7

1502 Kata
Dua bulan sudah hubungan pernikahan Siska dan Ian terjalin. Namun tak ada kemajuan. Ian masih bersikap seperti kakak yang menjaga adiknya, bedanya Ian suka mencium Siska tepat dibagian bibir gadis itu. Begitupun Siska, gadis itu masih bersikap manja dengan Ian layaknya adik yang bermanja dengan sang kakak. Bukan tak ada alasan Siska melakukan itu. Ia bersikap sesuai dengan yang Ian lakukan padanya. Hari ini Siska dan Ian bermaksud menghadiri pesta ulang tahun pernikahan mertuanya yang tak lain orang tua Ian sendiri. Mereka merayakan pesta pernikahan yang ke tiga puluh delapan tahun. Seperti temanya 'Garden Memory', Sang wanita harus mengenakan pakaian gaun putih dan pria harus memakai tuxedo. Dan saat ini Siska tengah sibuk dirias di salon langganan Mama nya Ian. Gadis itu tampak sangat cantik. Dengan gaun putih kembang selutut tanpa lengan, dan rambut yang di sanggul habis namun menyisipkan dua untaian poni di kanan dan kiri telinganya. Pada atas rambut Siska di sisipkan satu mahkota kecil seperti jepitan bermainkan permata. Ian sudah menunggu di luar. Pria itu juga tampak gagah dengan pakaiannya. Cukup lama Ian menunggu di luar sampai akhirnya Siska keluar dari kamar rias. Ian terpana melihat kecantikan istrinya itu. Siska terlihat seperti putri di negeri dongeng dalam cerita anak-anak. Siska merona saat Ian menatapnya seperti itu. Ian mendekati gadis itu dan merengkuh pinggang Siska erat lalu mendekatkan wajahnya pada telinga istrinya tersebut. "Kau begitu cantik sayang." bisik Ian. Jantung Siska bertalu berpacu cepat. Seperti orang yang baru saja habis lari maraton. Gadis itu tertunduk malu. Membuat Ian tersenyum geli. "Siap untuk pergi?" tanya Ian sambil tersenyum. Siska mengangguk lalu tanpa pikir panjang lagi Ian beranjak dari salon dan membawa Siska menuju mobilnya. Di dalam mobil Siska sangat kentara gugupnya. Bahkan ekspresi gugup itu bisa begitu jelas dibaca oleh Ian sang suami. "Kenapa?" tanya Ian lembut sambil menggenggam erat jemari Siska. "Aku gugup Mas." jawab Siska pelan. "Gugup kenapa?" "Ini pertama kalinya aku ikut kumpul bareng keluarga besar Mas Ian." jawabnya. "Hahaha. Nggak apa-apa sayang. Kamu nggak bakal di apa-apa in. Keluarga aku baik semua kok." Walaupun Ian mengatakan kalimat dukungannya, namun Siska tetap saja tak bisa tenang. Ini memang pertama kalinya ia berkumpul dengan keluarga besar Ian. Siska tak tahu bagaimana nanti cara untuk menghadapi mereka semua. Setengah jam perjalanan, akhirnya Ian sampai dirumah orang tuanya. Rumah besar itu sudah dihias seapik mungkin. Sesuai temanya yaitu taman. Banyak bunga-bunga indah yang menghiasi gerbang masuk sampai dalam rumah. Entah berapa dana yang dikeluarkan mereka untuk membuat pesta semegah ini. Siska masuk ke dalam dengan menggandeng tangan Ian. Di dalam sudah banyak dipenuhi keluarga besar dan kolega bisnis keluarga Ian. Namun minus keluarga Siska. Kedua orang tua Siska tak bisa datang karena sedang berada diluar negeri. Sedangkan Erik sedang mengikuti pelatihan di Jerman. Jadilah satupun keluarga Siska tak ada yang datang di acara tersebut. Saat masuk, Siska disambut tatapan orang-orang dengan berbagai ekspresi membuat Siska mengeratkan peganggannya di tangan Ian. "Udah nggak apa-apa Sayang." bisik Ian. Ian membawa Siska menemui orangtuanya. Menyalami mereka lalu mengucapkan selamat. Ian lalu mengajak Siska menemui sahabatnya bisnisnya sekaligus sahabatnya saat ia kuliah di luar negeri yang sudah datang lebih dulu darinya. "Wooi Bro. Tokoh utama kedua di pesta ini." sapa seorang pria yang berdiri di samping seorang wanita yang tengah menggendong anak laki-laki kisaran umur lima tahun. "Bisa aja Lho." celetuk Ian. "Oya sayang, kenalin mereka sahabat Mas saat kuliah dulu. Yang ini Dave dan ini Damian." "Siska." "Dave" "Damian" "Ini Nia istrinya Dave dan Aksa anaknya. Kalau ini Kiara istri Damian dan Zahra anak mereka." lanjut Ian. Siska lalu menyalami mereka semua. "Kapan nyusul nih? Baguskan kalau ngumpul bareng-bareng." seru Damian. Ian hanya tertawa mendengar ucapan Damian. Sedangkan Siska tak tahu harus berekspresi seperti apa. "Iya nih. Buruan. Jangan lama-lama. Keren kan kalau bikin acara kumpul dan anak-anak kita udah pada punya. Seru juga tuh. Rame.." "Doain aja bro. Semoga." celetuk Ian membuat Siska melirik kearahnya. Apa Ian serius? Batin Siska. Ian masih berbicara bercanda dengan Damian dan Dave. Sedangkan Siska hanya diam tanpa tahu harus lakukan apa. "Lihat tuh. Kalau sama Vanessa dulu, nggak kayak gitu. Vanessa pasti bisa ikutan masuk bareng sahabat-sahabat Ian." "Udah aku bilang kan mbak kalau istri Ian sekarang itu nggak cocok dengan Ian." "Iya nih Mbak, kok disetujui sih Ian nikah sama dia." "Lihat tuh, Ian doang yang ngomong sama sabahat-sahabatnya. Istri Dave sama Damian aja bisa nyambung sama Ian." Kalimat-kalimat itu didengar oleh Siska secara jelas. Siska yakin Ian juga mendengarnya. Karena pembicaraan teman-teman Ian segera terhenti saat beberapa kerabat Ian membandingkan Mendiang istri Ian dengan dirinya. "Bro--" panggil Dave. Ian yang terpanggil langsung melirik Dave. "Mungkin ini bukan hak gue ikut campur. Tapi Gue cuma mau bilang bedakan Vanessa dengan Istri Lo ini. Mereka beda dan tak bisa disamakan. Vanessa udah nggak ada, sekarang Siska yang gantikan posisi yang pernah dipegang Vanessa dulu. Dan perlakukan Siska sebagaimananya Lo perlakuin seorang wanita sebagai istri." bisik Dave. Ian terdiam mendengar ucapan Dave padanya. "Maaf. Saya ke toilet sebentar." ucap Siska. Gadis itu langsung pergi ke arah dapur. Di sana memang ada toilet namun untuk pembantu. Tak apa bagi Siska. Ia bukan ingin pipis atau buang air besar. Namun entah untuk apa, yang jelas sampai di sana Siska langsung menangis. Baginya toilet pembantu sedikit membuatnya aman untuk menangis karena tak ada orang lain yang akan masuk ke sini kecuali pembantu rumah ini. "Aku tahu hikkss--aku bukan Vanessa.hiksss--." ucapnya sambil terisak. Siska menghapus air matanya kasar. Tak peduli jika make up nya akan luntur. sepuluh menit sudah Siska berkurung diri dalam kamar mandi itu. Bahkan make up nya sudah sangat berantakan. Siska melihat dirinya pada pantulan cermin. Lipstiknya yang berantakan, riasan matanya yang juga tampak kacau. Siska meraih tisu di dalam tasnya. Membersihkan semua riasannya dengan air dan menghapusnya dengan tisu sebanyak mungkin. Ia ingin pulang. Tak mau lagi berlama di rumah ini. Ia tahu apa kelanjutan ceritanya jika Ia masih tetap bertahan di sini. Setelah menenangkan diri. Siska segera keluar namun dikejutkan dengan keberadaan Ian yang bersandar pada dinding kamar mandi. Ian melirik ke samping dan menatap Siska lekat. Gadis itu menundukkan wajahnya. Tak mau terlihat menyedihkan di mata Ian. Ian tak bicara apa-apa. Ia hanya meraih dagu Siska dan mengangkatnya ke atas hingga membuat Siska menengadah melihatnya. "Jangan dengarkan mereka." ucap Ian lembut. "Mereka tak tahu apa-apa tentang kita." cukup lama Siska diam. Gadis itu lalu menggeleng. "Mereka benar. Aku tak seperti Vanessa. Mungkin berbeda seratus delapan puluh derajat Mas." "Hey. Nggak sayang. Tak ada yang harus dibandingkan di sini. Kalian mempunyai pribadi masing-masing dan punya tempat sendiri-sendiri di hatiku. Jangan pikirkan itu Siska." 'Iya. Aku hanya menempati posisi adik dalam hatimu Mas. Sedangkan Vanessa, menempati posisi sebagai wanita yang kamu cintai.' Batin Siska menangis. "Kita balik lagi ke acara yuk.!" ajak Ian. Namun Siska menggeleng. "Sayang?" "Aku mau pulang Mas." "Sayang, aku udah bilang jangan anggap ini serius. Mereka memang seperti itu." "Aku ikutin ucapan Mas. Aku hanya lelah." Siska menatap Ian lekat. "Kita pulang ya.!" "Siska.." "Kalau Mas masih mau di sini nggak apa-apa. Aku bisa pulang dengan taksi." Siska sudah ingin beranjak pergi namun pergelangan tangannya segera ditahan Ian. "Aku nggak suka dibantah Siska. Ini pesta orangtuaku. Mau tidak mau, kamu harus ikuti pesta ini sampai selesai." ucap Ian dingin. Siska terdiam. Kakinya tak sanggup melangkah lagi. Tatapan Ian begitu tajam padanya. "Baiklah." hanya itu yang Siska ucapkan. Setelah itu ia kembali masuk dalam acara. Mencoba menebalkan telinganya dari bisikan kerabat Ian maupun kolega bisnis suaminya itu. Semuanya membicarakan hal yang sama yaitu membandingkan dirinya dan Vanessa. Pesta berjalan cukup meriah. Namun tidak untuk Siska. Terlepas dari Ian, Siska memilih berjalan mengelilingi rumah itu. Menaiki tangga dan berniat untuk istirahat dikamar Ian di rumah ini. Siska tak tahu mana kamar Ian, tapi jika dilihat dari posisi kamar yang ada. Dilantai atas hanya ada tiga ruangan. Kamar orang tua Ian, ruang kerja dan satu kamar lagi yang sudah pasti milik Ian. Siska berjalan menuju kamar yang pintunya bercat putih itu. Membukanya perlahan. Kamar nampak gelap. Namun sebisa mungkin secara perlahan Siska meraih saklar lampu. Saat lampu itu menyala. Hatinya kembali dibuat remuk. Di dalam kamar yang cukup luas itu, terpampang puluhan foto Ian dan mendiang istrinya. Mulai dari foto pernikahan, foto bulan madu, mereka di ranjang bahkan foto Ian yang menciumi perut Vanessa. "Mau apa kamu di kamar ini?" suara seseorang mengejutkan gadis itu. "Mama?" "Keluar!" "Ma--" "Saya bilang keluar.!" Siska tercenung. Mertuanya yang ia kenal ramah membentaknya. Siska berlari keluar. Bahkan menuruni tangga ia juga berlari, tak peduli sepatu ber hak tingginya akan membuatnya terjatuh. Siska menatap Ian. Suaminya itu masih sibuk berbicara dengan Dave dan yang lainnya. Ian belum menyadari kederadaan Siska yang tak ada di sampingnya. Siska ingin pulang, namun jika ia meminta pada Ian, pasti tak akan diberi izin. Siska teringat seseorang, ia segera meraih ponselnya, menekan beberapa nomor lalu meletakkan ponsel itu di telinganya. Siska resah saat panggilan pertamanya tak di angkat oleh seseorang di seberang sana. Siska mencobanya sekali lagi namun tetap saja nihil. Percobaan ketiga, akhirnya Siska berhasil. Panggilannya akhirnya di jawab. "Hal--" "Hallo Denis. Plis jemput aku."   *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN