8

2155 Kata
"Denis plis jemput aku."   Siska ternyata menghubungi Denis sang sahabat. Ia memutuskan untuk pulang terlepas dari nanti Ian akan marah atau tidak. Ia terluka jika berlama-lama di sini. Siska berlari keluar rumah namun aksinya tertangkap oleh Ian. Pria itu langsung mengejar Siska dan meraih pergelangan tangan istrinya itu yang membuat Siska tertarik ke belakang. "Mau kemana?" tanya Ian. "Pulang." "Kamu--" "Terserah Mas mau marah. Terserah Mas mau bentak aku atau setelah ini Mas mukul aku. Terserah. Tapi aku muak berada di sini." "SISKA!" "Aku bukan Vanessa Mas. Bilang sama mereka AKU BUKAN VANESSA." Siska sudah terluka. Bahkan ia tak takut lagi untuk membentak Ian. Diceraikan pun saat ini ia akan siap. Ian meremas pergelangan tangan Siska kuat. Ia tak terima Siska membentak sambil meneriakkan nama Vanessa dan satu lagi, Ian tak suka Siska membandingkan diri dengan Vanessa . Siska merasakan kesakitan di pergelangan tangannya , namun sebisa mungkin ia tahan dan sembunyikan ekspresi kesakitan itu. "Masuk ke dalam.!" perintah Ian dingin dan tajam. "Aku nggak mau Mas." "Masuk Siska.!" "Kamu nggak tahu rasanya jadi aku. Aku seperti orang bodoh Mas. Seperti gadis dungu, gadis t***l yang dengan patuhnya ikut permainan Mas dengan kak Erik." "Kamu salah Sayang, ini--." "Salahnya dimana? JELASKAN SAMA AKU SALAHNYA DIMANA?" seolah tak ada rasa takut, Siska terus membentak Ian. Bahkan orang-orang sudah berkumpul di luar melihat mereka. "Jaga mulut kamu pada suami kamu Siska.!" itu suara mertuanya. Siska melihat tepat di mata Ariani. "Kenapa? mama protes aku ngomong gitu sama anak mama? Mama nyesel Mas Ian nikahin aku? Apa aku harus menjadi Vanessa agar kalian bisa tenang? Apa aku harus menjadi Vanessa agar mama bisa bahagia melepas anak mama ini hidup sama aku?" Ariani terdiam. Namun tak bisa dipungkiri bahwa ia terkejut. Tak terlintas diotaknya Siska akan berpikiran seperti itu. "Siska, jaga mulut kamu." gertak Ian tertahan. "Kenapa Mas? Haaah. Baiklah. Aku akan jadi Vanessa. Menjadi Vanessanya Mas yang patuh serta mudah bergaul. Berpenampilan ayu dan tak petakilan. Menjadi Vanessanya Mama yang baik dan sopan. Itu mau kalian kan? Aku akan berubah, berubah menjadi lebih tenang dan baik. Nggak jadi perempuan liar lagi." Siska menatap Ian. "Setelah aku berubah. Setelah aku menjadi gadis baik-baik. Setelah harapan kakak terkabul, Mas bisa ceraikan aku."   Plaakk!   Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Siska. Ian melirik ke samping. Sumber tamparan itu berasal dari ibunya. "Ma--" panggil Ian tak percaya. Pria itu langsung memegang pipi Istrinya yang tadi ditampar. "Sakit?" tanya Ian lirih pada Siska. "Jangan bermain dengan pernikahan." ucap Ariani tajam. Siska menggigit bibir bawahnya. Seumur hidup baru pertama kalinya ia ditampar seseorang. Hatinya sungguh hancur. Ia tak ingin di perlakukan seperti ini. Siska menatap Ian dengan tatapan penuh luka. Siska sudah tak kuat lagi. Menjadi murahan mungkin akan dia lakukan sekarang. "Sayang? Kamu nggak apa-apa kan?" Tanya Ian kembali dengan raut wajah khawatir. Siska masih menunduk. Ia sungguh terluka. Dipermainkan takdir dan akan dibuang kembali oleh takdir. Ia lelah. Ia tak sanggup lagi. Siska merebahkan tubuhnya pada d**a bidang Ian. "Aku lelah." bisiknya. Terserah Ian akan melakukan apa padanya setelah ini. Sebagai istri ia butuh sandaran suaminya. Ian masih terpaku. Ia masih belum percaya dengan apa yang dia lihat dan dia dengar. "Terserah Mas ingin lakukan apa sekarang. Aku capek." Siska menangis dalam sandarannya pada Ian. Sekuat tenaga Siska menahan isakannya. Ian mengeram kesal. Sebagai suami Ia tak mau melihat istrinya seperti itu. Tatapan mata Ian tertuju pada kerabatnya yang tadi menggunjingkan sang istri. Mendapat tatapan tajam dari Ian seketika membuat mereka tertunduk takut. Ian lalu mengarahkan pandangannya pada Dave dan yang lainnya. Sahabatnya itu mengangguk lalu mengisyaratkan untuk membawa Siska pulang. Ian menatap mamanya dengan tatapan setenang mungkin."Ma, Ian pulang dulu." Hanya itu yang Ian ucapkan. Setelahnya pria itu menggendong tubuh Siska dan membawa istrinya itu menuju mobilnya. Setelah memastikan posisi Siska nyaman, Ian berlari menuju papa nya yang juga ada di kerumunan tamu. Sedangkan Siska segera mengirimkan pesan pada Denis untuk tak jadi menjemputnya. Walaupun Denis selalu bertanya kenapa, namun Siska hanya menegaskan dia pulang dengan Ian. Ian sudah kembali ke dalam mobil. Siska menatap keluar jendela. Tak mau mengarahkan wajahnya pada Ian sedikitpun. Suasana perjalanan pulang terasa sunyi. Ian tahu Siska menangis. Gadis itu terlihat sesekali mengusap matanya. Ian memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Setelah menarik Rem tangan, Ian segera meraih wajah Siska untuk menghadap ke arahnya. Walaupun Siska awalnya selalu menolak, namun akhirnya Ian berhasil juga. Wajah Siska sudah dibasahi air mata. Dengan menggunakan jemarinya, pria itu mengusap menghapus air mata Siska dengan lembut. "Sayang--" panggil Ian. Bahkan sangat lembut. Siska memejamkan matanya meresapi panggilan Ian padanya. "Maafin mama ya. Aku juga kaget mama tiba-tiba nampar kamu." Siska menggeleng. "Nggak apa-apa Mas. Aku maklumi itu. Karena aku tak bisa seperti Vanessa." "Ssstt. Jangan ngomong gitu. Akupun nggak mau kamu jadi Vanessa. Jadilah diri kamu sendiri." "Jika aku jadi diriku sendiri, tak akan ada cinta dari kamu untukku. Tak akan ada tangisan bayi di sekitar kita." Ian terdiam mendengar penuturan Siska. Ia paham, sangat paham apa yang Siska maksud. Namun untuk Cinta, ian masih sedikit meragukan hatinya yang sekarang, karena Vanessa masih terus berlarian di ruang cintanya. Karena memang Vanessa lah yang sudah berhasil menarik semua cintanya. "Siska aku--" "Nggak apa-apa Mas. Aku tahu. Sangat tahu. Aku tak akan paksa kamu untuk menerima aku sebagai istri kamu. Mungkin di hati kamu masih ada dia seutuhnya. Jadi aku tak akan memaksa masuk. Namun jika nanti aku lelah, biarkan aku melangkah mundur." "Sayang--" "Sekarang, biarkan semua berjalan seperti biasanya Mas." 'Kita nggak akan cerai Siska. Aku pastikan itu. Sampai kapanpun, kamu akan bersamaku. Sampai kapanpun.' Ian tak menjawab lagi perkataan Siska. Pria itu memilih menjalankan kembali mobilnya.     Mereka sudah sampai di rumah. Siska berjalan lebih dulu masuk ke dalam. Ian yang melihat itu hanya bisa menarik nafas dalam dan menghembuskannya kuat. Setelah mengaktivkan alarm mobilnya, Ian segera menyusul Siska ke dalam. Siska sedang di kamar mandi saat Ian masuk ke dalam kamarnya. Ian tak tahu harus berbuat apa setelah ini. Kenapa Siska bisa berpikiran seperti itu tadi? Kenapa dengan Vanessa? Kenapa istrinya itu membandingkan diri dengan Vanessa?. Apa ia harus mencoba membuka hati? Apa dia harus berusaha mencintai Siska kembali? Toh belajar mencintai tak akan membuat sengsara. Dia harus belajar menerima Siska sebagai istrinya. Bukan sebagai adik dari sahabatnya, atau sebagai sesuatu dari masa lalunya. Ditengah kegalauan hati yang membuat kepalanya sakit, Ian dikejutkan dengan suara pintu kamar mandi yang terbuka. Memunculkan Siska dengan balutan handuk baju yang membelah pada bagian d**a. Menampakkan sedikit gundukan d**a istrinya itu. Ian berjalan mendekati Siska. Gadis itu menyadarinya walaupun Ia tak melihat ke arah Suaminya tersebut. Ian berjalan semakin mendekati gadis itu. Sampai Ian akhirnya memeluk tubuh mungil sang istri dari belakang. Menghirup aroma jeruk yang dihasilkan dari sabun yang Siska pakai. "Ma--mas?" Siska sudah kelimpungan. Jantungnya berdetak tak karuan. "Aku akan berusaha." bisik Ian tepat di telinga Siska. "He?" "Aku akan berusaha mencintaimu." Deg! Siska shock dan terkejut mendengar pernyataan Ian. Apa ini mimpi? Apa dia sudah tertidur dan sekarang merasakan mimpi yang tampak nyata? "Mas tunggu dulu, ini..." "Ssssttt!" Ian menempelkan jari telunjuknya di depan bibir Siska. Gadis itu cukup terhipnotis dengan sikap Ian padanya. Namun sekarang? Siska kembali semakin dibuat kelimpungan saat Ian mengecup lehernya turun ke bahu dan naik lagi ke leher yang menimbulkan sensasi geli di sekujur tubuhnya. Membuat tubuh Siska seketika merinding. "Ma--mas?" Siska ketakutan. Ian tak menghiraukan panggilan istrinya padanya. Pria itu justru semakin mengecup leher Siska setelah sebelumnya Ian mengecupi daun telinga Siska. Pria itu menghisap leher Siska kuat menyisakan tanda merah di leher gadis itu. "Aagghh.." desah Siska lepas tanpa bisa ia kontrol. Ian terus menciumi Siska. Rahang, pipi dan berakhir pada bibir mungil Siska. Ian melumat bibir merah itu lembut. Tak ada nafsu gila-gilaan di sana. Namun entah apa yang membuatnya menginginkan Siska sekarang. Ya. Tubuhnya menginginkan Siska. Menginginkan Siska untuk menyatu dengannya seutuhnya. Jujur, semenjak bertemu Dave dan Damian tadi di acara pesta, Ia begitu iri melihat kedua sahabatnya itu sudah mempunyai anak yang terlihat sangat lucu. "Ma--aasss.." Siska kesusahan menahan desahanya. Ian memutar tubuh Siska dan kembali menciumi gadis itu. Melumat bibir atas dan bawah Siska secara bergantian. Bahkan lidah Ian sudah menerobos masuk dan bermain dengan lidah istrinya. Berbagi Saliva dan rasa nyaman. Hawa diruangan itu mendadak panas. Bahkan Ian merasakan bagian bawahnya mulai bereaksi. Ian merasakan celananya menyempit. Siska mencoba memukul d**a bidang Ian yang masih terbalut kemeja putih. Gadis itu kehabisan nafas. Siska tak mampu mengimbangi ciuman Ian sekarang. Ian melepaskan ciumannya. Menatap Siska dengan wajah berkabut penuh gairah. Sedangkan gadis itu berusaha mengatur nafasnya. Wajahnya sudah memerah sepenuhnya. Entah karena malu atau karena suhu tubuhnya yang meningkat, ia juga tak tahu. Bibirnya sudah bengkak. Dan bibir itu juga yang sedari tadi menjadi objek tatapan Ian. "Kalau bengkak gini makin seksi ya." goda Ian. Siska semakin dibuat merona malu. "Boleh dikecup lagi?" tanya Ian dengan sedikit candaan. Siska kebingungan. Antara mau mengiyakan atau bagaimana. Lagian kenapa Ian minta izin segala? Biasanya main nyosor aja. "Boleh nggak?" tanya Ian lagi. Pria itu tahu Siska malu untuk menjawab. Ia hanya sengaja menggoda Istrinya tersebut. Mungkin dengan godaan, Siska bisa melupakan sedikit kejadian tadi saat dirumah mamanya. "Ma--mas ke--kenapa nanya?" Siska semakin dibuat gugup. "Harus minta izin dulu. Ini udah bengkak. Aku nggak mau ini semakin bengkak." jawab Ian sembari menyentuh bibir Siska lembut. "Gimana? Di kasih izin?" Siska bingung harus menjawab apa. Ia menatap Ian lekat. Apa ini saatnya ia akan melepaskan harta berharganya? Apa ini saatnya Ian mengambil hak atas tubuhnya?. "Sayang?" "Itu--it--iiiii nggak tahu. Terserah Mas aja." Siska semakin malu. Ia langsung menyembunyikan wajahnya pada d**a bidang Ian. Sedangkan Ian justru sudah tertawa penuh kemenangan. Ian menundukkan dirinya sedikit kebawah, lalu memeluk bawah b****g Siska dan Mengangkat tubuh istrinya itu hingga membuat Siska terpekik. "Mas!" bentak Siska ketakutan. Siska menopangkan tangannya pada pundak Ian. Handuk yang menutupi tubuhnya nya bahkan sudah turun memperlihatkan pundak dan d**a Siska yang nyaris terbuka seluruhnya. Sedangkan Ian menengadah ke atas untuk menatap istrinya yang tadi sempat merajuk. "Maafin sikap kasar mama tadi ya?" pinta Ian. Siska terdiam lalu tak lama setelahnya ia mengangguk tulus. Siska menangkup kedua pipi Ian dengan telapak tangannya. "Iya Mas. Aku maafin." "Makasi sayang. Chuuuu--" Ian memonyongkan bibirnya ke arah Siska. Siska memundurkan kepalanya kebelakang membuat Ian mendelik kesal. Namun Siska justru merasa terhibur dengan sikap Ian. Ia bahkan sudah tertawa melihat wajah gemas suaminya padanya. "Ini selalu aja maju." goda Siska sambil memukul pelan bibir Ian. "Ck! Makanya buruan kiss nya. Biar bisa mundur lagi sayang." "Hahahahaha.. Ada emang yang kayak gitu." "Ada. Ini Mas yang lakuin. Makanya buruan." perintah Ian lagi. Siska menggigit bibir bawahnya. Secara perlahan ia memajukan kepalanya untuk mendekat. Namun ia mundurkan lagi karena rasa gugupnya. "Sayang?" ucap Ian gemas. "Ma-mas aku--kyaaa.!" Siska menjerit karena Ian membawanya ke atas ranjang dan menidurkan Siska dengan Ian yang sudah ada di atas tubuhnya. Ian lagi-lagi memajukan bibirnya. "Chuuuu..!" Ini terbalik. Ian sudah ada di atas Siska, tapi masih meminta gadis itu untuk maju menciumnya. "Ayo sayang Chuuu.!" "Mas aku gugup kamu tibmmmm--" Ian membungkam suara Siska dengan bibirnya. Menunggu gadis itu untuk menciumnya mungkin akan membutuhkan waktu lama. karena itu Ian yang memutuskan untuk maju lebih dulu. Ian semakin melumat bibir Siska penuh minat. Bahkan gadis itu sudah mulai membalasnya. Dalam ciumannya, jemari Siska tak henti-hentinya mengacak rambut Ian hingga tak berbentuk. Sedangkan jemari Ian sudah mulai menjalar ke sana kemari membuat Siska meremang. Gadis itu menahan tangan Ian yang ingin meremas payudaranya membuat Ian seketika melepaskan ciumannya pada bibir istrinya itu. "Sayang?" panggil Ian. "Mas ini--ini serius kan? Mas lakuin ini bukan karena pernyataan aku di mobil tadi kan? Ini--" "Hadirkan tangisan bayi di rumah ini sayang. Aku, ingin punya anak."   DEG!   Seperti gadis yang baru jatuh cinta, perasaan Siska jadi berbunga-bunga mendengar permintaan Ian. Sungguh ini permintaan paling manis yang pernah Ian ucapkan padanya. Namun dibalik rasa bahagianya, ada rasa takut yang juga menghantui. Ini pertama kali bagi dirinya. Menurut n****+ yang sering dia baca, berhubungan badan pertama kali itu sangat sakit. Apa ia juga akan merasakan rasa sakit itu?. "Mas apa akan sakit?" tanya Siska gugup. "Aku akan lakukan secara perlahan." bisik Ian sembari mengelus pipi Siska lembut. "Jadi?" Siska mengangguk. Sebuah anggukan yakin yang membuatnya seketika berubah menjadi seorang wanita. Merasakan sakitnya kehilangan 'mahkota' termahal di dirinya, menikmati wajah puas suaminya selama berada di atasnya dan merasakan hangatnya cairan yang Ian keluarkan yang akan siap memproses diri menjadi janin dalam rahimnya. Sungguh, malam yang panas dan membahagiakan ini tak akan pernah Ia lupakan. Setelah ini, Siska akan berusaha mempertahankan pernikahannya. Mengajarkan Ian untuk mencintainya. Memberikan Ian kenyamanan yang akan membuat cintanya cepat berkembang. "Terima kasih sayang." bisik Ian masih dengan posisi di atas istrinya. Bahkan tubuh mereka masih menyatu. Siska tak sanggup bicara. Ia kelelahan. Siska lebih memilih memejamkan mata sembari memeluk leher Ian penuh kelembutan. Siska meringis saat Ian melepaskan penyatuan mereka. Ian menarik selimut, menyelimuti tubuh telanjang dirinya dan istrinya itu lalu menarik Siska dalam pelukannya. Setelah satu jam permainan panas mereka, Suami istri itupun tertidur mengarungi mimpi indah bersama.   *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN