Bab 8

1264 Kata
Tak terasa waktu berjalan cepat. Serunya film itu membawa penonton tak terasa kalau sudah mendekati ending. Faris tampak antusias, begitu juga Lidya. Beberapa kali mereka saling berbisik, mengomentari jalannya film itu. kebanyakan kometar positif, hanya beberapa kali saja Lidya menanyakan hal yang dia kurang mengerti dari adegan-adegan di film itu, dan Faris dengan sabar menjelaskannya. Faris cukup senang, karena rupanya mereka memiliki selera film yang sama. Akhirnya film itupun selesai. Faris dan Lidya merasa sangat puas, tidak rugi menghabiskan waktu sekitar 2 jam untuk menontonnya. Tapi malam ini mereka tak langsung pulang. Lidya masih mengajak Faris untuk jalan-jalan berkeliling mall. Faris sebenarnya sudah ingin pulang, tapi toh di rumahpun tak ada siapa-siapa. Tak apalah sesekali jalan-jalan, karena selama berada di kota ini belum sekalipun dia jalan-jalan. Tak ada yang mengajak, dan tak ada yang bisa dia ajak. “Ris, gimana kerja di kantor? Kamu nyaman nggak?” tanya Lidya, saat mereka saat ini sudah berada di sebuah kafe. “Weh, kenapa nih tiba-tiba nanya masalah kerjaan? Weekend lho ini Lid, mbok ya ngomongin yang lain.” “Yaelah, emang mau ngomongin apa? Pacar? Kamu aja nggak punya, haha.” “Yaa apa kek, selain kerjaan.” “Nggak mau, aku maunya ngomongin itu.” “Hadeeh, ya udah deh. Hmm, yaa aku seneng bisa kerja disitu, nyaman apalagi dapat partner kayak kalian. Mbak Selvi, kamu, papa kamu. Asyik kok. Apalagi gajinya gede, hehe.” “Yaa bagus deh kalau kamu bisa nyaman. Aku kemarin denger dari papaku, kita semua yang karyawan baru, dapat penilaian yang bagus dari masing-masing mentor, dan kemungkinan, kalau kayak gini terus, presentasi akhir nanti cuma formalitas.” “Oh ya? Eh, tapi kan ini belum setengah jalan Lid, masih jauh. Lagian, yaa kalau kamu, atau yang lain yang ditempatin di pusat, bisalah kayak yang dibilang sama papa kamu. Nah yang kayak aku, yang harus disebar ke kantor cabang? Kan belum tentu?” “Iya sih, tapi kan kalau kita bisa pertahanin ritme kerja tetep kayak gini, yang dibilang papaku bisa aja kejadian kan?” “Iya. Tapi, ah entahlah. Beda tempat, pasti beda orangnya kan, beda kebiasaan dan cara kerja juga. Moga-moga di kantor cabang nanti, orang-orangnya juga asyik, sama kayak di sini.” “Harusnya sih gitu Ris. Kata papa, di kantor cabangpun orang-orangnya nggak beda jauh kok sama yang di pusat. Kan emang dari awal dididik kayak gitu. Udah jadi kayak semacam budaya di perusahaan kita.” “Itukan selama pendidikan training, tapi setelah bener-bener kerja, siapa tahu bisa berubah kan?” “Tapi kata papa, beberapa kali dia kunjungan ke beberapa cabang, masih kayak gitu kok.” “Lid, namanya juga dikunjungi orang dari pusat. Semua itu bisa diseting kan? Hmm, mungkin kamu belum tau soal ini, karena selama ini pengalamanmu, termasuk magangmu, cuma di kantor pusat aja.” “Maksud kamu?” “Dulu waktu aku masih kuliah, aku kan juga pernah beberapa kali magang di sana. Rata-rata tempat yang kubuat magang itu, kantor cabangnya. Nah, pas ada kunjungan dari orang pusat, semuanya sibuk, rapi-rapi, beres-beres, semua harus seperfect mungkin. Dan ketika orang itu bener-bener datang, sikap kita tuh jadi berubah banget, bener-bener penjilat lah kalau aku bilang.” “Oh ya? Sampai segitunya?” “Iya, menurut pengalamanku sih gitu. Tapi tentunya nggak semua. Biasanya yang sampai kayak gitu karena punya tujuan tertentu. Bisa jadi karena nutupin kerjaannya yang berantakan, atau mau ambil hati orang pusat biar bisa dapat keuntungan pribadi, misalnya promosi atau naik gaji.” “Hmm gitu ya. Yaa aku cuma pernah denger aja sih Ris, tapi belum pernah lihat langsung.” “Makanya ini aku kasih tahu. Kamu kan nanti jadi orang pusat, dan mungkin sesekali bakal ada kunjungan ke cabang. Jadi yaa hati-hati aja kalau sikap orang cabang udah terlalu manis dan nggak wajar, berarti mereka ada maunya.” “Haha, iya deh, bisa itu jadi referensiku Ris. Tapi, ngomong-ngomong, seneng ya kamu kalau dipindahin ke Jogja?” “Gimana ya, dibilang seneng sih, emang iya. Aku kan sebelumnya kuliah di sana, yaa udah paham lah sedikit sedikit tentang kehidupan di sana. Dan dengan gaji yang sekarang, aku bisa nabung banyak tiap bulannya.” “Lha tapi kan nanti kalau di sana kamu masih harus bayar kost, belum buat makan sehari-hari, terus, buat kendaraan juga, pengeluaran jadi lebih banyak dong? Di sini kan kamu tinggal dan makan numpang mbak Selvi dan mas Nando. Pulang pergi ngantor, sama mereka juga.” “Iya sih, tapi kan aku udah bilang tadi, aku udah paham kondisi di sana. Masalah cari kost, gampang lah itu, bisa disesuaikan. Kalau makan, aku masih hapal kok tempat-tempat makan yang murah tapi enak. Kalau motor, untungnya sih motorku kemarin nggak jadi dijual, jadi bisa kupakai lagi, paling tinggal biaya pertamaxnya aja.” “Kok motor sih? Pake mobil dong, haha.” “Yaa nggak secepet itu juga kali Lid. Mobil sih aku ada, tapi ya masak mau langsung dibawa? Apa kata orang kantor entar, anak baru udah main bawa mobil aja? Yaa intinya, nyesuain diri lah sama lingkungan, yang jelas masih bisa nabung banyak aja, hehe.” “Iya, nabung yang banyak, kumpulin modal. Biar kalau ketemu jodoh, langsung nikahin. Jangan kayak yang kemarin.” “Hahaha iyalah, yang kemarin itu, khilaf aku.” “Khilaf kok sampai setahun lebih. Itu khilaf apa bego?” “Yaa, dua duanya sih, hahaha.” Obrolan mereka masih terus mengalir. Tak terasa waktu sudah cukup larut. Meskipun kehidupan di kota metropolitan ini belum akan berakhir, tapi Faris maupun Lidya merasa sudah waktunya mereka pulang. Dan kali ini tetap Lidya yang menyetir mobilnya. Faris sih menurut saja, jadi dia bisa bebas melihat-lihat sekitar. Cukup lama mereka menghabiskan waktu di jalan, karena memang kondisinya lumayan macet. Tapi jadi tak terasa karena sepanjang jalan mereka isi dengan obrolan yang asyik. “Mampir dulu Lid?” ucap Faris berbasa-basi, saat mobil sudah sampai depan rumah. “Mbak Selvi sama mas Nando udah pulang belum?” “Belum, besok mereka baru pulang. Kosong nih rumah, hehe.” “Ooh kosong ya? Nggak deh kalau gitu, takut aku Ris.” “Takut apaan?” “Yaa takutlah, ada cowok yang udah setahun jomblo, nggak dapet belaian. Ada cewek secantik aku, bisa-bisa diterkam entar.” “Yaelah, pede amat sih mbak? Lagian siapa bilang setahun ini aku nggak dapet belaian?” “Nah lho, ngapain aja dong kalau gitu? Pasti nakal ya? Sama siapa hayoo?” “Lah, kok jadi kepo? Haha.” “Iyalah. Hayoo sama siapa? Ngaku? Jajan ya pasti?” “Ihh nggak lah, ngapain jajan. Tapi, hmm, cuma ke panti pijat aja kok, ngeluarin yang harus dikeluarin, haha.” “Sama aja dodol, itu mah jajan juga. Tuh kan, Faris nakal deh, makin takut aku, kena penyakit entar, haha.” “Enak aja kena penyakit, nggaklah, kan pake pengaman.” “Tuh kan ngaku. Makanya makin nggak mau aku Ris, takut khilaf.” “Khilaf apa bego?” “Haha, dua duanya lah.” “Haha, ya udah kalau gitu. Makasih ya udah ngajak jalan-jalan.” “Iya, sama-sama, aku makasih juga kamu udah mau nemenin. Jangan kapok ya? Masih ada 3 weekend aku bebas nih.” “Iya, beres. Ya udah aku turun dulu, kamu hati-hati pulangnya, sampai rumah jangan lupa kabarin aku.” “Ceileeh, perhatian amat mas sama pacar orang? Haha.” “Haha, biarin, kan pacar orangnya lagi kesepian, sampai ngajakin aku jalan-jalan berdua, haha.” “Haha sialan, malah ngeledek terus. Udah sana turun, aku mau pulang, kemaleman entar.” “Iya iya, tapi inget lho, kabarin kalau udah di rumah.” “Iya baweeel.” Farispun turun, dan mobil Lidya pun berlalu meninggalkannya. Dia menunggu sampai mobil Lidya menghilang dari pandangannya. Setelah mobil itu tak lagi terlihat, dia masuk ke dalam rumah, mengunci kembali pintunya, dan langsung menuju ke kamar. Dia sudah cukup mengantuk. Tapi belum mau tidur, masih menunggu, siapa tahu Lidya benar-benar mengabarinya. Dan ternyata benar, hampir setengah jam kemudian masuk pesan di whatsappnya. Dari Lidya. Lidya Wijaya said: Aku udah nyampe rumah dengan selamat, tak kurang suatu apapun. Sekarang udah rebahan di ranjang, mau istirahat, kamu juga istirahat ya, jomblo nakal Faris tersenyum, lalu membalasnya.: Iya pacar orang yang lagi kesepian, malam ini bobo sendiri ya, lain kali deh, mungkin aku bakal temenin: Tak berapa lama kemudian, datang balasan dari Lidya. : Bener lho ya? Aku tagih pokoknya Farispun kembali membalasnya. : Lha katanya tadi takut khilaf dan bego? Lidya langsung membalasnya. : Iya sih, tapi aku jadi penasaran, gimana jadinya kalau khilaf dan bego sama kamu, haha. Ya udah, aku bobo dulu yaa.. Faris tak membalasnya, hanya tersenyum. Beberapa detik selanjutnya, diapun terlelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN