Eps. 24. Sebuah Keputusan

1437 Kata
Malam kian larut dan rintik hujan turun tiada henti. Di ruang tamu rumahnya, Sukma terlihat sangat gelisah. Sesekali dia duduk, lalu kembali mondar-mandir, sambil terus mengintip keluar melalui tirai ruangan itu. Waktu sudah lewat dari pukul sepuluh malam, tetapi suaminya tak kunjung tiba di rumah. "Bang Danu kemana? Mengapa sampai selarut ini dia belum pulang juga?" Raut kecemasan sungguh tak dapat dia sembunyikan. "Bagaimana caranya aku menghubungi Bang Danu, sedangkan dia tidak punya ponsel?" Sukma bersungut sambil menggenggam erat ponsel sederhana miliknya. Tinggal di desa itu, dia bersama Danu memang tidak terlalu mengikuti perkembangan teknologi. Tidak seperti orang lain kebanyakan, mereka berdua hanya memiliki sebuah ponsel biasa, tanpa bisa mengakses internet. Ponsel, hanya mereka gunakan untuk sarana komunikasi dengan penjual bibit serta saudagar sayur di desa itu. "Hujan semakin deras, aku takut terjadi sesuatu dengan Bang Danu." Perasaan Sukma semakin tidak tenang. Dalam situasi hujan deras disertai kilatan petir dan suara gemuruh, dia khawatir terjadi hal tidak diinginkan terhadap suaminya. Beberapa saat dihantui rasa cemas dan gelisah, akhirnya Sukma bisa sedikit bernapas lega. Samar-samar telinganya menangkap suara motor Danu masuk ke halaman rumahnya. "Itu pasti Bang Danu sudah pulang!" Sukma bergegas berlari kecil keluar dari dalam rumah dan benar saja, Danu yang ketika itu sudah dalam keadaan basah kuyup, terlihat tengah memarkir motor di sebelah teras rumahnya. "Bang Danu kemana saja jam segini baru pulang?" Tak sanggup lagi menyembunyikan rasa cemas, pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Sukma, ketika dia sudah ada di sebelah Danu yang baru saja turun dari motornya. "Maafkan aku pulang terlambat, Sayang." Danu hanya tersenyum dan bisa menyadari kekhawatiran Sukma. "Tadi aku dapat pekerjaan tambahan dan aku terpaksa lembur," terangnya, mencoba menghapus segala keresahan sang istri. "Bang Danu kehujanan dan basah kuyup. Abang pasti kedinginan." Sukma berujar sambil membantu suaminya melepaskan hoodie serta kaos yang sudah dalam keadaan basah, lalu mengajaknya masuk. Tanpa banyak bertanya, Sukma dengan cepat mengambil handuk dan membantu Danu mengeringkan badan serta mengganti pakaiannya. "Diminum dulu tehnya, Bang." Sukma menyodorkan secangkir teh panas untuk suaminya yang kala itu sudah duduk di ruang tamu, sambil menggosok badannya dengan minyak hangat. "Terima kasih, Sayang." Danu segera mengambil cangkir teh yang masih panas itu dari tangan Sukma, serta menyeruputnya perlahan. "Sini ... biar aku yang gosok punggung Abang dengan minyak hangat itu." Sukma duduk di sebelah Danu, sambil mengusapkan minyak hangat dan memijat punggung suaminya yang terlihat kelelahan. "Tadi Bang Danu bekerja di mana, Bang? Kenapa pulangnya sampai selarut ini?" Karena belum mendapat jawaban memuaskan dari Danu, Sukma mengulang lagi pertanyaannya. "Tadi aku dapat pekerjaan di proyek pembangunan ruko dekat pasar. Dan karena aku lembur, aku bisa mendapat penghasilan tambahan," ungkap Danu sejujurnya. "Ini rejeki kita hari ini, Sayang. Ku rasa ini cukup untuk kamu belanja kebutuhan besok." Danu menyerahkan semua uang hasil kerjanya hari itu kepada Sukma. Sukma tersenyum dan meraih uang itu dari tangan Danu. "Aku senang Abang bisa dapat pekerjaan. Tapi, aku tidak suka kalau Bang Danu sampai lembur seperti ini. Bagaimanapun juga Abang butuh istirahat dan aku tidak mau Abang jatuh sakit, karena bekerja terlalu berat," protesnya, merasa tidak senang bila Danu pulang terlambat. "Mencari pekerjaan di desa ini ternyata tidak semudah yang aku pikirkan, Sayang. Masih untung ada yang mau mempekerjakan aku. Tapi untuk besok, aku masih belum tahu kemana lagi akan mencari pekerjaan." Danu berkeluh kesah. Meski hari itu dia berhasil mendapat pekerjaan, dia tidak tahu apa besok dia bisa mendapat hal yang sama. "Oh ya, tadi nggak sengaja aku bertemu dengan seseorang dari Dinas Pekerjaan Umum. Aku senang karena pemerintah sudah akan segera turun tangan untuk memperbaiki bendungan. Semoga saja, proyeknya cepat selesai dan kita bisa menggarap kebun lagi." Danu bercerita dengan perasaan antusias. "Syukurlah, Bang. Semoga kehidupan kita cepat bisa normal kembali," balas Sukma ikut merasa senang mendengar berita yang Danu sampaikan. "Tapi ... pembangunan bendungan butuh waktu lama, Sayang. Dan selama itu, hidup kita tetap akan kesusahan.” Danu memijat keningnya dan sejenak berpikir. “Lagi pula, kalau kita hanya tinggal di desa ini saja, kemungkinan kita tidak akan pernah berkembang.” Danu menatap wajah istrinya, serta menyambung lagi ucapannya, “Apa kamu tidak ingin pindah dan tinggal di kota?" Kedua ujung alis Sukma tersentak bersamaan mendengar pertanyaan Danu. "Maksud Abang apa?" tanyanya merasa bingung. Selama ini mereka hidup sangat damai di desa itu. Baru kali ini Sukma mendengar suaminya membahas tentang kehidupan di kota. "Aku hanya sedang meminta pendapatmu saja, Sayang." Danu hanya tersenyum tipis. Sesungguhnya, selama ini dia juga merasa tentram tinggal di desa itu. Kalau boleh berkata jujur, dia pun tidak pernah punya keinginan pindah ke kota. "Tinggal di kota belum tentu lebih baik daripada tinggal di desa ini, Bang. Kehidupan di kota sana pasti sangat keras. Kalau kita tidak siap mental, kehidupan kita pasti akan jauh lebih susah di sana," ujar Sukma, menunjukkan tegas kalau dia tidak setuju untuk pindah ke kota. "Tapi kalau aku mendapat kesempatan bekerja di kota ... apa kamu mengizinkan aku pergi merantau untuk beberapa bulan saja, Sayang?" Teringat sulitnya mendapat pekerjaan di desa itu, Danu memberanikan diri bertanya kepada istrinya. "Kalau bendungan sudah rampung dan kebun bisa kita garap lagi, aku pasti akan kembali ke desa ini dan menjadi petani sayur lagi sama kamu, Sayang." Kendati dia sendiri tidak ingin meninggalkan desa itu, tetapi untuk menyambung kehidupan selama lahan mereka belum bisa produktif, dia juga ingin mencoba peruntungan ke kota. "Apa itu berarti kalau Abang sebenarnya ingin merantau ke kota, Bang?" Sukma mencoba meberka. Dari apa yang Danu sampaikan, dia bisa menebak kalau sesungguhnya Danu sangat berniat pergi bekerja ke kota. "Tadi Pak Irwan yang dari Dinas PUPR itu, menawari aku pekerjaan sebagai montir di sebuah bengkel milik rekannya di kota." Danu kembali bercerita kepada Sukma tentang pertemuannya dengan Irwan, sehingga dia bisa mendapat tawaran pekerjaan tersebut. "Memangnya seberapa paham Abang tentang mesin?" Sukma menyipitkan sebelah matanya dan terlihat ragu. "Entah mengapa, aku merasa sangat akrab dengan mesin kendaraan. Secara tidak sengaja aku bisa beberapa kali memperbaiki mobil warga yang mogok termasuk mobil dinas yang dibawa Pak Irwan." Danu terus berceloteh dan membeberkan beberapa hal yang dia ketahui tentang mesin kendaraan kepada Sukma. Sukma menundukkan wajahnya sambil menghela napas dalam-dalam. "Kalau Bang Danu memang menyukai pekerjaan yang berurusan dengan mesin, aku tidak mungkin melarang, Bang. Aku juga tidak ingin menghalangi kalau Abang ingin berkarir." Walau dalam hati sesungguhnya Sukma tidak ingin Danu meninggalkannya merantau ke kota, tetapi dia juga tidak boleh egois. Dia tahu, tujuan Danu bekerja ke kota juga adalah demi memperbaiki masa depan mereka. "Kalau kamu tidak setuju, aku tidak akan memaksa, Sayang. Sejujurnya aku juga tidak ingin berpisah dan meninggalkan kamu sendiri di desa ini. Tapi ... untuk bisa memenuhi kebutuhan kita di masa sulit seperti ini, aku mungkin harus mencobanya." Danu merangkul pundak Sukma dan membawa ke dalam dekapannya. Meski Sukma terdengar menyetujui keinginannya, tetapi dia tahu, kalau Sukma sangat berat menerima keputusan tersebut. "Lagi pula, aku ke kota tidak akan lama, Sayang. Aku akan segera kembali ke desa ini, jika kebun kita sudah normal. Kota juga tidak terlalu jauh dari desa ini. Kalau kondisi memungkinkan, tiap akhir pekan aku pasti akan pulang." Danu mengusap pundak Sukma dan menegaskan sebuah janji tulus kepada sang istri. "Aku tidak keberatan Abang merantau ke kota. Hanya saja aku merasa khawatir ... " Sukma menunduk dan menjeda kalimatnya. Rasa ragu itu tersirat jelas dari ucapannya. "Apa yang kamu cemaskan, Sayang?" Danu menatap lekat wajah istrinya yang tiba-tiba berubah murung. "Bagaimana kalau di kota nanti, ingatan Abang sembuh? Apa Bang Danu akan meninggalkan aku dan tidak pernah kembali lagi?" Mata Sukma tampak berkaca-kaca. Kekhawatiran itulah rupanya yang terasa menyesakkan d**a, sehingga dia tidak rela suaminya pergi meninggalkan dia seorang diri di desa itu. "Aku sudah pernah berjanji akan selalu bersamamu walau apapun yang akan terjadi, Sayang. Karena itu, aku harap kamu tidak pernah menyimpan keraguan akan diriku. Apapun yang terjadi, aku pasti akan kembali bersamamu." Danu mengusap serta mengecup pucuk kepala Sukma, berusaha mengusir segala keraguan. "Iya, Bang." Sukma mengangguk. "Yang penting di kota nanti Abang selalu ingat ada aku yang senantiasa menunggumu di desa ini," ucapnya pasrah. Walaupun keputusan Danu terasa begitu berat baginya, tetapi di dalam lubuk hati, dia hanya percaya akan kekuatan cinta mereka. Apabila Danu memang benar-benar mencintai dirinya, maka cinta itu pasti akan membawanya selalu ingin kembali. "Aku sangat mencintaimu, Sukma. Aku juga tidak pernah sanggup tinggal jauh, berlama-lama dari sisimu." Danu kembali memeluk erat tubuh Sukma dan membenamkan kepala sang istri tercinta di dadanya. Untuk sesaat, tak ada lagi suara terdengar di antara mereka. Keduanya hanya diam dan membiarkan hati mereka saling bicara. Meski sadar perpisahan sementara itu akan terasa sangat berat, tetapi mereka yakin ikatan cinta akan selalu mempersatukan mereka bersama lagi, baik dalam suka maupun duka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN