“Semua harus enak. Jangan ada kesalahan sedikit pun dalam membuat masakan, agar besan Ibu bisa menikmati,” ucap bu Heni tanpa memikirkan perasaan Rima.
Di sini tidak hanya Rima selaku menantu yang dibedakan, orang tuanya pun dibedakan. Dulu saat bapak mertua Rima masih hidup, beliau sangat baik. Beliau juga tidak pernah membedakan anak dan menantunya. Berbeda jauh dengan perangai ibu mertua Rima.
Bu Heni begitu bahagia dan bersemangat menyambut kedatangan orang tua Indah. Hal ini tidak pernah bu Heni lakukan jika orang tuanya Rima yang datang
Jangankan menyediakan makanan istimewa, minuman saja bu Heni tidak mengizinkan Rima menyiapkan untuk orang tuanya. Jika orang tua Rima datang bertamu, maka Rima akan membawa bapak beserta ibunya, makan di warung Bu Surti di ujung jalan
Sungguh sejak kejadian bu Heni memaki Rima di depan kedua orang tuanya, sejak saat itu orang tua Rima tidak pernah mengunjungi Rima lagi. Rima dan suaminya, yang mengunjungi mereka, tiap akhir pekan, saat Bambang libur kerja.
“Terima kasih Ibu. Ibu baik sekali,” puji Indah pada ibu mertuanya yang tengah menata semua hidangan istimewa di meja makan.
“Sama-sama Nak Indah. Semua sudah siap, tinggal menunggu kedatangan orang tuamu. Kita akan makan bersama,” sahut bu Heni sembari mengusap punggung Indah penuh rasa sayang. Apakah Rima iri? Tentu saja, dia juga menantu bu Heni, namun dia tidak pernah diperlakukan seperti bu Heni memperlakukan Indah.
“Rima masih ada waktu satu jam. Ibu minta kamu bisa buatkan kue buat orang tua Nak Indah, sekarang!" titah bu Heni membuyarkan lamunan Rima.
“Maaf Bu. Rima kurang enak badan. Bahan di rumah juga sudah habis. Rima belum belanja lagi. Tidak cukup waktunya kalau harus belanja dulu,” sahut Rima berbohong. Bagaimana pun Rima masih sakit hati, teringat perlakuan ibu mertuanya terhadap kedua orang tuanya.
“Ya sudah kalau begitu, tolong belikan di toko kue pak Haji Arsyad! O iya, pakai uangmu dulu ya? Nanti ibu ganti.”
“Ibu! Mbak Rima 'kan sudah bilang tidak enak badan, masih saja Ibu minta tolong sama mbak Rima. Segini juga sudah cukup, Bu. Tidak perlu pakai kue segala. Kayak mau kedatangan pejabat penting saja,” sela Nanda.
“Kamu ini bagaimana, Nanda? Mereka itu orang penting. Jarang-jarang orang desa punya besan orang kota. Apalagi kaya raya seperti orang tua Nak Indah ini. Mereka tamu yang harus diistimewakan.”
“Memangnya mereka sudah melakukan apa saja untuk kita, Bu? Kaya hanya label, tapi nyatanya pas Ibu sakit, mereka menjenguk saja tidak. Harusnya orang tua mbak Rima yang pantas Ibu istimewakan.”
"Mereka sampai menginap lho, Bu."
“Ngomong apa sih kamu, Nanda? Tidak usah sok menasihati Ibu deh!” sahut bu Heni ketus
“Bu. Nanda pulang karena rindu suasana rumah yang hangat. Tapi semenjak ada mbak Indah di rumah ini, Nanda merasa Ibu tidak lagi seperti dulu. Apa-apa mbak Indah. Sedikit-sedikit mbak Indah.”
Setelah berbicara pada ibunya, Nanda langsung berlari ke kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Nanda anak yang baik. Entah mengapa, ibunya sering kali menyalahkannya?
Hidup tahunan bersama mereka, tidak juga Rima mengetahui teka-teki keluarga suaminya itu.
Baru saja Rima akan beranjak menenangkan Nanda, Bu Heni mencekal tangannya kuat.
“Mau ke mana, kamu? Tidak usah mencari masalah! Gara-gara kamu, Nanda berani melawan Ibu,” ucapnya sembari menghempaskan tangan Rima dengan kuat. Rima meringis kesakitan, karena pergelangan tangannya mengenai sisi meja besi.
“Sakit? Makanya jangan banyak tingkah! Jadi menantu tidak ada gunanya sama sekali. Sudah melarat, suka melawan mertua. Sana siapkan piring dan sendok, cepat! Letakkan di atas meja! Sebentar lagi, tamu istimewaku akan tiba.”
Indah menutup mulutnya sebab tertawa. ‘Tunggu kau Mbak! Sekarang kamu memang dibanggakan Ibu, tapi lihat saja suatu saat nanti semua bisa berubah. Aku pastikan kejayaanmu di rumah ibu mertua kita ini tidaklah kekal,’ gumam Rima dalam hati.
Tanpa membantah lagi, Rima langsung melakukan perintah ibu mertuanya. Demi menyambut besan kebanggaannya, semua harus terlihat sempurna.
Sudah dari jam empat pagi bangun untuk menyiapkan segalanya. Mulai memasak, membersihkan rumah, Rima dan Nanda yang melakukannya.
Jangan ditanya ipar pemalasnya itu, sudah pasti dia duduk manis bersama ibu mertuanya di depan televisi. Rima menantu miskin bagaikan babu, sedangkan Indah menantu kaya bagai Ratu.
Rima menerima semua perlakuan ibu mertuanya dan kedua iparnya itu dengan hati lapang, walau terkadang dia juga sakit hati. Berharap semua akan berubah pada waktunya.
Semua kehidupan pasti berputar. Rima selalu menyisihkan uangnya untuk ia tabung sebagai modal usaha di masa depan. Sekarang biarlah hidup apa adanya, karena suaminya masih harus membagi gajinya untuk ibu dan saudaranya.
****
“Nah itu ibu sama ayahmu sudah datang Nak,” ucap bu Heni, saat suara deru mesin mobil, berhenti di pelataran rumah.
Bu Heni gegas meninggalkan dapur menuju ke depan. Indah mengekor di belakangnya. Rima tetap berada di dapur. Dia sedang memikirkan perasaan adik iparnya. Sedang apa Nanda di dalam kamarnya?
Kebetulan kamar Nanda tidak terhubung dengan ruang tamu, masih ada tembok pembatas, sehingga Rima bisa masuk ke dalam sana tanpa sepengetahuan ibu mertuanya.
Saat Rima membuka pintu, ia melihat Nanda mengucek matanya. Matanya sembab dan memerah. Rima memberanikan diri mendekatinya.
“Dek!” tanpa banyak bertanya lagi, Rima langsung memeluknya. Dia menangis di pelukan, kakak iparnya. Tanpa Rima sadari, ia pun turut menangis bersama adik iparnya itu. Dia anak bungsu namun sering kali bu Heni menyalahkannya dan membela menantunya yang tak tahu diri itu.
“Sudah Dek! Jangan menangis, ya? Ibu sebenarnya sayang sama kamu, hanya saja di mata ibu sekarang, mbak Indahlah yang paling ia percaya.
“Aku jauh-jauh pulang kesini karena rindu Mbak, tapi justru aku selalu salah di mata ibu.”
“Sudah, tidak apa-apa. Biarkan saja dulu seperti ini. Suatu hari ibu akan menyesal akan perbuatannya. Bagaimana pun menantu ibu yang manja itu, tidak akan ada saat ibu kesusahan. Kita lihat saja nanti, sampai mana ibu membanggakan menantunya itu dan mengabaikan perasaan kita?”
Setelah mendengar nasehat Rima, Nanda langsung melepas pelukan dan mengusap air matanya. Entah dapat kekuatan super dari mana, dia langsung tersenyum pada kakak iparnya?
“Nah gitu dong. Tuh besan ibu sudah datang. Mau menemui tidak?”
“Tidak usah Mbak. Kita diam saja di sini,” sahutnya.
“Oke, baiklah. “
Mereka berdiam di kamar sembari mendengarkan obrolan mereka. Kebetulan jarak kamar Nanda dengan ruang tamu dekat, dengan dapur juga dekat, jadi obrolan mereka masih tertangkap di telinga Rima dan Nanda. Apalagi suara mereka keras, semua seperti toak Masjid.
“Sebaiknya kita makan dulu, Bu! Kebetulan Nak Indah sudah memasak banyak menu untuk menyambut kedatangan bapak dan Ibu,” ajak ;bu Heni pada besan kebanggaannya.
Bu Heni mengajak tamunya untuk makan setelah beberapa menit mengobrol.
“Wah, anak cantiknya Ibu sudah bisa masak. Hebat kamu sayang. Tidak salah kamu jadi menantu ibu Heni.”
“Benar-benar kelewatan ibu Mbak. Jelas-jelas kita yang susah payah memasak, eh dia yang mendapat pengakuan dari ibu.”
Spontan saja Nanda kesal mendengar obrolan ibunya dengan besannya. Bisa-bisanya ibunya membanggakan menantunya itu? Masak nasi saja tidak pernah, apalagi masak lauk.
‘Goreng telur saja hampir kebakaran rumah ibu karena ditinggal lari, saat minyaknya menciprat ke mana-mana. Ibu lupa apa soal kekonyolan yang dilakukan oleh menantu kesayangannya itu?’ batin Rima.
“Lain kali kalau mau ada tamu biarkan saja menantu ibu yang pemalas itu yang bergerak. Kita diam saja. Toh capek-capek kita bantu, tidak diakui,” ucap Rima ikutan kesal dengan ibu mertuanya.
Nanda hanya mengangguk. Gadis baik yang kini duduk di hadapan kakak iparnya itu, perasaannya jauh terluka dibandingkan Rima. Dia anak kandung bu Heni, sedang Rima hanya menantu. Tapi bu Heni memperlakukan mereka sama.
Terdengar derap langkah menuju ke dapur.
“Masakannya enak. Terima kasih sudah mengajari anak saya masak! Ini perkembangan yang luar biasa,” terdengar sumbang ucapan bu Rena di telinga Rima.
“Sama-sama Bu. Nak Indah benar-benar menantu yang ideal. Cantik, pandai memasak, rajin mengerjakan perkerjaan rumah, pokoknya menantu terbaiklah.”
Deg
Rima tidak menyangka, ibu mertuanya begitu mengagungkan menantunya itu. Bahkan bu Heni berbohong demi Indah.
‘Aku jadi punya ide, akan kubuat ucapan ibu jadi kenyataan. Enak saja bicara tanpa melakukannya. Aku yang capek, dia yang mengakui. Oh tidak bisa mbak,’ gumam Rima dalam hati sembari menyunggingkan senyum tipis.