Eps. 04. Mukzijat Tuhan

1206 Kata
Kabut tebal masih tampak menyelimuti sebuah desa di kaki perbukitan hijau. Udara dingin pun berhembus terasa menyusup hingga ke tulang. Butir-butir embun juga masih terlihat menempel di pucuk dedaunan, menyiratkan sejuknya pagi masih sangat mendominasi suasana di desa tersebut. Pintu pagar dan jendela rumah para warga di desa itu pun terlihat masih tertutup rapat dan warga desa seolah enggan beranjak dari balutan hangat selimut dalam peraduannya. Akan tetapi, hal berbeda justru terlihat dari sebuah rumah kecil yang letaknya agak terpisah, jauh dari rumah-rumah warga lainnya. Seorang gadis muda tampak berjalan tergesa keluar dari rumah sederhana yang dia tempati itu, tanpa mempedulikan hawa dingin yang menusuk. Meski hanya mengenakan sebuah baju hangat, gadis itu melangkahkan kakinya dengan cepat, melewati kebun sayur mayur milik warga yang ada di sekitarnya. "Tadi malam aku mendengar suara musang. Aku takut semua anak ayamku dimangsa binatang buas itu lagi." Raut wajah gadis itu menyiratkan kekhawatiran. Dia takut hewan ternaknya dihabisi kawaan musang. Maklum saja, kampung tempat tinggalnya itu terletak di pinggir sebuah hutan dan sudah pasti banyak hewan-hewan pemangsa sering datang mengganggu ternak warga. Gadis muda itu bernama Sukma Larasati. Semenjak lahir, dia sudah tinggal di desa itu dan bertani sayur adalah mata pencahariannya sehari-hari. Selain menanam aneka sayur pada sepetak tanah peninggalan orang tuanya, Sukma juga beternak unggas, ayam dan itik. "Tidak salah lagi! Musang-musang itu pasti sudah memakan semua ayam-ayamku." Sukma tertunduk lemas. Ketika dia tiba di depan kandang ayam miliknya, pintu kandang tampak terbuka dan ayam-ayam peliharaannya sudah tidak ada lagi disana." "Tapi ... mengapa musang itu tidak meninggalkan jejak? Mengapa sama sekali tidak ada bekas darah atau bulu ayam yang tertinggal di kandang ini?" Sukma mengerutkan dahinya, lalu menelisik ke dalam kandang itu. Namun, dia tetap tidak menemukan jejak apapun yang ditinggalkan musang di sana. "Mungkin saja ayam-ayamku berlari keluar sewaktu musang-musang itu menyerang. Aku akan mencarinya keliling kebun saja." Sukma kembali menutup kandang ayam itu dan bergegas berjalan menyusuri area kebun miliknya, berharap bisa menemukan hewan ternaknya dalam keadaan masih hidup. Pandangan Sukma beredar, menoleh kanan dan kiri seraya memanggil ayam-ayam itu. "Krrrr ... krrrr ... krrr!" Beberapa kali dia memanggil, tetapi ayam-ayam itu tetap tidak terlihat menampakkan wujudnya, hingga kini dia sampai di sisi danau yang tak jauh dari lahan miliknya. Tiba-tiba saja, Sukma tersentak kaget. Samar-samar netranya menangkap seonggok benda mencurigakan seolah mengapung di tepi danau. "Apa itu? Kenapa aku seperti melihat ada sesuatu yang mencurigakan di tepi danau itu?" Gegas Sukma melebarkan langkahnya dan mendekat ke tepi danau. "Astaga! Rupanya ada orang mengapung disini!" Mata Sukma terbelalak lebar, seakan masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sesosok tubuh seorang pria dalam posisi tertelungkup tampak tersangkut di antara rimbunnya rerumputan di tepi danau, sedangkan separuh kakinya terendam di dalam air danau. "Jangan-jangan orang itu sudah tewas." Seketika tangan dan kaki Sukma gemetar, keringat dingin membasahi tubuhnya. Dia sangat takut apabila yang dilihatnya saat itu, ternyata adalah sesosok mayat. Sukma kembali mengedarkan pandangan ke semua area di tempat itu. "Tolong! Siapa pun di sini, tolong! Ada orang terdampar!" Sukma berteriak, berharap ada orang lain yang bisa mendengar dan membantunya di area itu. "Ini masih terlalu pagi dan cuaca juga sangat dingin. Orang-orang pasti belum ada yang berangkat ke kebun." Sukma menggelengkan kepalanya, dia tahu tak seorang pun ada di area kebun saat itu. "Tapi kalau ternyata orang itu masih hidup, bagaimana pun juga aku harus menolongnya." Sukma berusaha melawan semua rasa takut. Rasa kemanusiaan mendorongnya untuk berani mendekati sosok di tepi danau itu. Tepat di depan tubuh seseorang itu, Sukma kembali terdiam dan berpikir. "Orang ini terluka parah dan pakaian yang dia pakai juga hangus terbakar. Mungkin dia korban kecelakaan." Sukma mencoba menerka-nerka dan jantungnya semakin berdebar kian hebat tak mampu menyembunyikan rasa takut. Sembari mengumpulkan sisa keberanian, Sukma sekuat tenaga menarik tubuh pria itu, lalu membawanya ke tempat yang lebih lapang dan dia baringkan di atas rerumputan. "Orang ini masih hidup, dia hanya pingsan. Tubuhnya masih hangat dan nadinya juga masih berdenyut." Sukma memeriksa urat nadi di tangan pria itu. Setelah memeriksa kondisi pria itu lebih seksama, Sukma bisa sedikit bernafas lega. Dia tahu kalau pria itu masih hidup, walau sekujur tubuhnya dipenuhi luka yang terlihat cukup parah. "Siapa laki-laki ini? Aku tidak bisa mengenalinya. Wajahnya penuh luka bakar," gumam Sukma sambil terus memandangi wajah pria itu. Dia juga sama sekali tidak merasa pernah mengenal pria itu sebelumnya. Sukma kemudian menelisik semua area di sekitarnya seraya menggerutu, "Tidak ada identitas atau barang apapun yang bisa aku temukan terkait pria ini." Sukma hanya bisa membuang napas kasar, karena tidak ada petunjuk apapun yang dia temukan tentang identitas pria yang sedang tak sadarkan diri di hadapannya tersebut. "Siapapun orang ini, aku harus menolongnya!" Tidak ingin menyimpan kecurigaan apapun, Sukma bergegas mengangkat tubuh pria itu. Sekuat tenaga, dia menggendong tubuh pria itu di punggungnya dan hendak membawanya pulang. Rumah tempat tinggal Sukma, memanglah tidak terlalu jauh dari kebun serta danau itu. "Huh, tubuh pria ini berat sekali!" Sesampainya di rumah, Sukma menyeka peluh yang menetes dari keningnya sembari membaringkan tubuh pria itu di atas kursi panjang di ruang tamu. Nafas Sukma tersengal. Menggendong seorang pria bertubuh tinggi dan kekar seperti itu, apalagi dalam keadaan pingsan, tentu menguras habis tenaganya. Udara dingin pagi itu pun seakan sama sekali tak terasa, kalah oleh semua rasa lelahnya. "Aku harus segera mengobati luka-lukanya." Dengan sangat cekatan, Sukma melepaskan pakaian pria itu, yang hampir seluruhnya hangus terbakar. Kulit pria itu pun tampak melepuh dan dia menderita luka bakar hampir 9o% di sekujur tubuhnya, terutama di bagian wajahnya yang paling parah. "Siapa sebenarnya laki-laki ini? Mengapa dia bisa ada di tepi danau dalam keadaan luka parah seperti ini? Apa mungkin dia terjatuh dari tebing di atas bukit? Atau ... dia korban kecelakaan?" Sambil mengoleskan obat luka bakar dan membalut beberapa luka sobek di tubuh pria itu dengan perban, Sukma terus memandangi wajahnya dan berbagai tanya muncul dalam hatinya. Sejauh itu, dia tetap tidak bisa mengenali siapa pria yang baru saja ia tolong itu. "Mudah-mudahan dia segera sadar, agar aku bisa menghubungi keluarga orang ini." Tak terlalu ambil pusing tentang identitas pria itu, Sukma tetap tulus iklas merawatnya. Di desa itu, semua warga memang mengenal Sukma adalah seorang gadis yang berbudi. Dia sangat ringan tangan dan suka menolong siapapun yang membutuhkan, kendati hidupnya sendiri pun sangatlah sederhana. Di rumahnya itu dia juga tinggal hanya seorang diri. Kedua orang tuanya sudah tiada dan dia hidup sebatang kara di sana. Sesungguhnya pria yang ditemukan dan ditolong oleh Sukma itu, tak lain adalah Aryan. Pada malam di saat kejadian itu, Dion beserta orang-orang suruhannya lah yang dengan sengaja membakar dan mendorong mobil milik Aryan agar jatuh ke dalam jurang. Namun, semuanya sudah direkayasa sedemikian rupa, sehingga hal itu benar-benar seperti sebuah kecelakaan tunggal. Sementara tubuh Aryan yang saat itu sedang tak sadarkan diri, ada di dalam mobil tersebut. Tak seorang pun ada yang tahu. Bersamaan dengan mobilnya yang terperosok ke dalam jurang sekaligus meledak di waktu yang sama, tubuh Aryan justru terpental jauh keluar dari mobil itu, kemudian jatuh ke dasar jurang. Suatu kebetulan juga, dasar jurang yang biasanya kering di musim kemarau, malam itu dialiri air cukup deras, karena saat itu merupakan musim penghujan. Tubuh Aryan pun hanyut terbawa arus hingga ke tepi danau. Sungguh merupakan sebuah mukjizat Tuhan, Aryan bisa selamat dan tidak sampai kehilangan nyawanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN