Matahari sudah cukup tinggi, dan Faris sedang duduk di ruang tengah rumahnya. Dia dari tadi memegangi perutnya menahan lapar. Di dapur tidak ada makanan, karena Selvi dan Nando memang belum pulang. Di kulkas, adanya bahan-bahan mentah, dan Faris tidak bisa masak. Dia bisa saja pesan delivery, tapi dia sedang ingin makan masakan rumahan saja. Alhasil, dia harus menunggu Selvi dan Nando pulang.
‘Ini semua gara-gara Lidya. Ngapain sih dia bangunin aku pagi-pagi banget? Kan hari ini harusnya bangun agak siangan, nunggu mbak Selvi pulang biar dia masakin. Kalau udah gini, mau makan apa? Mana roti udah abis lagi,’ keluh Faris dalam hatinya.
Dia memang kesal pada Lidya. Tadi pagi gadis itu menelponnya, hanya untuk membangungkannya, bahkan sampai 3 kali. Setelah yang ketiga, Faris sudah benar-benar tidak bisa melanjutkan tidurnya. Sedang melamun, tiba-tiba terdengar handphonenya di kamar berbunyi. Diapun segera ke kamar, berharap Selvi atau Nando yang menelpon. Tapi kembali dia harus kecewa, karena yang menelpon ternyata adalah Lidya.
“Iya hallo Lid, kenapa?”
“Ooh udah bangun beneran. Kirain tidur lagi, hehehe.”
“Haduuuh kamu tuh ya, pake bangunin aku pagi-pagi banget lagi. Dan sekarang aku lapar, mana mbak Selvi belum pulang lagi.”
“Lha emang nggak ada makanan?”
“Nggak ada, di kulkas cuma ada bahan-bahannya, aku kan nggak bisa masak.”
“Yaa udah, pesen aja kalau gitu.”
“Pesen apaan?”
“Ya pesen makanan lah, masak kemoceng?”
“Ah males Lid, pengen makan masakan rumahan aja.”
“Ya terus siapa yang mau masakin? Kan mbak Selvi belum pulang. Bisa-bisa kelaparan kamu entar.”
“Huft. Ya kalau gitu kamu aja lah yang masakin.”
“Lha kok aku?”
“Iyalah, kamu tanggung jawab, kan udah bangunin aku tadi.”
“Ya udah kalau gitu.”
Tuut tuut tuut…
“Loh kok ditutup? Wah jangan-jangan marah lagi dia, haduuuh gimana sih…”
Faris jadi bingung sekarang. Mungkin memang dia yang salah berkata seperti itu, tidak seharusnya dia menyalahkan Lidya. Tapi Faris tak mencoba menghubungi Lidya, kalau memang gadis itu beneran marah, percuma juga minta maaf sekarang, mungkin besok saja kalau sudah tidak marah lagi.
Faris kembali ke ruang tengah, duduk di sana sambil memainkan handphonenya. Dia sudah mau menghubungi Selvi atau Nando, menanyakan kapan pulang, tapi rasanya kurang enak juga. Faris hanya berharap mereka berdua cepat-cepat pulang.
Setelah menunggu beberapa saat, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Faris langsung melompat kegirangan. Dia mengira itu adalah Selvi dan Nando. Dengan semangat 45 dia berlari menuju pagar dan membukakan gerbang. Tapi ternyata yang datang bukanlah Selvi dan Nando, melainkan Lidya. Lidya tidak memasukkan mobilnya, tetap memarkirkannya di pinggir jalan. Takutnya nanti kalau Nando dan Selvi pulang, mobil mereka malah tidak bisa masuk.
“Loh, kamu Lid?”
“Iya, hehe.”
“Mau ngapain?”
“Lha tadi katanya suruh masakin? Gimana sih?”
“Loh, beneran tho? Aku kan cuma bercanda Lid. Tadi aku kira kamu marah, main tutup telpon aja.”
“Yee siapa yang marah. Aku tuh tadi mau makan, terus pas kamu bilang gitu, aku batalin. Aku buru-buru kesini, takutnya kamu keburu laper. Nih aku bawain makanan dari rumah, aku juga nggak bisa masak soalnya, hehe.”
“Waduuh, kok malah repot gini sih?”
“Udah ah, ayo masuk, makan. Aku juga udah laper ini.”
“Eh iya iya, ayo masuk Lid.”
Faris tak mengira ternyata Lidya malah benar-benar datang kesini. Padahal dia sudah mengira kalau Lidya marah kepadanya, tapi ternyata dia tadi menutup telpon dan buru-buru kesini. Faris hanya menggelengkan kepalanya saja. Dia kemudian mempersilahkan Lidya menyiapkan makan untuk mereka. Lidya membawa rantang yang berisi makanan dari rumahnya. Cukup banyak yang dia bawa, cukup untuk mengobati rasa lapar mereka berdua.
Meskipun pada awalnya merasa tak enak dengan Lidya, tapi begitu melihat makanan yang sudah disiapkan, apalagi dengan kondisi perut sangat lapar, Faris langsung saja menyerbunya. Dia makan lahap sekali, seperti sudah berhari-hari tidak makan. Awalnya Lidya kaget, tapi terus tersenyum, dan malah tertawa. Dua kali sudah dia melihat Faris makan kesetanan seperti itu.
“Pelan-pelan aja Ris makannya, ini masih banyak kok.”
Faris tak menjawab, hanya mengangguk saja. Tapi tetap, kecepatan makannya tak berkurang. Lidya masih tersenyum, maklum dengan teman barunya itu. Tak perlu waktu lama, makanan itupun langsung tandas. Lidya tak begitu banyak makan, karena dia memang sengaja membawakan makanan itu untuk Faris. Setelah selesai makan, Faris berinisiatif untuk membereskan semuanya, termasuk rantang Lidya. Tadi Lidya sudah membawakan makan dan menyiapkannya, jadi sekarang giliran dia yang mencuci piring.
Setelah selesai mencuci piring, termasuk rantang milik Lidya, Faris kembali ke ruang tengah, menemani Lidya yang sedang menonton TV. Mereka berdua masih terdiam, membiarkan makanan yang telah mereka makan dicerna oleh perut mereka, terutama Faris, yang tadi makannya banyak sekali.
“Ris, kamu ini kok suka nyiksa diri sih?” tanya Lidya, setelah cukup lama mereka berdua terdiam.
“Nyiksa diri gimana?”
“Yaa kayak tadi itu. Kalau emang udah terlanjur lapar, kenapa nggak pesen dulu aja, apa kek, yang penting perutnya keisi, sambil nunggu mbak Selvi pulang. Coba kalau ternyata mbak Selvi pulangnya sore atau malem, masak ya mau nahan terus?”
“Yaa, bukan gitu sih Lid. Gimana ya, aku tuh kalau misalnya beli makan di luar, ya sekalian keluar aja, nggak mau aku pesen-pesen gitu. Kita kan jadi nggak tahu soal makanan yang kita pesen, kalau nggak lihat langsung.”
“Yaa nggak segitunya juga kali Ris. Yang orderan online ini kan juga udah terjamin, sama aja kayak yang kamu beli di tempatnya. Malah lebih praktis kan, kita cukup nunggu di rumah, mereka datang, kita bayar, kelar urusan.”
“Nggak terbiasa kayak gitu sih Lid, hehe. Kamu sering ya kayak gitu?”
“Nggak juga sih sebenarnya. Kadang-kadang aja, kalau lagi pengen sesuatu dan aku males keluar.”
Faris terdiam, tak mau lagi mendebat, karena memang dia yang salah sampai harus merepotkan Lidya yang harus datang kesini membawakan makanan untuknya.
“Tapi, makasih banget lho Lid, dari semalem udah nraktir aku, eh pagi ini malah repot-repot dibawain makanan, hehe.”
“Udah santai aja, tapi minggu depan gantian ya, kamu traktir aku?”
“Oke, siap boss.”
“Ya udah. Hmm, aku numpang mandi ya Ris?”
“Loh, emang kamu belum mandi?”
“Belum, kan buru-buru kesini tadi, haha.”
“Ealah. Ya udah sana, udah tau kan dimana kamar mandinya?”
“Iya udah tau, tapi pinjem handuk dong.”
“Lha emang kamu nggak bawa?”
“Enggak, aku kan tadi cuma bawa rantang itu aja. Dompet aja aku nggak bawa, untung nggak ada razia, bisa kena tilang aku, haha.”
“Busyet deh ni anak. Terus apa lagi Lid? Pinjem sabun juga? Shampo? Sikat gigi?”
“Ya semualah, udah dibilang aku nggak bawa apa-apa juga.”
“Semua? Berarti, baju sama daleman juga gitu?”
“Emang ada? Kalau ada sih boleh deh, aku kan lagi nggak pake daleman ini,” jawab Lidya dengan polosnya.
“Eh, serius?”
Otomatis mata Faris tertuju pada d**a Lidya. Hari ini Lidya memakai sweater yang agak longgar, jadi dia tak bisa memastikan apakah Lidya benar-benar tidak memakain pakaian dalam.
Plaak…
“Haduuh duhh Lid…”
“Hayoo matanya yaa, baru dibilang kayak gitu udah jelalatan aja. Yaa mana mungkin aku keluar nggak pake daleman? Emangnya aku bego?”
“Iya nggak papa kan Lid, siapa tahu aku jadi khilaf, haha.”
“Haha, rese ih. Udah buruan mana handuknya?”
“Iya iya bentar, aku ambilin dulu.”
“Yang bersih lho, yang wangi. Jangan yang bekas kamu pake.”
“Iya baweeell…”
Faris beranjak menuju kamarnya untuk mengambilkan handuk Lidya. Ada-ada saja gadis itu, kalau memang belum mandi kenapa tidak langsung pulang saja, malah mandi di sini, apalagi dia tidak membawa apa-apa kesininya. Faris mengambilkan handuk yang sudah dicuci, kemudian kembali dan menyerahkannya kepada Lidya.
“Hey, jangan ngintip lho ya!”
“Busyeet, siapa juga yang mau ngintip Lid? Daripada ngintip sih, mending mandi bareng, haha.”
“Haha dasar m***m. Janganlah, entar khilaf sama bego beneran lho.”
“Haha, udah sana mandi, entar gantian.”
Tak menjawab lagi, Lidya sudah langsung menuju kamar mandi. Faris melanjutkan menonton TV. Cukup lama juga dia menunggu giliran untuk mandi. ‘Yah maklumlah, cewek.’
Sebenarnya ada satu kamar mandi lagi di belakang, tapi Faris tak menggunakannya karena sabun dan peralatan mandi lainnya ada di kamar mandi yang sekarang dipakai Lidya. Harusnya memang tadi dia mengambilnya dulu, jadi tak perlu menunggu Lidya selesai mandi.
“Eh…”
Tiba-tiba Faris tersentak mengingat sesuatu.
‘Wuaduh, sempakku kan masih nggantung di kamar mandi itu? Duh gimana kalau Lidya lihat ya? Eh tapi pasti lihat sih, kan dia juga pasti ngegantungin pakaiannya disitu. Waduuh, kenapa tadi nggak aku cek dulu kamar mandinya???’