MIMPI 1

1252 Kata
“Ada tamu kok malah pergi, gak sopan kamu. Begitukah orang miskin bersikap, kalau kedatangan tamu orang kaya? Jadi minder,” ucap bu Heni saat Rima sedang mencuci piring bekas tamu istimewa ibu mertuanya. “Lagian apa pentingnya Rima, Bu? Bukankah hanya mbak Indah manusia paling berharga di hidup Ibu?” sahut rima tak mau berbasa basi lagi. “Yo bagus deh kalau kamu sadar diri. Kamu memang gak penting buat saya. Kalau keluarganya Indah, jelas keluarga terpandang, tidak seperti keluarga kamu yang miskin itu." Nyes, sakit sekali rasanya. Walaupun Bu Heni sering kali menghina dan memaki Rima, tetap saja hati Rima terasa sakit. Apalagi sampai menghina orang tuanya juga, rasanya jauh lebih sakit lagi. “Oh begitu, Bu? Baiklah mulai saat ini silahkan bebankan semua pekerjaan di rumah ini pada mbak Indah, menantu kesayangan Ibu! Dia pintar memasak, rajin dan tentunya menantu idaman Ibu. Rima hanya akan mengerjakan pekerjaan di rumah ini yang menyangkut dengan kebutuhan mas Bambang. Selain itu, biar menantu kesayangan Ibu itu yang mengerjakan.” "Kamu siapa, berani bicara seperti itu? Itu tugasmu, bukan tugas Indah. Oh jadi kamu menguping pembicaraan kami? Begitu saja bawa perasaan!" “Bukan masalah bawa perasaan Bu. Ibu jangan berlindung di balik kata begitu saja baper, alias bawa perasaan! Selama ini 'kan dia hanya enak- enakkan, hanya makan dan tidur saja di sini, tetapi dapat pengakuan dari Ibu mertuaku yang tersayang." “Jangan kurang ajar Kamu! Menantu melarat! Kamu bisa nikah dengan anakku suatu keberuntungan. Kalau bukan karena anakku, paling kamu jadi pengemis di lampu merah sana,” cibirnya. “Serendah itu Rima di mata, Ibu? Ingat Bu, setiap Ibu sakit, Rima yang mengurus Ibu, bukan mbak Indah. Ibu tidak pernah sekalipun mengingatnya. Di mata Ibu, Rima menantu yang paling hina.” Selesai meluapkan segala amarah yang selama ini terpendam, Rima gegas masuk ke kamarnya. Ia tinggalkan ibu mertuanya begitu saja. ‘Semoga ibu bisa sadar,’ gumamnya. Cucian piring belum selesai Rima kerjakan. Rima sudah terlanjur dongkol dan masuk ke kamarnya. “Kita lihat saja, mau sampai mana ibu membanggakan menantu kesayangannya itu?” ucapnya sembari menutup pintu kamarnya dengan kasar. Badan Rima terasa sangat lelah, dan ia memutuskan untuk tidur. “POV RIMA” “DALAM DUNIA MIMPI" “Apa-apaan ini, Mas? Jangan kurang ajar kamu, Mas! Beraninya kamu masuk ke kamarku?” hardikku pada mas Roni kakak iparku. “Kalau diperhatikan kamu menarik juga, ya?” ucapnya sembari memindai setiap inci tubuhku yang terbalut dress selutut berwarna merah hati. Aku merasa risih. Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan cekalan tangan mas Roni, namun tenagaku tidaklah sepadan dengannya. “Lepaskan Mas! Sakit,” ucapku memohon, Namun sama sekali tidak diindahkan oleh mas Roni. Pintu kamarku terbuka lebar, namun rasanya aku tidak sanggup berlari. “Tolong....tol...,”Mas Roni langsung membekap mulutku saat aku mencoba berteriak. Aku jadi ketakutan. Apa yang akan mas Roni lakukan padaku? Apakah dia tidak terima akan perkataanku yang mengatai istrinya?” Iya aku jadi teringat akan hal itu. “Jangan macam-macam kamu! Berani kamu berteriak, habis kamu ditanganku!" ancamnya masih dengan membekap mulutku. ‘Mengapa saat sedang genting begini, tidak aku lihat siapa pun lewat depan kamarku? Ke mana ibu dan mbak Indah? Ke mana adik iparku? Siapa yang akan menolongku?’ ‘Apakah ini rencana busuk kalian untuk menghancurkan rumah tanggaku? Kalau begini aku tak perlu khawatir, biar ibu dan mas Roni menyesal sudah menjebakku. Dan mbak Indah, dia sudah berani merencanakan untuk menyingkirkan aku dari kehidupan suamiku. Oh tidak bisa, kita lihat siapa yang akan pergi dari rumah ini? Tap....tap..tap Aku mendengar derap langkah kaki mendekat, tiba-tiba saja mas Roni menarikku ke atas ranjang milikku, dengan posisi aku menindisnya. “Rima! Apa yang kamu lakukan sama Roni? Dasar w************n!" hardik ibu mertuaku. Sementara aku lihat mbak Indah berdiri di samping ibu sembari tersenyum sinis menatapku. Aku refleks langsung menarik diriku dari tubuh kakak iparku itu. Ibu langsung mendekatiku, dan mendorong tubuhku, hingga aku hampir tersungkur. Beruntung aku bisa menyeimbangkan tubuh langsingku, kalau tidak, mereka akan tertawa puas melihatku terjatuh. “Jangan marah Sayang! Dia menggodaku. Kamu bisa lihat sendiri 'kan posisinya tadi?” Bagaimana bisa mas Roni memutar balikan fakta seperti itu di depan kami semua? Mau ketawa rasanya aku, Mas. Kalian kalau main sinetron juara sudah soal akting. “Bohong! Mas Roni yang datang ke kamarku dan membekapku. Jangan memfitnahku Mas!" suaraku sedikit tercekat karena menahan haus. “Bu, lihat Rima! Bagaimana bisa dia melakukan ini pada mas Roni? Usir saja dia Bu! Bisa-bisa dia menjadi pelakor dalam rumah tanggaku nanti,” rengek menantu manja itu, pada ibu mertuaku. “Apa mbak? Aku mau jadi pelakor dalam rumah tanggamu? Apa aku gak salah dengar, Mbak? Aku rasa kamu sedang menuduh dirimu sendiri. Memangnya Mbak pikir aku tidak dengar apa, waktu mbak mengobrol sama teman mbak di telepon, kemarin siang?” “Jangan mengada-ngada kamu Rim! Sudah tertangkap Basah, malah balik menuduhku. Kamu takut 'kan diceraikan sama Bambang, karena telah menggoda kakak iparmu sendiri? Hei lihat aku sudah membuat rekaman, yang nantinya akan aku serahkan pada adik iparku yang baik itu!" Pongah sekali kamu Mbak. Kamu sedang berada di ujung tanduk tanpa kamu menyadarinya. Aku tidak mau terus-terusan jadi ipar yang tertindas. “Apa maksudmu, Rima? Jangan bicara sembarangan. Berani kamu menuduh istriku?” “Tanya saja sama istrimu, sudah pasti dia tidak akan mengaku di depanmu, Mas. Istrimu ini, sama saja sepertimu, yang pandai akting dan memutar balikkan fakta.” “Rima! Diam! Jangan membuat fitnah! Jangan menuduh menantu kesayangan Ibu! Sekarang kamu sudah Tertangkap basah. Sebentar lagi Bambang akan mengetahui kebusukan istrinya yang terlihat lugu, ternyata murahan.” Ibu melemparku dengan pakaianku yang berada di dalam keranjang. Tangannya berkacak pinggang, seperti ibu kontrakan menagih uang sewa. “Ibu yakin? Aku sih malah memastikan mbak Indah dan mas Roni yang akan bercerai, bukan aku,” sahutku menyeringai. Tidak tahu saja kalian ada bukti di tanganku, beruntung sekali aku memasang CCTV di depan kamarku. CCTV itu hanya akan aku nyalakan, saat suamiku tidak ada di rumah. Dan obrolan mbak Indah dengan temannya juga sudah berada dalam rekaman ponselku. “Rima! Tunggu suami kamu pulang. Bersiaplah angkat kaki dari rumah ini dan menjadi gelandangan. Sana kemasi pakaianmu!” “Jangan terlalu berharap dengan perceraianku, Bu, karena Allah pasti akan melindungi orang yang benar. Bersiaplah untuk perceraian menantu dan anak kesayanganmu itu, Bu.” “Rima, berani kamu macam-macam sama aku? Aku akan membuat hidupmu tidak tenang,” mbak Indah menatapku bengis. Aku tidak takut mbak. Rima yang sekarang sudah menjelma jadi Rima yang pembangkang. Kamu tidak bisa lagi menginjak harga diriku Mbak. “Sudah silahkan kalian keluar dari kamarku sekarang juga! Aku mau istirahat. Menjamu besan kebanggaan ibu, membuat badanku sangat lelah.” “Silahkan puaskan tidurmu di kasur ini untuk terakhir kalinya. Karena saat Bambang pulang, kamu akan di usir dari rumah ini.” Mereka pun keluar dari kamarku dengan wajah yang sulit digambarkan. Maaf ya, Bu? Sepertinya rencana kalian untuk menyingkirkan aku dari rumah ini akan gagal total. Menantu kesayangan ibu justru yang akan meninggalkan rumah ini. Aku tidak yakin ibu masih akan menerimanya, setelah ibu mendengar semua obrolannya dengan temannya di telepon kemarin. Kita lihat saja nanti Bu! Siapkan diri ibu, agar tidak serangan jantung. Aku menantu miskin yang selalu diremehkan, kalian pikir aku selalu diam dan hidup dalam kebodohan? Kalian salah berhadapan denganku. Aku akan membuat perhitungan dengan siapa pun yang menindasku. Pintar sekali akting kalian. Sudah jelas kalian membuat rencana busuk ini bersama. Sok polos tidak tahu apa-apa. Apalagi menantu kesayangan ibu, sok merasa paling tersakiti. Aku jadi geli sendiri, mendengar omong kosongnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN