3. Hukuman

1083 Kata
"Jadi, ke mana kita sebenarnya akan pergi?," tanya Eve dengan nada lembut, Ia tetap penasaran dengan tujuan mereka. Devan masih dalam perasaan aneh, berdekatan dengan Eve seolah benar-benar mengingatkannya pada akan satu hal. Tetapi ia tetap fokus pada jalan, tidak menunjukkan perubahan ekspresi. "Kamu akan segera tahu," jawabnya singkat. Hingga detik ini, Devan masih bingung. Mengapa Eve masih mampu mengucapkan terima kasih setelah kejadian semalam yang mungkin bisa dikatakan akan membuat Eve traumatik. Ataukah, wanita disampingnya itu, sengaja bertahan hanya untuk merebut semua hartanya? "Baiklah." Sahutnya. Eve benar-benar tidak paham dengan sikap suaminya yang sangat datar dan dingin. "Apakah ini rumah mu?," tanyanya berhati-hati saat mobil milik Devan memasuki halaman rumah mewah dan megah tersebut. Tapi sayangnya Devan hanya diam, masih dengan ekspresi dingin. "Devan sayang." Saat keduanya keluar dari dalam mobil, tiba-tiba perempuan dengan penampilan cantik dan elegan muncul dari arah pintu. Mendengar kata itu, Eve merasakan dadanya semakin sesak. Siapa perempuan ini? Mengapa dia terlihat begitu dekat dengan Devan? Suaminya itu dengan siap menerima pelukan dari perempuan tersebut. "Aku sudah menunggu mu sedari tadi." Perempuan itu melepas dekapan Devan. "Maaf," katanya "Kamu pasti Eve?." perempuan itu menunjuk Eve. Ia mengangguk dan tersenyum tipis, meski perasaannya tengah sedih melihat tatapan perempuan itu yang seolah meremehkan. "Kamu benar Ana, perempuan seperti inilah yang membuat Mama dan Papa tidak memilihmu." Sambung Devan. Eve terkejut mendengar ucapan Devan yang tanpa ragu menyebutkan nama perempuan itu—Ana. Meski senyuman tipisnya masih tertahan, di dalam hatinya dia merasa semakin kecil di hadapan Ana yang jelas memiliki hubungan dekat dengan suaminya. Tatapan Ana berubah tajam sesaat, dan meski bibirnya masih melengkung dalam senyuman, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Ana menatap Eve dengan sorotan mata yang seolah menilai, meremehkan setiap detail dari dirinya. "Oh, jadi ini dia?." Ana tertawa kecil, meski tawanya dingin. "Aku kira kamu akan memilih seseorang yang lebih. Yang sesuai dengan level mu, Devan. Tapi ya, siapa aku untuk mengomentari pilihan orang tua kalian, kan?," ucapnya dengan nada sarkastik, meski masih berusaha terdengar ramah. Eve menunduk, merasa sakit dengan ucapan tersebut. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya, dan kesedihan semakin menumpuk di hatinya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Mengapa Devan membawa dirinya ke tempat ini hanya untuk menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian dan penghinaan? Ingin sekali rasanya Eve mengatakan bahwa sebenarnya Ia juga merasa dirugikan dengan pernikahan ini. Devan hanya mengangkat bahu, tampak tak peduli dengan ketegangan yang jelas terjadi di antara mereka. "Memang benar, Mama dan Papa tidak memilihmu. Tapi aku tetap memilihmu," jawab Devan langsung mengecup bibir Ana singkat, Eve semakin terkejut dengan apa yang dilihatnya. "Pilihan mereka adalah urusan mereka, dan sekarang aku ingin bersenang-senang denganmu." "Tunggu." Ana menahan d**a bidang Devan, untuk masuk kedalam rumah. "Yang benar saja Devan, kita bermesraan dengan di tonton perempuan ini?" Tunjuk Ana, lagi-lagi dengan tatapan meremehkan. Devan menoleh kearah Eve yang tertunduk, menampilkan seringainya. "Justru, itulah alasanku mengajaknya kemari. Sekarang kamu sudah paham kan?" "Tidak, maaf aku ingin pulang." Eve baru saja hendak berbalik badan, tetapi tangan Devan yang kuat menahan lengannya. "Apa kamu tidak ingat, pesan Ibu dan bapakmu hah!," terang Devan mengintimidasi. Eve gemetar, ia tidak ingin berada di situasi seperti ini. Tidak, apalagi hanya untuk menonton mereka bermesraan rasanya Eve ingin kabur secepatnya. Selama ia hidup tidak pernah melihat adegan seperti itu, dan rasanya sangat miris jika ia harus menonton suaminya sendiri berduaan dengan wanita lain, Meskipun Eve memang tidak cinta. "Memangnya apa pesan mereka?" Ana penasaran, hal apa yang membuat kekasihnya itu menjadi tunduk. "Mereka memintaku untuk menjaga Eve." Tawa Ana menggema di teras rumah mewah tersebut. Tak percaya dengan kenyataan bahwa seorang Devan, pria dingin dan tegas berubah menjadi lelaki yang penurut. "Bagaimana bisa kamu sekarang menjadi seorang bodyguard sayang?" "Sudahlah, aku tak ingin membahas itu, sekarang lebih baik kita masuk." Ana mengangguk. Eve merasa tubuhnya kaku saat Devan menggandeng tangan Ana dan mulai berjalan masuk ke dalam rumah. Mereka nampak sangat mesra, Seolah-olah yang ada dihadapannya nampak seperti penghinaan yang terlalu berat untuk ditanggung. Melihat sepasang kekasih yang nampak serasi. Sangat berbeda dengan dirinya yang berpenampilan jauh dengan mereka, dress sederhana seperti gadis desa pada umumnya, dengan rambut yang Ia gerai seadanya, benar-benar tak menarik siapapun. Mungkin ini adalah salah satu alasan, mengapa Devan benar-benar seolah menganggapnya remeh. Eve merasakan hatinya semakin hancur saat duduk di sofa, hanya beberapa meter dari Devan dan Ana yang dengan tanpa rasa malu mulai b******u di depannya. Mereka tampak tenggelam dalam gairah, seolah-olah kehadirannya sama sekali tidak berarti. Untuk pertama kali dalam hidupnya Eve melihat hal itu, benar-benar membuatnya ingin muntah saat itu juga. "Sayang," lirih Ana dalam hasratnya. "Tidak!, Tidak!. Apa yang kalian lakukan." Eve berdiri, mencoba menghentikan mereka. Ia sudah tak tahan melihat adegan memalukan itu. Keduanya menoleh, menyudahinya. Menatap Eve dengan tatapan sengit. "Kamu ini kenapa?," tegas Devan, merasa terganggu. "Kamu ini suamiku, mengapa kamu b******u di depan istrimu." Ya, memang terdengar aneh, tapi hanya dengan begitu Eve bisa menyudahi apa yang mereka lakukan. "Jangan pernah mengatakan aku ini suamimu!," bentak Devan, ia benar-benar tak menyukai kata-kata itu keluar dari mulut Eve. Eve menciut. Ia tak menyangka Devan akan marah. "Tidak bisakah kamu bersikap santai? Aku sedang ingin meluapkan rindu dengan Devan." Ana menyela, ia benar-benar kesal dengan Eve yang datang hanya membuat suasana menjadi buruk. "Aku yang harusnya marah denganmu! Dia itu suamiku," Sentak Eve dengan keberanian tinggi mencoba melawan Ana. "Apa kalian tidak malu, b******u dengan dilihat oleh orang lain?." Mendengar hal itu Devan naik darah, langsung menyeret istrinya itu tanpa perasaan. "Sakit, lepaskan aku!," teriaknya, saat tangan Devan memegang lengannya kuat. Ia kesusahan mengikuti langkah suaminya yang cepat. "Devan, apa yang ku katakan ada benarnya," lirihnya dalam kesakitan. Masih membela pemikirannya. Devan tak peduli, baginya ia harus segera melampiaskan amarah yang telah memuncak. "Diam, kamu hanya merusak mimpi-mimpi ku Eve!," bentaknya, masih menyeret istrinya. Andai saja, jika ia tak sayang dan peduli dengan kedua orang tuanya, Devan sudah membuang jauh-jauh Eve dalam hidupnya. Tetapi, ia tak tega menyakiti perasaan orang tuanya. "Kamu akan membawaku kemana," teriaknya, di ruang tamu. Ana juga meneriaki Eve dan Devan yang berjalan menuju lantai dua rumah megah itu. Namun pria dingin tersebut tak menggubris dan terus menyeret Eve untuk mengikutinya. "Aku akan memberikan mu pelajaran!," tegasnya. "Kuhomon Devan," lirih Eve benar-benar memohon. "Tidak ada hal yang aku biarkan, jika itu sudah mengusik apa yang aku senangi." Devan benar-benar marah, ia tak suka seorang pun menganggu apapun yang sudah ia rencanakan. "Devan, sudah cukup." Ana dibawah sana, terus meneriaki kekasihnya. Ia juga kesal dengan apa yang terjadi saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN