepupunya itu.
"Maaf Abi, aku sedang banyak pikiran." lirihnya pelan.
"Jangan terlalu membuat tubuhku lelah Nak!."
"Iya abi."
"...."
Keduanya kembali berbincang dan Bellvania berharap semuanya terus baik-baik saja.
***
Mobil silver itu hanya menepi sedang pengemudinya sibuk menatap kumpulan remaja didepannya. Disana banyak remaja yang memakai pakaian yang berbanding terbalik dengan pakaian aneh Bellvania.
Mereka memang menutup kepalanya tetapi sebagian rambutnya didahi masih terlihat bahkan terkadang penutup kepala itu malah tidak berfungsi dengan baik. Mereka bahkan bebas saling mengejek serta berbagi cerita bersama teman lelakinya tanpa ada yang namanya menundukkan kepalanya.
Bahkan dari pandangan mata bermanik hitam gelap itu sesekali perempuan remaja meninju lengan lelaki disebelahnya lalu tertawa bahagia setelahnya. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang Bellvania lakukan, perempuan dengan penutup wajah itu bahkan enggan bersentuhan langsung dengannya, selalu menjaga jarak dengannya, lantai lebih menarik dipandang daripada wajahnya.
Mahram? Halal?
Bukankah kata Dito itu adalah utama tetapi kenapa yang ia lihat sekarang ini tidak berlaku sama sekali,
"Lalu pada siapa kata mahram dan halal itu berlaku? Hanya diperuntukan untuk perempuan berpenampilan aneh seperti Bellvania? Dan bukan untuk anak remaja didepan sana?" gumamnya lagi.
"Apa aku bertanya saja pada pemimpin shalat dekat apartemen saja?" lanjutnya lagi.
Matanya masih memandangi kumpulan remaja itu, mereka bahkan saling berangkulan akrab seakan itu tidak masalah sama sekali,
"Atau aku bertanya pada Dito lagi?" tanyanya.
"Tidak... Aku bertanya saja pada pimpinan shalat yang ada didekat apartemen pasti dia memilki jawaban yang aku cari." jawabnya pada dirinya sendiri
Barra kembali melanjutkan perjalanannya menuju apartemennya bersama Dito. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum para kliennya protes karena lamanya lukisan itu baru selesai. Apalagi file pemberian anak remaja itu dalam bentuk flashdisk telah berada dalam genggamannya.
"Aku harap kamu masih ingin berbincang denganku, Bellvania." gumamnya.