“Apa maksudmu bicara begitu?!”
Suara seorang pria paruh baya begitu menggelegar, sampai ke sudut ruang tamu saat ini. Dia menatap marah ke arah anak buahnya yang sedang berdiri di hadapannya saat ini.
Pria paruh baya itu adalah Seno Hadiningrat. Salah satu pengusaha sukses keturunan konglomerat di kota Jakarta. Seno marah, setelah mendengar laporan dari sang anak buah—Bima.
“Saya tidak akan segan-segan menembak kepalamu jika sampai informasi yang kau berikan salah!”
“Maaf, Pak Seno. Tapi apa yang barusan saya sampaikan pada Anda benar adanya. Nona Jeanna benar-benar diperlakukan tidak baik di keluarga suaminya. Dan soal desas-desus perceraian yang saya dengar dari tetangga-tetangga sekitarnya pun benar. Bukan hanya gosip belaka, Pak Seno. Nona Jeanna sudah bercerai dengan Raditya.”
Nafas Seno nampak terengah. Pria itu bahkan turut memegangi dadanya yang mendadak terasa sesak. Kabar mengenai Jeanna—sang anak, membuat Seno terkejut dan dirundung oleh rasa khawatir yang begitu besar.
Tidak ada yang namanya mantan anak, ataupun bekas anak. Anak tetaplah anak. Mau anaknya se-salah apapun, Seno tetap akan menganggapnya anak.
“Pak—”
“Kau sudah berhasil menemukannya atau belum? Jika belum, buat laporan saja ke kantor polisi. Sekalian laporkan keluarga laki-laki b******n tidak tahu diri itu juga.” Seno menyela.
“Pak, saya sudah menemukan dimana tempat tinggal Nona Jeanna saat ini.” sahut Bima dengan cepat. “Anda tenang saja, Nona Jeanna tampak baik-baik saja saat ini.” lanjutnya menenangkan.
Sebelumnya, Bimo sempat kehilangan jejak kepergian Jeanna. Sebab di malam Jeanna pergi meninggalkan kediaman Raditya, Bima tidak berada di tempat, karena pada hari itu Bimo mengambil jatah liburnya. Karena itu pula, dia sempat mendapatkan amukan hebat dari sang tuan.
Mungkin, jika dia tak bisa menemukan keberadaan Jeanna, pasti saat ini dia sudah berada di dalam liang lahat. Sebab dia tahu, bagaimana sifat Seno yang sesungguhnya.
“Di mana dia sekarang?”
“Nona Jeanna saat ini berada di sebuah kos-kosan, Pak. Saya sudah pastikan jika Nona Jeanna memang benar tinggal di sebuah kos-kosan khusus putri.”
Mendengar itu, Seno terdiam sejenak. Benar-benar tidak menyangka jika sang anak harus berakhir seperti itu. Diam-diam Seno mengepalkan tangannya dengan kuat.
“Ya sudah, kau pantau terus dia. Jangan sampai lengah dan kehilangan jejak lagi seperti kemarin.” ujar Seno dengan tatapan serius. “Dan juga, aku mau kau perintahkan salah satu bawahanmu untuk mengawasi terus pria yang bernama Raditya itu. Jangan sampai lepas sebelum diketahui alasan pasti mengapa dia dan anakku bercerai.”
“Baik, Pak Seno. Saya akan lakukan semua perintah Anda.”
Suara langkah seseorang yang tengah menuruni tangga membuat Seno akhirnya menyuruh Bima untuk segera pergi dari hadapannya. Pria paruh baya itu rupanya tak mau jika ada yang mengetahui apapun yang sedang dia bicarakan dengan Bima.
Apalagi jika hal ini diketahui oleh Sinta—istrinya.
Sinta, wanita berusia 47 tahun itu mendekat pada Seno yang masih duduk di sofa single. Sinta sempat melirik ke arah Bima yang barusan pergi meninggalkan ruang tamu tatkala melihatnya datang. Sinta yakin, pasti ada pembicaraan atau sesuatu yang mungkin sedang disembunyikan. Dan yang pasti, disembunyikan darinya.
“Mas, kenapa Bima datang kemari pagi-pagi sekali? Mas Seno menyuruhnya untuk melakukan apa lagi sekarang? Tidak aneh-aneh kan, Mas?”
“Untuk apa juga kau ingin tahu? Terserahku mau menyuruhnya melakukan apa. Kau tidak perlu ikut campur.” jawabnya dingin.
Sinta sudah terbiasa dengan sifat sang suami yang sudah ia nikahi selama hampir 7 tahun ini. Bukan hanya sekali atau dua kali pria itu menyahut dengan bicara yang dingin seperti barusan. Sinta benar-benar sudah kebal, dan tidak yang terlalu baperan.
“Bukannya aku mau ikut campur dengan urusan Mas Seno. Cuma sebagai istri, aku hanya ingin mengingatkan saja.” sahut Sinta. Masih berusaha untuk menjelaskan. Karena dia sendiri tak mau jika nantinya percakapan mereka justru berujung dengan perdebatan. “Ya sudah, ayo ke ruang makan. Sarapan dulu, Mas.”
Sinta lekas membantu sang suami untuk duduk di kursi roda. Sudah hampir 3 bulan ini, kondisi kesehatan Seno menurun. Karena itulah, Seno hanya bisa mengurus perusahaan dari rumah. Dan melimpahkan semua yang tak bisa kerjakan pada sang personal assisten. Seperti menghadiri pertemuan penting, cek progres pembangunan kerjasama, dan masih banyak yang lainnya.
Tiba di ruang makan, Seno menatap sarapan yang ada di depannya dengan pandangan tak bernafsu sama sekali. Entah mengapa, nafsu makannya juga menurun.
Sinta yang sudah hafal betul hanya bisa menghela nafas pelan. Dia tetap menyiapkan sarapan untuk sang suami.
“Di makan dulu, Mas. Baru setelah itu minum obatnya.”
“Aku tidak berselera.”
“Mas mau sarapan pakai roti saja? Aku buatkan ya, Mas.” sahut Sinta. Belum sempat Seno membalas, Sinta buru-buru melanjutkan, “jangan menolak lagi. Kesehatanmu bisa semakin menurun kalau susah makannya, Mas. Kalau kau sudah tidak peduli dengan kesehatan diri sendiri, setidaknya kau harus mikirin orang yang peduli padamu.”
“Siapa yang masih peduli dengan pria tua bangka dan penyakitan sepertiku ini, Sinta?” sahut Seno. Lalu pria itu tersenyum kecut.
“Jangan tanya siapa. Ya, jelas aku.” balas Sinta dengan cepat sambil mengoleskan selai coklat pada roti. Sinta melirik ke arah Seno sebelum melanjutkan ucapannya. “Bahkan anakmu—Jeanna, pasti peduli padamu.”
Suasana di meja makan mendadak menjadi hening. Sinta sadar betul dengan perubahan ekspresi sang suami saat ini. Tapi Sinta sama sekali tidak merasa bersalah sudah menyebut nama Jeanna.
“Tidak perlu menyebut nama orang yang sudah memilih untuk keluar dari keluarga ini.” ujar Seno dengan tegas.
Sinta tahu, sekeras apapun sang suami berkata begitu, nyatanya memang tidak demikian. Di depannya saja tampak benci dan marah. Padahal di belakang sangat peduli dan sayang.
Sedikit banyaknya, Sinta mengetahui jika sang suami kerap kali memerintah Bima untuk mencari tahu mengenai Jeanna. Tapi selama ini Sinta memilih diam dan berpura-pura tidak tahu, karena tak mau membuat sang suami malu karena ketahuan memiliki gengsi yang begitu besar.
Sinta bahkan berpikir jika tadi Bima menghadap pada sang suami juga pasti membicarakan soal Jeanna. Itu sudah pasti, tidak mungkin tidak.
“Mas, sudah 6 tahun. Mau sampai kapan Mas Seno begini? Ayolah, Mas. Mengalah saja dan bujuk Jeanna untuk pulang. Cuma dia juga yang bisa handle perusahaanmu.”
“Untuk apa aku harus membujuknya pulang? Dia sendiri yang memilih untuk pergi.”
Sumpah demi Tuhan, Sinta sampai tak tahu harus bagaimana jika sang suami keras kepala begini. Bisa-bisanya berpura-pura tidak peduli, tapi diam-diam mencari tahu kabar sang anak. Benar-benar mengedepankan ego dan gengsinya sendiri.
“Mas—”
“Sudahlah, jangan membuatku semakin tidak bernafsu untuk makan.” ujar Seno menyela, yang mana membuat Sinta akhirnya memilih untuk diam dan mengalah.
Memang akan sulit baginya mendebat Seno. Hanya Jeanna yang bisa balik mendebat seorang Seno Hadiningrat.