Eps. 16. Tidak Ingin Menuntut

1245 Kata
Jarum jam kini sudah codong ke kanan dan siang hari pun mulai bergeser, tergantikan oleh datangnya senja. Akan tetapi, hingga petang itu hujan masih turun sangat deras, seolah tiada menunjukkan tanda akan berhenti. Akibat hujan yang terus mengguyur di desa itu, Danu dan Sukma juga tidak bisa lagi melanjutkan aktivitas di kebun. Keduanya memutuskan untuk tinggal di rumah saja dan beristirahat di kamarnya masing-masing. Meskipun sudah sebulan sah menjadi pasangan suami istri, sejatinya rasa canggung masih mengisi hati Danu dan Sukma. Meski sejatinya rasa saying sudah mulai tumbuh di hati mereka, tetapi baik Sukma maupun Danu, masih enggan saling mengungkapkan. Hingga hari itu, mereka juga masih tidur di kamar berbeda. Tidak seperti pasangan pengantin baru pada umumnya, bahkan sama sekali belum terpikirkan di benak mereka untuk melaksanakan ritual malam pertamanya. "Ahh, rupanya aku ketiduran!" Danu tersentak dan seketika mengangkat punggungnya. Perlahan dia bangun seraya duduk di atas tempat tidur. Tanpa dia sadari, dingin cuaca sore itu, membuat ia mengantuk dan sejenak tertidur di dalam kamarnya seorang diri. "Sudah hampir maghrib, tapi mengapa Sukma tidak membangunkan aku?" Danu mengusap wajahnya, lalu menurunkan kedua kaki dari atas ranjang. Sambil mengucek mata, Danu keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. "Ku rasa, pasti Sukma ada di dapur dan sedang mempersiapkan makan malam," terkanya dalam hati. "Sukma tidak disini, mungkin dia juga masih di kamar." Kening Danu berkerut ketika tiba di dapur dan Sukma tidak terlihat di sana. "Hatchihh! Hatchihh!" Bergegas Danu mengalihkan langkah mendekat ke depan kamar Sukma, ketika terdengar suara bersin sang istri dari dalam. "Sukma ... kamu ada di dalam?" Danu memberanikan diri mengetuk pintu kamar Sukma dan memanggil. "Hatchihh! Hatchihh!" Tak terdengar jawaban dari Sukma, hanya suara bersinya yang kembali terdengar. "Sukma tidak menjawab. Apa jangan-jangan dia sakit?" pikir Danu, mengkhawatirkan keadaan istrinya. Danu perlahan memutar gagang pintu. Dia tahu Sukma memang jarang mengunci pintu kamarnya saat dia tidur. Seketika Danu tersentak, ketika melihat istrinya itu meringkuk di atas tempat tidur, sambil menggulung tubuhnya dengan selimut, serta tampak tengah menggigil kedinginan. Wajahnya juga terlihat pucat dan hidungnya memerah. Danu langsung menghampiri dan duduk di sisi tempat tidur, seraya meletakkan punggung tangannya di kening Sukma. "Astaga ... kamu demam, Sukma." Danu semakin merasa cemas, merasakan suhu badan gadis itu sangat panas. "Tidak apa-apa, Bang. Aku hanya sedikit demam dan terserang flu, akibat kehujanan tadi siang," sahut Sukma. Meski merasa kurang sehat, tetapi dia tidak ingin Danu mencemaskan keadaannya. "Kamu harus segera minum obat, Sukma. Jangan sampai suhu badanmu bertambah tinggi." Danu bergegas beranjak dari ranjang dan mengambil kotak P3K, guna mencari obat Pereda demam serta minyak gosok. "Minumlah obat ini dulu, setelah itu aku akan mengusapkan minyak ini di punggungmu." Danu kembali duduk di sisi tempat tidur Sukma, sambil menyerahkan sebutir paracetamol, serta membantu Sukma meminumnya. "Terima kasih, Bang." Sukma bersandar di tepi atas tempat tidurnya dan berusaha mengulas sebuah senyum. Sampai saat itu dia selalu merasa nyaman akan semua perhatian kecil Danu terhadapnya. "Sekarang, berbaringlah! Aku akan menggosokkan minyak ini di punggungmu, agar kamu merasa lebih nyaman." Danu balas tersenyum, sambil memberi isyarat agar Sukma berbaring lagi dengan posisi tengkurap di hadapannya. "Tidak usah, Bang." Sukma menggeleng. "Aku bisa melakukannya sendiri," tolaknya, lalu merebut minyak gosok itu dari tangan Danu. Danu hanya tersenyum tipis dan tidak melarang Sukma melakukan semua itu sendiri. Dia tahu, walau mereka sudah menjadi pasangan suami istri, Sukma memang masih merasa sangat canggung terhadapnya. "Ya sudah ... kalau begitu kamu istirahat saja. Biar aku yang mempersiapkan makan malam untuk kita berdua." Danu lantas beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju dapur. Di dapur kecil yang ada di rumah itu, dengan cekatan kedua tangan Danu mempersiapkan beberapa jenis sayuran dan memasak telur untuk makan malam mereka berdua. Selama tinggal di desa itu, Danu memang terbiasa mengerjakan apa saja. Sekedar meringankan pekerjaan Sukma, dia juga sering memasak sarapan pagi, terutama bila Sukma pagi-pagi sudah harus berangkat ke pasar, untuk menjual hasil kebunnya. "Sekarang makan dulu agar kamu tidak tambah masuk angin. Aku masak sup sayur dan telur untukmu." Dengan membawa semangkuk sup yang baru saja matang, Danu kembali duduk di samping tempat tidur Sukma. "Makan yang banyak agar kamu lekas sembuh, dan aku yang akan menyuapimu." Danu mulai menyendok sup yang masih panas dari mangkuk dan meniupnya perlahan. Dengan penuh perhatian, dia menyuapi Sukma dan berharap gadis itu akan menyukai masakannya. "Bagaimana ... sup buatanku enak, bukan?" "Enak, Bang." Sukma mengangguk dan kembali mengulas senyum. Sup yang dibuat dengan penuh cinta oleh suaminya, terasa cukup bercita rasa. "Selama aku terluka kamu selalu merawatku. Sekarang, giliran aku yang akan merawatmu, agar kamu tidak sampai jatuh sakit." Sambil setia menyuapi istrinya, mulut Danu juga terus berceloteh. "Iya, Bang." Sukma hanya tersenyum dan tetap makan dengan lahap. Kendati sesungguhnya rasa sup buatan Danu sedikit hambar, tetapi tambahan bumbu kasih sayang dalam sup itu, membuat Sukma bisa menghabiskannya dengan cepat. "Terima kasih banyak, Bang Danu. Selama ini Abang selalu perhatian dan bertanggung jawab terhadapku. Tapi ... aku sendiri, belum bisa menjalankan kewajibanku sebagai istri Abang." Sukma menundukkan wajahnya dan merasa bersalah. Dia sadar, karena dia selalu mengatakan belum siap lah, maka sampai saat itu Danu juga tidak pernah menuntut hak sebagai seorang suami darinya. "Tidak perlu berkata seperti itu, Sukma. Selama kamu belum siap, aku tidak akan pernah menuntutnya dari kamu." Danu menjawab dengan tanpa beban. Sebagai seorang suami sekaligus juga seorang pria normal, dia memang sangat berharap Sukma akan bersedia menjalankan kewajiban sebagai istrinya. Namun, apabila belum ada getaran cinta di antara mereka, Danu juga tidak pernah ingin menuntut. Berhubungan intim hanya demi menjalankan nafsu tanpa perasaan sayang, juga bukanlah hal yang dia inginkan. Mendengar jawaban Danu, rasa haru kian mengisi hati Sukma. "Sekali lagi ... terima kasih banyak atas pengertian Abang," ujarnya segan. Selain perhatian dan bertanggung jawab, dia semakin menyadari bahwa di balik wajah cacat tersebut, Danu adalah pria berhati mulia. Dia semakin yakin bahwa Danu memang pantas menjadi pendamping hidupnya, tanpa ingin memedulikan kekurangan yang dia miliki. Meski masih sangat terganggu akan bayang-bayang keraguan tentang masa lalu Danu yang belum diingatnya, tetapi entah mengapa Sukma merasa yakin Danu adalah laki-laki yang Tuhan sengaja kirim sebagai jodohnya. "Sekarang kamu istirahat, ya! Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saja aku. Malam ini aku akan tidur di ruang tamu, agar kamu lebih mudah memanggilku kapan saja." Karena Sukma sudah menghabiskan sup serta suhu badannya juga sudah mulai turun, Danu ingin meninggalkannya sendiri di kamar. Sambil meraih mangkuk sup yang sudah kosong, Danu beranjak dari tempat duduknya. "Tunggu dulu, Bang!" Sukma memegang tangan Danu dan mencegahnya keluar dari kamar itu. "Malam ini ... Abang tidur disini saja dan temani aku, ya!" ujar Sukma, tersipu malu. Meski sedikit ragu, dia tetap memberanikan diri untuk mengutarakan keinginan itu kepada suaminya. Danu mengernyit dan kedua matanya menatap lekat ke arah Sukma, memastikan lagi keseriusan ucapan gadis itu, melalui ekspresi wajahnya. "Apa kamu serius?" "Iya, Bang," jawab Sukma singkat dan wajahnya kembali tertunduk malu. "Kalau kita tidur berdua di ranjang yang sama, apa kamu tidak takut nanti terjadi sesuatu di antara kita?" Danu bertanya dengan nada ambigu dan sedikit menggoda Sukma. "Aku tidak takut, Bang. Kita ini 'kan pasangan suami istri." Pipi Sukma tampak bersemu merah ketika dia mengucapkan kalimat itu. "Aku sayang sama Bang Danu," sambungnya dengan wajah merona, malu-malu tetapi mau. Danu menelan ludah dan sejenak menghela napas dalam. "Aku juga sayang sama kamu, Sukma," balasnya sambil meraih tangan wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu, serta menempelkan di dadanya. Danu sengaja membiarkan tangan Sukma, juga merasakan debaran jantungnya, agar gadis itu tahu bahwa dia juga sangat serius dengan ucapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN