Rindu akan kehangatan rumah dan keluarganya semakin kuat, tetapi Eve merasa terjebak dalam kehidupannya sekarang, di sisi Devan yang dingin. Hanya untuk menjaga perdamaian dan mempertahankan sandiwara ini, ia rela menahan semua perasaan yang membelenggunya. "Aku baik-baik saja, Ma," bisiknya pelan, meski tahu itu hanyalah kebohongan yang ia coba yakini sendiri.
Eve dengan cepat menyeka air matanya, mencoba menyembunyikan kesedihannya saat mendengar suara Devan dan Ana mendekat dari belakang.
"Ternyata kamu penurut juga."
"Dia kan sudah kamu bayar, sayang. Harusnya memang dia patuh," ucap Ana dengan nada sinis, membuat Eve merasa seperti tak lebih dari sekadar barang yang bisa dibeli.
Eve ingin sekali membalas, ingin mengeluarkan kata-kata yang tertahan di hatinya. Namun, ia tahu siapa dirinya—seorang istri yang hanya menjadi bagian dari permainan, tak punya hak untuk melawan atau menunjukkan perasaannya. Dengan tenang, ia menundukkan kepala, menahan gejolak yang ada dalam dadanya.
Eve menatap Devan yang berdiri di depannya, matanya berusaha mencari sesuatu dalam tatapan pria itu, tapi yang ia temukan hanyalah kekerasan dan kebencian yang semakin hari semakin tak tertahankan. Devan, seperti biasa, mengeluarkan perintah dengan nada dingin dan penuh otoritas.
"Sekarang kamu masuk ke dalam mobil, dan duduk di belakang," katanya sambil mengunci tatapan pada Eve, matanya menyipit sedikit, seolah tak mau mendengar penolakan.
Eve menggigit bibirnya. Dia ingin bertanya, merasa butuh penjelasan, tapi dalam setiap pengalaman sebelumnya, dia tahu itu hanya akan memancing amarah Devan. Namun, tetap saja, sesuatu dalam dirinya ingin tahu.
"Kita akan kemana?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, tapi matanya tetap berusaha bertahan untuk tidak menunjukkan ketakutan.
Wajah Devan berubah sekilas, sebuah senyum sinis terlukis di bibirnya. "Bukan urusanmu," jawabnya dengan nada mengejek, seolah pertanyaan itu hanyalah gangguan kecil dalam rencananya.
Eve menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat. Dia tahu Devan tak akan memberinya jawaban yang diinginkannya, namun dia tak bisa menahan pertanyaan itu.
Devan mendekat, wajahnya semakin dingin, dan suaranya terdengar penuh kemarahan. "Lagi pula, aku bingung," katanya sambil melipat tangannya di d**a, "Setiap kali aku memerintahkanmu ikut, kamu selalu bertanya. Tidak bisakah cukup mengikut saja?" Nada geram keluar dari bibirnya, membuat suasana semakin tegang.
Eve terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Bukan karena takut, tapi karena frustrasi. "Aku hanya ingin tahu, Devan," jawabnya pelan, mencoba mengontrol perasaannya. Dia selalu merasa seperti itu—hampa, tak berarti, seolah-olah dia hanya ada untuk mengikuti perintah tanpa hak untuk tahu apapun tentang hidupnya sendiri.
Devan meliriknya dengan tatapan tajam, lalu mendekat, wajahnya berada hanya beberapa inci dari wajah Eve. "Kamu tidak perlu tahu apa-apa," katanya, suaranya terdengar rendah namun penuh ancaman. "Ikuti saja perintahku, dan kita tidak akan punya masalah. Paham?"
Eve menunduk, menelan ludah dengan susah payah. "Baik," bisiknya lemah. Dia tahu tak ada gunanya melawan, tak ada gunanya bertanya. Devan tak pernah menganggapnya lebih dari sekedar pion di permainan hidupnya.
"Kamu itu cuma babu di kehidupan kita, Eve," suara Ana terdengar tajam dan penuh dengan ejekan. Perempuan itu melipat tangan di dadanya, menyeringai puas saat melihat Eve yang terdiam di kursi belakang. "Jadi, jangan banyak tanya. Masih untung kita peduli dan tidak membuangmu."
Eve menunduk, jantungnya terasa mencelos mendengar kata-kata itu. Rasa perih yang sudah lama ia coba tekan kembali mengemuka, namun dia berusaha untuk tetap tenang, menahan air mata yang mendesak keluar.
Ana melirik ke arah Devan, seolah menunggu dukungan dari kekasihnya. Tapi Devan hanya mengangkat bahu, tak memperlihatkan ekspresi apapun di wajahnya yang dingin.
"Kamu dengar kan?" lanjut Ana, suaranya kini semakin tajam. "Jangan pernah berpikir kamu penting di sini. Kamu hanyalah seseorang yang kami pakai untuk... menjaga nama baik. Itu saja."
Eve tahu Ana benar. Dia tahu sejak awal pernikahannya dengan Devan hanyalah sebuah sandiwara besar. Tapi mendengar Ana mengucapkannya dengan begitu blak-blakan, dengan nada yang menghina, membuat hatinya seakan hancur lebih dari sebelumnya. Dia menarik napas dalam-dalam, berharap bisa menahan rasa sakit yang kini menggumpal di dadanya.
Eve menatap lurus ke arah Ana, matanya yang mulai berkaca-kaca menunjukkan perasaan sedih yang tak bisa lagi ia sembunyikan. "Maaf, aku paham siapa aku di sini," ucapnya dengan suara yang pelan namun tegas. "Aku memang orang miskin, tapi aku juga punya hak untuk membela diriku."
Ana mengangkat alisnya, terkejut sejenak oleh keberanian yang tak biasa dari Eve. Sementara Devan hanya menoleh sekilas melalui kaca spion, wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi.
"Membela dirimu?" Ana tertawa kecil, sinis. "Hak apa yang kamu pikir kamu punya di sini? Kamu bahkan tidak sepadan dengan kita. Kamu hanya beruntung karena Devan menikahimu, itu saja."
Eve menggeleng pelan, menahan air mata yang nyaris tumpah. "Kamu mungkin benar, Ana. Aku beruntung karena keadaan membawa aku ke sini. Tapi perasaan manusia tidak bisa diukur dengan uang. Aku tidak meminta banyak, hanya sedikit penghargaan, sedikit rasa hormat."
Ana mendengus, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Devan, yang dari tadi hanya diam, akhirnya bersuara.
"Cukup, Ana," katanya datar, tanpa menoleh. "Kita tidak perlu membuat drama di sini."
Ana terdiam, namun tatapannya pada Eve penuh dengan kebencian. Eve menunduk, perasaan sedih dan putus asa menguasai hatinya, namun ada sesuatu yang aneh di sana—sebuah percikan kecil keberanian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Mobil itu melaju keluar dari halaman parkiran pusat perbelanjaan, suasana di dalamnya masih tegang dan dingin. Devan memfokuskan pandangannya ke jalan, sementara Ana sibuk memerhatikan dirinya di kaca spion, memperbaiki riasan wajahnya yang sempurna. Namun, ucapannya yang penuh sindiran segera memecahkan keheningan.
"Aku juga heran dengan orang tuamu, sayang," Ana berujar pelan namun penuh penghinaan, tatapannya mengarah ke Eve yang duduk di belakang. "Mengapa kamu dijodohkan dengan perempuan desa dan udik seperti Eve."
Devan mendesah pelan, seolah tak ingin terlibat dalam perdebatan itu. "Sudahlah Ana, aku tidak ingin memikirkan hal itu lagi. Lagi pula…" kalimatnya terputus sejenak, suaranya datar tanpa emosi.
Tiba-tiba, suara Eve terdengar, lebih kuat dari biasanya. "Bukan cuma Devan yang merasa dirugikan, Ana," ucap Eve dengan nada tegas, meski ada getaran di sana. "Aku juga merasa dirugikan. Apa kamu pikir aku bahagia dengan pernikahan ini?"
Ana menoleh cepat ke belakang, matanya menyipit tajam. "Apa katamu?" tanyanya dengan nada yang terdengar hampir tak percaya.
Eve mengangkat dagunya sedikit, meski hatinya gemetar. "Aku tidak pernah meminta untuk berada di sini, menikah dengan Devan. Aku tidak pernah meminta untuk diatur dalam pernikahan yang tidak berarti ini." Ia menatap langsung ke mata Ana, berusaha menunjukkan keberanian yang baru ditemukannya.
Devan, yang dari tadi hanya diam, mengeraskan rahangnya. Tatapannya tetap lurus ke depan, namun ada kilatan amarah yang terlihat jelas di matanya. "Eve, diam." ucapnya dingin. "Ini bukan tentang perasaanmu. Ini tentang kesepakatan."
Eve terdiam sejenak, rasa sakit dan perasaan tertekan menyesakkan dadanya. Tapi ia tak bisa lagi mundur. "Kesepakatan?" bisiknya, matanya mulai berkaca-kaca. "Sejak kapan perasaan manusia bisa dijadikan kesepakatan?"
Ana tertawa kecil, sinis, namun tidak mengatakan apa-apa lagi. Mobil melaju lebih cepat, seolah menambah intensitas ketegangan di antara mereka bertiga.
Eve menggigit bibirnya, menahan kesedihan dan kemarahan yang bergolak di dalam dirinya. "Sekarang aku paham," ujarnya dengan nada penuh rasa sakit. "Orang-orang seperti kalian ternyata lebih mementingkan uang dan kekuasaan. Tidak ada hati nurani, kalian sama halnya dengan iblis."
Ana menatap Eve dengan tajam, ekspresi wajahnya berubah menjadi marah. "Berani ya kamu," katanya dengan nada menyindir. "Aku tidak pernah mengira kamu akan memiliki nyali sebesar ini."
Tanpa menunggu tanggapan Devan, Ana memerintahkan dengan keras, "Turunkan dia sayang."
Devan tertegun sejenak, tidak langsung mematuhi perintah Ana. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang membuatnya sulit untuk bertindak sesuai dengan instruksi Ana. Selama bertahun-tahun dalam dunia bawah, Devan telah terbiasa dengan kekuasaan dan uang, dan sering kali mengabaikan perasaan orang lain. Namun, saat ini, kata-kata Eve mempengaruhi dirinya dengan cara yang tidak terduga.
Di dalam mobil, suasana terasa tegang. Devan terbenam dalam pikirannya sendiri, tidak bisa sepenuhnya fokus pada permintaan Ana. Selama ini, tidak ada yang benar-benar menegur atau peduli dengan perasaan dan pekerjaannya. Ana selalu mendukung dan menyemangatinya, bahkan ketika tindakannya salah. Namun, Eve adalah satu-satunya yang berbeda—perempuan itu memaksa Devan untuk melihat hal-hal dari sudut pandang yang lain.
"Sayang, kenapa diam? Aku minta turunkan dia," desak Ana dengan nada memaksa.
Devan tersentak dari lamunannya dan menatap Ana dengan tatapan yang kosong, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke jalan. "Tidak perlu, sebentar lagi kita akan sampai. Kamu tenanglah, nanti aku akan memberikan pelajaran pada Eve."
Eve yang duduk di kursi belakang, terkejut mendengar kata-kata Devan. Hatinya berdebar kencang, dan ketakutan mulai menguasai dirinya. "Pelajaran apa?" pikirnya, "Apakah aku akan diperlakukan kasar seperti malam itu?"
Dengan cepat, Eve mengambil keputusan. Ia tidak bisa membiarkan apa yang mungkin akan terjadi. Tanpa menghiraukan Devan dan Ana, Eve membuka pintu mobil dan melompat keluar. Langkahnya cepat dan terburu-buru, berlari menjauh dari mobil, berusaha mencari tempat aman di tengah hiruk-pikuk kota.
Devan dan Ana terkejut dengan tindakan mendadak Eve. "Apa yang dia lakukan?" teriak Ana, wajahnya memerah marah. Devan, yang awalnya tampak tidak peduli, tiba-tiba merasa khawatir.
"Eve, tunggu!" teriak Devan, namun Eve sudah terlalu jauh. Devan berlari mengejar Eve, sementara Ana hanya bisa menatap dengan frustasi.
Eve terus berlari, mencoba menjauh dari ancaman yang dirasakannya. Di tengah pelarian, pikirannya dipenuhi dengan rasa takut dan harapan untuk menemukan tempat aman. Hatinya penuh dengan rasa sakit dan ketidakberdayaan, berharap bahwa keputusannya untuk melarikan diri akan membawanya jauh dari bahaya yang mengancamnya.