Sejak kejadian di hajatan, bu Heni mendiamkan Rima. Rima tidak masalah. Toh Rima sudah melakukan yang benar. Menantu mana yang tidak sakit hati, jika suaminya selalu disalahkan dan dimanfaatkan?
Ternyata memiliki orang tua yang pilih kasih seperti bu Heni bukan hal yang mengenakkan, tapi justru memuakkan.
Semua orang jika disuruh memilih, mana ada orang yang mau terlahir miskin? Semua pasti memilih hidup berkecukupan.
Namun tidak semua manusia memiliki takdir dan keberuntungan yang baik dalam hidupnya.
Rima tidak pernah mengeluh dengan kehidupanku yang sederhana, dan Rima tidak pernah melihat ke atas agar dirinya selalu bisa bersyukur.
Namun sejak ia berada di tengah keluarga suaminya, Rima merasa tidak berguna. Ibu mertuanya tidak pernah bisa menerimanya sebagai seorang menantu di rumah itu. Hanya karena harta, bu Heni membedakannya dengan menantu kesayangannya yang lain.
Hari ini kebetulan aku Rima ada kesibukan membuat pesanan kue untuk acara ulang tahun anaknya bu Saroh, yang kebetulan tinggal di dekat rumah ibu mertuanya.
Dengan dibantu adik iparnya, Rima memulai membuat adonan kue pelangi dan kue bolu permintaan bu Saroh. Tidak terlihat sama sekali Bu Heni dan Indah mendekat
Biasanya jika mendapat pesanan kue begini, mereka akan mendekat hanya untuk meminta sebagian kue yang telah Rima buat.
Kalau untuk membantu jangan ditanya, yang pasti mereka tidak mau. Mereka pikir ini pekerjaan hanya Rima yang menikmati hasilnya. Padahal sebagian uangnya Rima pergunakan untuk memenuhi kebutuhan dapur.
“Mbak ini yang sudah dingin langsung di potong, dan dimasukkan plastik, ya?" tanya Nanda.
“Iya Dek. Sekalian dihitung dan dicatat, ya?” sahut Rima sembari mengeluarkan bolu dari oven.
“Siap Mbakku,” sahut Nanda kemudian.
Dengan cekatan Nanda memotong dan mengemas kue pelangi ke dalam kotak yang telah Rima siapkan.
“Kalau mau makan, ambil saja ya, Dek? Ambil berapa potong, dan ingat jangan lupa dicatat!” Rima kembali mengingatkan.
“Nanti saja Mbak aku makan. Sisakan saja nanti berapa potong, yang penting Mbak tidak merugi.”
“Iya Dek, siap.”
Rima kembali memanggang bolu karamel dan mengukus kue pelangi. Tidak terasa tersisa dua loyang saja. Tangan Rima sudah lumayan pegal. Beruntung ada Nanda yang membantunya, sehingga pekerjaannya cepat selesai.
“Alhamdulillah finis,” ucap Rima saat semua kue pesanan bu Saroh tersusun tapi dalam kotak dan telah dimasukkan dalam plastik kantong merah berukuran besar.
“Ini, Mbak buat lebih. Siapa tahu ibu dan yang lain mau?" ucap Rima sembari menyodorkan sepiring kue karamel dan sepiring kue pelangi pada adik iparnya.
“Alhamdulillah. Kue karamel kesukaan Nanda Mbak. Nanda mau mandi dulu ya, Mbak? nanti Nanda bantu mengantar kuenya.
“Ya sudah, Mbak juga mau mandi dulu Dek. Kuenya Mbak taruh di meja makan, ya?” ucap Rima sembari meletakkan dua piring berisi kue itu ke atas meja, dan menutupnya dengan tudung saji.
“Ayo Mbak kita antar dulu kuenya! Setelah itu kita makan kue buatan Mbak,” ucap Nanda masih dengan rambut yang tergerai basah. Ia memakai jilbab dan menentang satu plastik merah berisi kue untuk diantar ke tempat bu Saroh.
“Ayo dek!" Rima mengambil satu kantong plastik merah yang tersisa. Mereka berjalan beriringan menuju rumah bu Saroh.
Sesampainya di rumah bu Saroh, sang empunya rumah sudah menunggu mereka di depan rumah. Bu Saroh tersenyum ramah pada Rima dan Nanda.
“Alhamdulillah, tepat waktu Mbak. Maaf ya mbak Rima? Ibu mendadak memesan kuenya.”
“Tidak mengapa Bu. Beruntung ada adik ipar saya yang membantu, sehingga bisa menyelesaikan pesanan Ibu tepat waktu.”
Setelah selesai mereka gegas pulang.
“Loh, mana kuenya Mbak? Kok sisa piringnya saja?” seru Nanda saat membuka tudung saji.
“Lah, tadi Mbak taruh di situ Dek. Mungkin sudah dimakan ibu dan yang lain,” sahut Rima kecewa.
“Masa ya dihabiskan, Mbak? Kita makan sepotong pun belum,” gerutu Nanda kesal.
Nanda berjalan ke arah ruang televisi. “Mbak, makan kue yang di tudung, ya? Kami yang membuatnya saja belum makan barang sepotong pun.”
“Enak saja main tuduh. Aku sama mas Roni dari tadi di sini saja. Kami tidak ada ke dapur,” sahut Indah tidak terima dituduh oleh Nanda.
“Mana mungkin? Ibu tidak ada sejak tadi. Hanya Mbak dan mas Roni yang tetap di rumah saat kami ke rumah bu Saroh. Mengaku saja, Mbak?" sungut Nanda kesal.
“Jangan main tuduh saja kamu, Nanda! Tuyul kali yang makan,” sahut Roni sembari melirik sinis pada Rima.
“Iya benar kata mas Roni. Mungkin si tuyul yang makan,” ujar Indah tanpa rasa bersalah.
“Oh jadi benar ada tuyul yang berkeliaran di sini, Mbak? Berarti yang masuk ke kamar mbak tadi malam, tuyul nakal itu?”
Rima mengernyitkan dahi mencoba meminta penjelasan lewat kedipan mata pada adik iparnya. Rima tahu adik iparnya itu hanya iseng.
“Masak iya? Kenapa kamu tidak membangunkan Mbak, Nanda?”
“Lah mana berani aku mendekat Mbak? Orang itu tuyul matanya seram banget Mbak. Aku langsung buru-buru masuk kamarku dan menguncinya.”
Rima sebisa mungkin menahan agar tidak tertawa. Adik iparnya begitu serius mengerjai Roni dan Indah. Sementara Roni terlihat acuh tak acuh tetap fokus pada layar televisi.
“Ya sudah Mbak, aku sama mbak Rima mau ke dapur dulu. Berhubung semua kue sudah dimakan sama tuyul nakal itu, kami makan nasi saja. Susah payah kami membuatnya, eh dihabiskan sama tuyul tidak tahu diri,” gerutu Nanda sembari menarik tangan Rima menuju ke dapur.
“Sabar ya, Dek? Nanti kita buat lagi,” ucap Rima saat mereka sampai di dapur.
“Tidak usah Mbak. Keterlaluan mereka. Sudah tidak mau membantu malah makan sampai habis tanpa menyisihkan untuk kita. Mana menuduh si tuyul yang menghabiskan? Benar-benar keterlaluan!"
“Ya sudah, kita makan nasi saja Dek! Mbak sudah lapar,” ajakku pada Nanda. Mereka pun makan.
*****
“Nanda kamu jangan ngaco ya! Jangan bikin mbakmu takut tinggal di sini. Pakai acara bilang ada tuyul segala.”
'Oh, rupanya menantu kesayangan ibu telah mengadu. Dasar manja! Apa-apa mengadu. Begini sudah melunjak jadinya karena ibu selalu membelanya,' Rima menggerutu kesal dalam hati.
“Loh orang mbak Indah duluan yang bilang kok, Bu. Tadi mbak Rima menyisihkan kue dua piring di tudung saji, habis tidak tersisa saat kami tinggal ke rumah bu Saroh antar pesanan.”
"Kata mbak Indah sama mas Roni ulah tuyul,” terang Nanda yang membuat Rima terkekeh geli mendengarnya. Rima hampir kelepasan, untungnya dia bisa menguasai dirinya. Rima membekap mulutnya dengan kedua tangannya.
“Sudah-sudah! Soal kue saja diributkan. Lagian kue murahan saja kok, Mbak bisa membelinya di kota yang lebih mahal. Kualitas premium tentunya,” Indah si biang kerok muncul juga.
“Sudah Nak Indah, tidak usah dipikirkan! Nanti Ibu belikan di toko kue, kue yang Nak Indah suka."
"Nanda ayo minta maaf sama mbakmu! Dan kamu Rima, lain kali kalau bikin pesanan, bikinkan juga yang banyak untuk yang di rumah. Jangan pelit sama saudara sendiri!”
Luar biasa Bu Heni. Yang salah siapa? Yang terkena sasaran siapa?
“Bu, mbak Rima menyisihkan dua piring kue yang berbeda. Itu tidak sedikit. Yang makan saja yang tidak tahu diri,” ucap Nanda langsung melirik ke arah Indah. Lagi-lagi Nanda selalu berani membantah ucapan ibunya.
‘Aku jadi merasa bersalah. Tapi mbak Indah memang keterlaluan. Kue itu seharusnya bisa dinikmati semua orang di rumah ini. Teganya dia menghabiskan tanpa menyisakan untuk yang lain,’ batin Rima.