2. Hati yang lembut

1179 Kata
"Bagaimana rasanya menjadi pengantin baru, Eve?," tanya Ibu Devan dengan senyum lebar yang tidak pernah pudar. Eve tersenyum tipis, tak menimpali. Ada rasa pahit yang menggelitik di hatinya. Sedangkan Devan tetap tenang, meminum kopinya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Eve. Mencoba bersikap santai menghadapi sarapan bersama keluarga barunya. Tidak ada tanda bahwa dia merasa bersalah atas apa yang telah terjadi semalam, tidak ada penyesalan di wajahnya yang keras. "Mama ini bagaimana, seperti tidak pernah menjadi pengantin baru, sudah pasti mereka bahagia." Wira-suaminya menimpali. Raisa dan kedua orang tua Eve terkekeh. Devan tersenyum tipis, lalu mencoba menyuapkan hidangan yang disediakan oleh pihak hotel. "Meski ini perjodohan, Aku dan Eve baik-baik saja," kata Devan mencoba meyakinkan kedua orang tuanya. Bahkan lelaki itu meraih tangan Eve dan menggenggamnya. Eve terkejut untuk beberapa saat. Hatinya bergetar, bingung dengan perubahan sikap Devan yang tiba-tiba ini. Jantung Eve berdebar, namun bukan karena cinta atau rasa nyaman—melainkan rasa takut dan kebingungan. Devan melirik Eve dari sudut matanya, memberikan isyarat halus agar dia ikut dalam sandiwaranya ini. "Apa kamu juga ikut bahagia sayang?," tanya Devan "Ya." Eve menelan ludah, mencoba memaksa dirinya untuk tersenyum, meskipun itu terasa sangat sulit. Ibu Devan tersenyum senang, tampak puas dengan apa yang dilihatnya. "Bagus sekali, aku tahu kalian akan bisa melewati semua ini dengan baik. Seiring berjalannya waktu, kalian akan semakin dekat dan cinta itu akan datang dengan sendirinya." "Nak, jangan sesekali melawan suamimu ya," kata Feli dengan nada lembut, seolah memberikan nasihat bijak kepada putrinya yang baru menikah. Namun, bagi Eve, nasihat itu terasa seperti belati yang menusuk lebih dalam ke dalam luka yang sudah ada. Hatinya perih mengingat apa yang telah terjadi semalam—saat dirinya dipaksa untuk tunduk pada hasrat Devan yang kejam dan tidak manusiawi. Bagaimana mungkin ia bisa melawan pria seperti Devan? Pria yang begitu berkuasa dan egois, yang tidak pernah peduli pada perasaannya? Dan lagi, Devan mulai bersandiwara mengelus puncak kepala istrinya dengan sayang. “Saya, selaku kepala keluarga, ingin menitipkan Eve kepada kalian. Mohon jika ada yang salah dengan Eve, tegur saja dia. Dan, Devan, saya benar-benar menitipkan Eve kepada kamu.” Devan mengangguk, wajahnya tetap tanpa emosi. "Jangan khawatir, Pak. Eve ada di tangan yang baik," jawab Devan dengan tenang, seolah-olah dia benar-benar peduli. Namun, Eve tahu bahwa kata-kata itu hanyalah bagian dari perannya sebagai pria yang penuh kendali. "Kalian tidak perlu khawatir, Eve akan kami anggap sebagai anak kami sendiri, selama ini kami juga ingin kehadiran seorang anak perempuan di hidup kami." Wira sebagai kepala keluarga membuka suaranya. "Justru kami yang berterima kasih, kalian sudah memperbolehkan Eve masuk di keluarga kami. Menemani hari-hari Devan." Sambung Raisa dengan senyum lebar yang tampak tulus. Devan menyesap kopi terakhirnya dengan cepat, lalu meletakkan cangkirnya di atas meja dengan sedikit keras, menarik perhatian semua orang. "Aku harap kita bisa menyelesaikan sarapan ini segera. Ada banyak hal yang harus aku urus," katanya dengan nada datar, meskipun kemarahan tersirat jelas dalam suaranya. Semua orang di meja memandangnya dengan sedikit kaget, tetapi tidak ada yang berani menanggapi. Raisa hanya mengangguk pelan, sementara Eve tetap diam, menundukkan kepalanya. Dalam hati, Eve bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya. Wira menatap Eve dan Devan dengan senyum penuh pengertian. "Baiklah, kalian berdua boleh pergi bersama. Biarkan kami di sini melanjutkan sarapan," tukasnya dengan nada ramah, seolah-olah mengira mereka adalah pasangan yang sedang menikmati awal bahagia dalam pernikahan mereka. Eve terkejut mendengar kata "berdua." Hatinya berdegup kencang, karena itu berarti dia harus kembali bersama Devan setelah semua yang terjadi semalam. Pikiran itu membuat dadanya terasa semakin sesak. Dia berusaha menenangkan dirinya, berusaha mencari alasan agar tidak perlu bersama Devan. Dengan suara lembut tapi penuh tekad, Eve berkata, "Ma, bisakah aku tetap di hotel saja menunggu Devan pulang? Aku sangat lelah setelah semua acara kemarin." Itu bukan kebohongan. Eve memang merasa lelah, secara fisik dan emosional, dan lebih dari segalanya, dia ingin menjauh dari Devan, setidaknya untuk beberapa saat. Dia berharap alasan itu cukup untuk membuatnya tetap di tempat yang aman. "Tenang saja, nak. Kamu bisa beristirahat bersama Devan. Kalian harus selalu bersama, bukan? Bentuk sebuah pengenalan," kata Feli lembut, penuh harap. Sebagai ibu, Feli hanya ingin yang terbaik bagi mereka. Tanpa sadar, permintaan Ibunya telah membuat Eve merasa terjebak dalam situasi yang tidak ia inginkan. Devan, di sisi lain, merasa amarahnya kembali bangkit. Ia tidak pernah ingin terikat dengan Eve, dan sekarang mereka memaksanya untuk terus bersama perempuan itu. Rasa penolakan menguasai dirinya, namun ia tahu bahwa menolak di depan keluarganya hanya akan membuat situasi semakin rumit. "Baik, Bu," jawab Eve dengan nada pasrah, senyum tipis menghiasi wajahnya meski hatinya penuh dengan keputusasaan. Devan tidak berkata apa-apa lagi, hanya berdiri dan menunggu Eve untuk mengikutinya keluar dari restoran. Eve menunduk, mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengikuti Devan dengan langkah berat, seolah-olah menuju takdir yang tidak bisa dia hindari. "Kita akan kemana?," tanya Eve yang mengikuti suaminya dari belakang. "Tidak perlu banyak tanya, dengan mengikuti ku kamu nanti akan paham." "Baiklah, Tapi kamu tidak akan membuang ku kan?," tanya Eve dengan polosnya. Devan tertawa, "Tentu saja aku akan membuang mu, menjauhi orang-orang yang sudah menggagalkan masa depan dan rencana ku!." Sahutnya dengan dingin. "Apa kamu serius?." Rasa ketakutannya semakin bertambah. Devan tidak menoleh saat Eve bertanya, langkahnya tetap mantap menuju pintu keluar hotel. Sedangkan Eve dengan langkah kecilnya terus mengikuti Devan, tentu dengan banyak pikiran di kepalanya. Mobil mewah melaju menembus jalanan kota yang ramai. Di dalam kabin yang luas, hanya ada mereka berdua, menciptakan suasana yang semakin intens. Eve duduk di kursi tepat di samping Devan, dengan tatapan cemas berusaha mencari kepastian dari sosok di sampingnya. "Apa kamu benar akan membuang ku? Ku mohon jangan," ucap Eve dengan nada penuh permohonan. Suaranya hampir tidak terdengar di tengah deru mesin mobil, tetapi penuh dengan rasa takut yang mendalam. Devan melirik sekilas ke arah Eve, mata tajamnya penuh dengan sikap dingin. "Kamu ini lucu," katanya dengan nada sinis. "Bagaimana mungkin kamu berpikir bahwa permohonan mu akan mempengaruhi keputusan yang sudah aku buat?" "Jadi kamu benar-benar akan membuang ku?" Devan menatapnya tajam. "Heh! Tolong berpikir jernih! Berpikir yang logis, kalau aku membuang mu apa kata orang tuaku?," katanya menegaskan. Eve meringis, baru sadar akan apa yang Devan katakan. Semua ini karena pikiran buruknya yang terus bersarang di kepala. Ia benar-benar takut jika Devan akan memperlakukannya dengan kasar lagi. "Terima kasih, karena kamu masih memahami ku," kata Eve dengan lembut, ia sendiri tak tahu mengapa tiba-tiba mengatakan hal itu. Tapi paling tidak ia berterima kasih kepada suaminya karena masih ingin memperlakukannya dengan baik. Devan sedikit terkejut, suara lembut itu berdesir di hatinya. Membuatnya mengingat akan sesuatu. "Ada yang ingin aku tanyakan," kata Eve membuka suara Devan tetap diam, memasang raut wajah datar tanpa emosi. "Baiklah, sepertinya kamu tidak ingin diganggu," kata Eve, ia memilih memandangi jalanan dari arah jendela mobil. Kini Eve paham, sepertinya kedua orang tuanya tak mengetahui sifat asli menantunya. Eve yakin, jika mereka tahu, sudah pasti kedua orang tuanya lebih memilih tidak merestui pernikahan ini daripada harus menerima mahar pernikahan yang begitu fantastis. Sekarang, Ia bingung dengan kehidupan barunya. Apalagi dengan mendapati suami seperti Devan semakin membuat hidupnya sama saja dalam kesengsaraan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN