6

2189 Kata
Siska POV   Malam ini entah kenapa suasana hati Siska begitu tak nyaman. Ia tak bisa tidur setelah nama Vanessa disebut Ian dalam ciuman mereka tadi. Siska melirik ke samping tempat Ian yang terlelap. Pria itu sangat nyaman dalam tidurnya. Siska terdiam memikirkan semuanya. Semua yang serba mendadak. Ia yang tiba-tiba dijodohkan, menikah dengan orang asing yang berstatus duda, kakaknya yang meminta Ian untuk menikahinya, dan Ian yang menerima permintaan kakaknya Erik, dan sekarang ia harus menerima kenyataan kalau dalam hati Ian masih ada mendiang istrinya.  Lalu kenapa Ian mau menerima permintaan kakaknya? Kenapa Ian mau menerimanya kalau dalam hatinya masih terpatri seratus persen cinta untuk Almarhumah Vanessa. Jika semua ini karena ia yang suka keluyuran malam, Ia bisa merubahnya. Tapi kenapa harus "pernikahan" yang dijadikan alasan untuk mengubah sikapnya. Dalam hati Siska, sebagai perempuan ia tak pernah mau menikah dua kali. Ia mau menikah hanya satu kali seumur hidupnya dan jika memang harus berpisah nantinya, pisahnya harus karena maut. Bukan karena ego masing-masing. Tapi ia bisa apa sekarang. Menikah tanpa cinta? Bukan harapannya. Ia ingin menikahi laki-laki yang ia cintai. Banyak impian masa depan romantis yang ia bayangkan. Tapi semua terasa pudar. Mencintai Ian? Ia bisa. Sangat bisa mencintai Ian. Namun apa jadinya jika dia saja yang mencintai. Bagaimana caranya membuat Ian menempatkan Dirinya di hati Ian. Sedangkan sekarang hati suaminya itu dipenuhi  oleh mantan istrinya.   Pasrah?   Ia tak mau. Ia mau Ian memperhatikannya. Sekarang memang mereka bersatu tanpa cinta. Tapi Siska ingin mulai detik ini Ian melihatnya, melihat kalau sekarang istrinya itu dirinya, bukan Vanessa yang sudah dikubur. Siska masih termenung di atas ranjangnya sambil menyandarkan diri di sandaran tempat tidur. Siska menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, melangkahkan kakinya turun dan berjalan keluar kamar. Ia ingin menghirup angin malam. Walaupun jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Siska tetap berjalan menuju taman belakang rumahnya. Angin malam menusuk kulit Siska saat gadis itu sudah berdiri ditepian kolam berenang rumahnya. Sambil menatap pantulan sinar bulan dari air kolam berenang, Siska terus merenungi tentang nasibnya dimasa depan. Apa ia bisa bahagia? Apa ia bisa menjadi istri bagi Ian yang benar-benar istri? Apa ia bisa mendapatkan cinta dari Ian seperti Ian memberikan cintanya pada Vanessa. Sekarang Siska hanya bisa berjalan maju. Berbakti pada suaminya walaupun tersakiti. Sekarang dia seorang istri. Ketika dia tak mendapatkan cinta dari Ian, dia akan bersabar. Kini ia hanya ingin belajar menjadi istri yang baik. Ada atau tidak adanya dia dalam hati Ian, ia akan terus belajar agar Ian mau melihatnya, menganggap dirinya sebagai istri yang baik dan menempatkan dia sebagai pasangan hidup selamanya. Siska mulai melangkah menuju pendopo kecil di tepian sudut taman rumahnya. Sembari melangkah pelan Siska merapatkan jaketnya karena angin malam yang menusuk sampai ke tulang. Siska menaiki rumah kecil itu dan masuk ke dalam. Diseluruh bagian rumah Ian, Siska sangat suka duduk bahkan sampai tidur di pendopo kecil  itu. Siska membaringkan tubuhnya di atas karpet beludru hangat yang ada di dalam pondokan tersebut. Berbantalkan lengannya, Siska memejamkan mata namun saat mata itu terpejam ada satu tetes air mata yang menampakkan diri, memberitahukan dunia kalau saat ini hatinya menangis walaupun ia mencoba untuk menerima takdir. Sesekali terisak, Siska pun akhirnya tertidur. Tak peduli jika nanti ia akan sakit karena angin malam, tubuhnya akan kesakitan karena dinginnya udara. Tapi disinilah dia nyaman sekarang. Siska memang suka menyendiri, bahkan keluarganya tak tahu itu. Nakalnya bukan karena usia mudanya, tapi karena memang ia tak nyaman dengan lingkungannya. Mencari kenyamanan sendiri dengan cara ini. Dan sampai kapanpun ia tak akan bicarakan pada orang-orang sikap penyendirinya pada siapapun. Cukup dia dan Tuhannya yang tahu.     Ian menggeliat dari tidurnya. Perasaannya begitu nyaman. Apa karena dia memimpikan mendiang istrinya semalam.   Ya.                                 Dia memimpikan Vanessa semalam. Vanessa datang padanya dan menyatakan kata cinta. Ian tersenyum malu saat mengingat mimpinya semalam. Ia dan Vanessa berciuman. Ia menyentuh bibirnya. Ciuman itu serasa nyata. Ia seperti sungguh mencium Vanessa. Ian melirik ke sebelahnya, namun dirinya keheranan karena tak menemukan Siska disampingnya. Tak mungkin Siska pergi. Ini masih jam lima pagi. Ian melangkah turun dan berjalan menuju kamar mandi. Namun tak ada siapa-siapa di sana dan tak ada juga tanda-tanda kamar mandi baru saja di pakai. Lantainya sangat kering. Ian kembali menutup pintu kamar mandi dan memutuskan keluar kamar. Mencari Siska di dapur dan ruang tamu namun tetap nihil. Ian melirik pada lampu taman yang ada di kolam berenang menyala. Tak mungkin Siska berenang jam segini. Lalu kenapa lampu taman itu menyala? Ian melangkah menuju taman, melirik ke sana kemari tapi tak menemukan Siska. Pandangan matanya tertuju pada sendal istrinya yang ada di tangga kecil pendopo. Penasaran, Ian melangkah mendekati tempat itu dan betapa terkejutnya Ian  saat mendapati Siska tertidur meringkuk di atas karpet bulu. Istrinya itu meringkuk seperti bayi dalam kandungan. Memeluk lututnya sendiri. "Kenapa Siska tidur di sini?" tanya Ian pelan. Ian mendekati istrinya itu. Menatap Siska yang tertidur pulas. Sesekali gadis itu mengigau sambil bergumam tak jelas. Ian merapatkan tubuhnya pada istrinya itu. Tubuh Siska sungguh dingin. Dengan sigap Ian menggendong Siska tanpa membuat gadis itu terjaga. Membawa Siska ke kamar mereka dan menyelimuti Siska dengan selimut tebal. "Kenapa bisa tidur di sana?" tanya Ian lembut sambil mengusap anak rambut depan Siska. 'Sebenarnya kamu kenapa?' Tanya Ian dalam hatinya. Ian kadang merasa aneh dengan sikap Siska. Kadang Siska lembut namun kadang memberontak. Kadang ceria kadang juga seperti memancarkan kesepian dari matanya. Siska menggeliat. Gadis itu membuka perlahan matanya dan terkejut karena ia sudah berada di dalam kamar di bawah selimut tebal yang hangat. "Ma--mas Ian?" tanya Siska kaget. Gadis itu langsung terduduk. Melirik kesana kemari dan kembali melirik Ian. "Mas.?" "Kenapa bisa tidur di pondok itu?" tanya Ian menatap tepat di mata Siska. Siska kebingungan harus menjawab apa. Tak mungkin ia bilang kalau ia keluar kamar karena Ciuman mereka?. "A--aku. Aku nyari udara segar aja Mas. Dan--dan ketiduran di sana." Ian menatap mata Siska lekat. Ian tahu ada kebohongan di mata istrinya. Namun Ian tak mau terlalu cepat menilai. Jika Siska tak mau jujur, itu hak Siska. Ian akan menunggu sampai istrinya itu terbuka padanya. "Ya udah. Bangun yuk, udah pagi." Siska mengangguk. Ian mengacak pelan rambut gadis itu, lalu berjalan menuju kamar mandi. 'Aku penasaran Mas. Penasaran dengan kisah kita nantinya. Aku takut jika nanti perpisahan menjadi akhir.' Siska terus bermonolog dalam hatinya. Ketakutannya sebagai istri karena bersatunya mereka bukan karena cinta. Namun karena alasan kenakalannya. Siska berjalan menuju lemari pakaian dan menyiapkan pakaian yang akan Ian pakai bekerja. Setelah dirasa cukup, Siska mengambil pakaiannya dan membersihkan diri di kamar mandi tamu. Setelah selesai Siska langsung menuju dapur dan mempersiapkan sarapan untuknya dan Ian. Setengah jam berkutat, Siska akhirnya selesai. Dua piring nasi goreng dan segelas s**u hangat untuk Ian dan air mineral untuknya. Siska melirik ke arah kamarnya. Ian belum juga keluar dari kamar. Kalian tahu? Saat sarapan tadi, otak Siska memerintahkannya untuk menjadi adik seperti yang Ian maksud. Ian menganggap Siska adik, dan seorang adik pasti manja. Siska akan bermanja-manja layaknya remaja pada Ian. Ia tak mau bermain dengan luka. Jika dia menempatkan posisinya sebagai pemilik hati Ian, ia takut nanti akan banyak air mata yang keluar dari matanya. Jadi ia memutuskan untuk menjadikan dirinya adik untuk Ian. Adik yang akan selalu ada untuk kakaknya. Adik yang akan selalu bermanja pada kakaknya. Dan Siska sudah putuskan itu. Siska menarik dan menghembuskan nafasnya kuat. Ia akan menemui Ian. Siska berjalan menuju kamarnya, membuka pintu itu pelan dan mendapati Ian sedang mengenakan dasinya. "Mas Ian. STOP!" teriak Siska membuat Ian kaget. "Siska? Kenapa?" "Hehehe. Nggak ada. Aku cuma mau bilang dasinya biar aku yang pasang." jawabnya sambil cengengesan. Ian mengerutkan keningnya "memangnya bisa?" "Eh? Meremehkan?" kesal Siska tak terima. Gini-gini Ia bisa pasang dasi. Ngeremehin ternyata. "Coba kalau bisa." tantang Ian. Siska langsung meraih dasi Ian dan menariknya sedikit kuat sehingga Ian tertarik ke depan mendekati Siska. Siska hanya tersenyum melihat ulahnya sendiri. Siska tampak fokus dengan sesekali keningnya berkerut. Keringat dingin tampak muncul dari keningnya membuat Ian tersenyum geli. "Yakin bisa?" ledek Ian. "Yakin. Mas Ian diem aja deh. Biar aku kerja nya lancar nih." Ian mencibir membuat Siska mendengus kesal. Sekian lama berjibaku dengan dasi Ian, akhirnya Siska pun berhasil. "Selesai. Bisa kan aku?" seru Siska kegirangan. "Iya deh iya. Sekarang kita sarapan. Mas udah kelaparan nungguin kamu kelamaan masang dasinya tadi." ajak Ian sekalian melontarkan ledekan pada Istrinya itu. "Ih Mas Ian. Aku udah capek-capek masangin dasinya masa ngomong gitu." "Hahaha. Iya iya gadis kecil. Jangan marah." Siska tersenyum walaupun ada sedikit sakit tertoreh saat Ian memanggilnya gadis kecil, tapi Ia cukup terima saja sekarang. "Sekarang makan?" tanya Ian. Siska mengangguk."aku udah siapin sarapan enak untuk Mas Ian." "Beneran? Wuiihh, nggak sabar nih. Makin lapar Mas dengernya." "Hehehe. Mas Ian bisa aja." Merekapun turun ke bawah dengan Ian yang selalu merangkul istrinya itu. Ian berseru saat sampai di meja makan. Ia berteriak jika makanan Siska sepertinya sangat lezat. Ian sudah duduk di tempatnya. Namun melihat Siska yang duduk di seberangnya, membuat Ian mengangkat piring beserta gelas berisi susunya dan berjalan mengelilingi meja dan duduk di sebelah Siska. "Mas Ian?" "Kamu jauh banget Sayang duduknya. Mas nggak suka." ucap Ian pelan. "Tapi kan Mas bisa minta Siska yang ke sana." "Udah. Sekarang aku udah di sebelah kamu, jadi jangan banyak protes. Kita makan." Siska lagi-lagi mencibir dan Ian yang melihat itu hanya tersenyum geli pada istrinya itu. Suasana sarapan pagi begitu menyenangkan. Pasalnya Ian selalu mengerjai Siska dan membuat gadis itu kadang kesal kadang tersenyum. Ian selalu penuh dengaym banyolannya. Dan hal itu pula yang membuat Siska nyaman jika berada di dekat Ian. Namun sebagai istri, walaupun tak disatukan oleh cinta, adanya cemburu itu wajar kan?. Walaupun cemburu itu ada, Siska akan berusaha menempatkan dirinya sebagai yang baik bagi Ian. Siska tak akan membuat Ian mencintainya, tapi ia akan membuat Ian bergantung padanya, membuat Ian merasa kalau Siska selalu ia butuhkan dan tak akan bisa jauh dari dirinya. "Mas hati-hati ya." ucap Siska yang mengantar Ian menuju pintu depan. "Kamu yakin nggak mau ikut Mas ke kantor.?" "Nggak Mas. Aku bisa kok di rumah." "Nanti kamu ngajak teman-teman cowok kamu lagi." kesal Ian. "Hahaha. Nggak Mas. Kemaren kan berlima. Ada ceweknya juga kan?" "Iya sih. Tapi ada si Denis itu." Siska mengernyit. "Kenapa memangnya ada Denis Mas?" "Mas nggak suka." "Kenapa?" Siska terus saja bertanya membuat Ian gemas. "Pokoknya jangan berduaan sama si Denis itu." "Mas Ian aku tanya kenapa? Ta--"   Cup   "Udah jangan banyak tanya. Kalau nggak mau dengerin Mas, Mas bawa kamu ke kantor." ancam Ian yang tak digubris oleh gadis itu. Siska masih terkejut menerima serangan kecupan dari Ian.   Cup   Satu kecupan lagi mendarat. Kali ini berhasil membuat Siska tersadar. “Jangan berduaan sama Denis.” Bisik Ian sambil mengusap bibir Siska. Siska mengangguk. Denis sahabatnya, tapi Ian suaminya sekarang. Toh yang diminta suaminya hanya jangan berduaan sama Denis, kalau bareng-bareng boleh kan.? “Ya udah. Mas pamit ya.” “Iya Mas. Hati-hati ya.” “Iya. Kamu baik-baik di rumah.” Siska lagi-lagi mengangguk. Sebelum benar-benar pamit, Ian kembali mengecup Siska. Tapi kali ini tepat di keningnya. Kecupan itu begitu lembut. Sepeninggalan Ian, Siska berdiri di depan rumahnya karena melihat tetangga yang sedang mengajak jalan pagi bayi dalam kereta dorong bayi. “Pagi Khaira sayang.” Sapa Siska pada bayi perempuan yang tampak mungil dan kecil itu. “Pagi juga tante Siska.” Jawab Ibu bayi kecil itu. “Khaira mau kemana Nih? Pagi-pagi udah wangi?” “Mau kemana nak? Bilang tantenya sayang, mau jalan-jalan pagi tante. Tante ikut?” “Hehehe. Emang boleh?” “Boleh doong..” “Hahaha. Khaira lucu ya mbak. Bulet banget.” “Iya Siska. Syukurlah. Nafsu Makannya juga bagus. Kamu kapan nyusulnya? Biar Khaira ada temennya.” Celoteh Mira ibunya Khaira. Siska terdiam mendengar pertanyaan wanita itu. Namun sedetik kemudian ia kembali tersenyum. “Doain aja Mbak. Lagi usaha. Hehehe. Kalau rezekinya akan dapat kok.” “Bagus itu. Harus usaha ya. Kan bagus kalau Khaira ada temennya. Hehehe.” “Iya Mbak semoga.” “Ya udah. Tante Siska nggak jadi ikut nih?” “Hehehe. Nggak mbak. Aku masih banyak kerjaan di dalam.” “Baiklah kalau gitu. Mbak lanjut lagi ya. Da da tante Siska.” Seru Mira sambil menirukan suara anak-anak. “Da da sayang.” Siska menatap kepergian Khaira dan Mira dengan tatapan yang tak biasa. Sebagai seorang perempuan yang sudah bersuami tentu Siska juga ingin memiliki anak. Tapi melihat kehidupan pernikahannya sekarang, ia sedikit menutup diri dari harapan itu. Kemungkinannya hanya nol koma lima persen dari seratus persen Ian akan menidurinya dan menitipkan benih di rahimnya. Ia akan menerima jika itu kenyataan yang harus ia hadapi. Toh pernikahan ini kemauan keluarganya. Ingin dia berubah kan? Bukan ingin ia dicintai oleh Ian, tapi ingin Ian mengubah anak serta adik mereka. Jadi untuk Cinta apalagi soal anak, itu akan mustahil karena bukan untuk itu Ian menikahinya. Siska menghembuskan nafasnya kuat. Siska kembali menutup pagar rumahnya dan berjalan ke dalam. Membereskan semua peralatan makan mereka tadi dan setelah selesai, Siska kembali berjalan menuju kolam berenang. Duduk di kursi tidur sambil berjemur matahari pagi. Sekarang biarkan hidupnya berjalan seperti ini dulu, dan jika nanti akan diberi kesempatan untuk maju, ia ingin Ian hanya untuknya. Hanya itu. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN