“Ris, weekend besok mau kemana?”
“Hmm, nggak ada acara Lid, nggak kemana-mana, paling di rumah aja. Kenapa emang?”
“Nonton yuk?”
“Nonton? Wah boleh tuh, udah lama nih nggak nonton. Ayok dah, sama siapa aja?”
“Yaa, berdua aja, gimana?”
“Loh, berdua? Lha cowokmu?”
“Cowokku lagi ke luar negeri, dari kemarin berangkatnya, mana sebulan lagi di sana, kan bete, huft…”
“Hahaha kasian amat, baru jadian udah ditinggal. Kering dong Lid? Haha.”
“Hiih, kering apaan, nggak usah sembarangan deh. Jadi gimana? Mau nggak?”
“Duh gimana ya? Masa cuma berdua? Ajakin siapa gitu? Nggak enak aku kalau cuma berdua doang Lid.”
“Yaa sama siapa? Hmm, coba ajak mbak Selvi sama suaminya aja, gimana?”
“Ya udah deh, entar aku bilang sama mereka.”
“Oke deh. Tapi kamu harus mau lho, ada atau nggak ada mereka!”
“Iya iya bawel…”
Itu percakapan Faris dan Lidya 2 hari yang lalu. Saat itu Faris mengiyakan karena merasa yakin Nando dan Selvi mau diajak ikut nonton. Tapi ternyata, hari ini mereka berdua harus pergi ke luar kota, menghadiri pernikahan salah satu kerabat Selvi. Faris yang sudah berjanji kepada Lidya, mau tak mau harus berangkat juga. Dia sudah ingin membatalkan, tapi Lidya memaksa, bahkan sampai membawa nama papanya juga. Farispun mengalah, meskipun masih ada rasa tidak enak jika harus pergi berdua dengan Lidya.
‘Ya udahlah, nggak ada salahnya juga. Kan cuma nonton, itung-itung cari hiburan, bosan juga jaga rumah sendirian. Lagian, cowoknya Lidya juga nggak di sini, jadi amanlah,’ pikir Faris.
Tiiin tiiin…
Suara klakson mobil Lidya terdengar oleh Faris. Dia yang sedang menunggu di teras rumah pun segera beranjak mendekatinya, setelah memastikan semua pintu dalam kondisi terkunci.
“Hai Ris, sorry yaa nunggu lama ya? Hehe.”
“Iya nih, kamu ngapain aja sih lama banget? Aku udah mau masuk lagi tadi,” keluh Faris.
“Yaelah namanya cewek ya dandan dulu lah, kayak nggak pernah punya cewek aja kamu tuh.”
“Lha ngapain pake dandan segala? Orang perginya juga cuma sama aku, cuma nonton juga.”
“Heh, namanya cewek ya kemana-mana harus tampil cantik dong, kapanpun, dimanapun, dengan siapapun, biar jadi pusat perhatian, hehe.”
“Iya iya, terserah kamulah, ya udah yuk berangkat.”
Farispun masuk ke mobil. Lidya tetap yang menyetir. Bukan karena Faris tidak bisa, tapi Lidya sendiri yang meminta, lagipula Faris masih jengkel karena terlalu lama menunggu Lidya. Dia sudah lebih dari 1 jam menunggu, padahal rumah Lidya tidak terlalu jauh dari tempatnya, dan jalan yang dilalui bukan termasuk jalanan yang macet parah, meskipun weekend sekalipun.
Mereka kemudian menuju ke salah satu mall besar di kota ini. Setelah parkir, mereka tidak langsung naik ke bioskop, tapi mencari makan dulu. Selain karena film yang akan mereka tonton masih sekitar 2 jam lagi, perut mereka sudah keroncongan, terutama Faris.
Dia dari siang hanya makan snack seadanya, karena sudah sejak pagi Selvi dan Nando pergi. Di kulkas sebenarnya banyak bahan yang bisa dimasak, tapi Faris tak bisa masak. Mau pesan delivery, malas, karena itulah dia saat ini benar-benar kelaparan.
“Haha, Ris, makannya santai aja lagi. Filmnya masih lama kok,” ucap Lidya saat melihat Faris yang makan, terlalu lahap, kesetanan.
“Ahhuu lavvhaarr Lidd…” jawab Faris dengan mulut penuh makanan, membuat Lidya semakin lebar tawanya.
“Ya udah lah, terserah kamu aja.”
Setelah menghabiskan makanannya, mereka berpindah menuju ke sebuah kedai kopi yang tempatnya tak jauh dari bioskop. Mereka ngobrol-ngobrol dulu, menunggu studio yang memutar film yang akan mereka tonton dibuka.
“Heh Lid, kamu ini lahir di sini kan? Asli sini kan?” tanya Faris.
“Iya, kenapa emang?”
“Enggak, cuma aku penasaran aja, kok gaya bicara kamu beda sama orang-orang ya?”
“Beda gimana?”
“Yaa, banyakan orang sini kan ngomongnya lu gue lu gue, kok kamu nggak? Malah aku kamu gitu?”
“Ooh itu. Hmm, nggak tahu juga sih Ris. Tapi gini, aku emang lahir di sini, tapi beberapa kali pindah tempat juga, ikut kemana papa kerja. Papaku kan sebenarnya awalnya nggak kerja di perusahaan ini, baru sekitar 10 tahun yang lalu dia direkrut. Jadi ya karena sering pindah itu, lidahku jadi kayak gini.”
“Ooh, jadi Pak Doni bukan dari awal di PT. Tri Kurnia?”
“Iya, dulu masih pindah-pindah kerjanya, nyari yang menantang katanya. Terus pas udah direkrut sama PT. Tri Kurnia, papa mutusin buat menetap aja, lumayan soalnya gajinya, udah nyaman juga di sini, sesuai sama passion papa katanya.”
“Hmm gitu ya. Eh tapi kan, kalau gitu SMA dan kuliah kamu di sini? Apa nggak kebawa arus pergaulan sama temen-temen kamu?”
“Yaa kalau masalah kebawa arus pergaulan sih, bisa dibilang kebawa juga. Buktinya, sekarang aku kayak gini. Yaa nggak perlu aku ceritain kan? Intinya, sama lah kayak yang kamu lakuin sama cewek-cewek kamu. Tapi soal gaya bicara, lidahku udah terlanjur gini Ris, kurang nyaman aja ngomong pake lu-gue, kayaknya bukan aku banget. Dan itu ternyata bawa cerita lucu.”
“Cerita lucu apaan?”
“Jadi gini, kan kalau di sini, terutama yang muda mudi dan lagi pedekate nih, waktu kita ngomong aku-kamu, dikira kita ada sesuatu sama dia. Nah, ada beberapa orang cowok yang dulu ngedeketin aku, terus kegeeran pas aku ngomongnya aku-kamu, dikira aku juga suka sama mereka, langsung deh mereka nembak.”
“Terus terus? Kamu terima?”
“Yaa enggaklah, orang kenal aja juga baru, gimana mau diterima. Rata-rata yang kayak gitu, malah orang dari luar sekolahku, yang belum bener-bener kenal sama aku, makanya mereka kegeeran.”
“Haha, bisa gitu ya?”
“Iya lho Ris, dan itu nggak cuma 1-2 orang, ada beberapa orang yang kayak gitu, haha.”
“Wah, teganya kamu Lid, ternyata kamu suka PHPin cowok ya, haha.”
“Haha, yaa nggaklah, salah mereka sendiri kegeeran. Mungkin kalau mereka pedekate lebih lama, udah saling kenal satu sama lain, kan bisa beda ceritanya. Lha ini, masak baru sekali dua kali jalan, udah nembak, kan lucu.”
“Yaa iyalah Lid, ceweknya secantik kamu, jadi ya kalau bisa secepat mungkin disikat, daripada keduluan orang, haha.”
“Haha, sialan kamu Ris.”
“Eh tapi, kalau kakakmu, ngomongnya juga sama kayak kamu gini?”
“Nggak sih, kakak sama adekku ngomongnya juga tetep lu-gue. Mungkin akunya aja kali yang kelainan, haha.”
“Haha, tapi nggak papalah Lid, malah enak aku, nggak harus nyesuain pake lu-gue. Kagok rasanya.”
“Yaa nggak usah dipaksain Ris, senyamannya kamu aja. Lagian kan yang penting maksudnya sama, meskipun gaya ngomongnya beda.”
“Iya juga sih. Untung aku ketemunya sama kamu, punya partner kayak kamu, jadi nggak harus terlalu banyak berubah cuma buat nyesuain diri. Coba bayangin, kan lucu kalau aku ngomongnya lu-gue, tapi logat jawanya masih kental, haha.”
“Haha, eh jangan salah Ris. Temen kuliahku yang kayak gitu banyak lho. Mereka kan dari mana-mana ya, Batak, Sunda, Jawa, dari daerah lain juga. Dan mereka ngomongnya lu-gue, tapi masih kebawa sama logat asli mereka. Yaa mungkin maksudnya mencoba untuk gaul, tapi kalau menurutku sih, nggak perlu sampai segitunya juga.”
“Yaa biarin aja. Mungkin mereka punya prinsip, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Mencoba beradaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara mereka masing-masing. Bukan masalah sih menurutku, asal yang diambil yang positifnya aja, yang negatifnya jangan.”
“Iya bener. Tapi sayangnya, masih banyak yang akhirnya keseret hal-hal negatif juga. Yaa, sama kayak aku lah dulu, yang bikin jadi kayak sekarang.”
“Sekali lagi, itu bukan masalah, selagi kamu punya niat memperbaiki diri. Yang jadi masalah kan kalau ternyata kamu punya niat untuk lebih rusak lagi dari ini, nah itu yang repot.”
“Haha, iya, makasih wejangannya pak ustad.”
“Yee, malah ngeledek, haha.”
“Hahahaha…”
Obrolan mereka terhenti saat terdengar pengumuman studio yang memutar film yang akan mereka tonton sudah dibuka. Lidya yang sudah memegang tiket langsung mengajak Faris. Sebelumnya mereka sempatkan membeli minuman dan popcorn dulu. Setelah itu mereka masuk ke studio. Masih belum ramai. Mereka kemudian menuju ke tempat duduk mereka. Spot yang sempurna untuk menonton film di bioskop. Posisinya di tengah, tidak terlalu ke atas, tidak terlalu ke bawah.
Setelah menunggu beberapa saat film pun mulai berputar. Untung saja Lidya mengajak Faris menonton film action, karena itu adalah favoritnya. Kalau saja menonton film genre lain, drama misalnya, bisa-bisa Faris ketiduran di dalam bioskop. Itu pernah dialaminya dulu, waktu masih berpacaran dengan gadis yang kemarin-kemarin membuatnya galau.