Mulai Menata Hidup Kembali

1008 Kata
Sudah cukup untuk Jeanna mengurung diri dan enggan bertemu orang lain selama berminggu-minggu. Dia tidak mau lama-lama berlarut dalam hal yang menyakitkan. Semuanya sudah usai, kini waktunya untuk bangkit dan memulai semuanya dari awal. Jeanna akan memulai semuanya dari diri sendiri. Mulai memanjakan diri untuk pergi ke salon seperti sebelum-sebelumnya. Kini, Jeanna paham akan maksud lebih baik mencintai diri sendiri itu ya seperti ini. Sebab terlalu mencintai orang yang cintanya tak seimbang dengan cinta kita rasa sakitnya bukan main. Sampai sekarang pun, luka itu masih berbekas. Bahkan mungkin selamanya akan tetap ada, walau nanti dia sudah mendapatkan bahagianya kembali. Selain itu, Jeanna juga harus mencari pekerjaan. Dia tak mungkin bisa begini-begini terus tanpa adanya pemasukan. Sebagian tabungannya sudah habis untuk biaya menginapnya di hotel saat itu selama tiga hari. Biaya untuk makan juga sehari-hari dan untuk biaya kos selama tiga bulan. Tidak mungkin juga dia menginap di hotel terus-terusan. Yang ada, tabungannya yang sedikit itu bisa habis dalam sekejap. Jeanna menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Dia menoleh ke arah jalanan kota Jakarta yang selalu padat merayap. Saat ini, dia sedang berada di sebuah kafe untuk bertemu dengan Tania. Beberapa waktu lalu, keduanya memang membuat janji temu di kafe tersebut, setelah terakhir kali pertemuan mereka di malam itu. Jeanna memilih tempat duduk yang paling pojok di dekat jendela. Selagi menunggu kedatangan Tania, ia bisa memanjakan matanya dengan kepadatan kota Jakarta. Ya, Jakarta selalu ramai dan penuh. Beda dengan hatinya yang kosong dan sepi. Jeanna sontak tersenyum miris. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri jika setelah semua yang terjadi, dia akan tetap sendiri. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk memulai kisah percintaan lagi, setelah dirinya gagal dalam menjalani biduk rumah tangga. “Jeanna!” Sang pemilik nama segera menoleh ke sumber suara dengan cepat. Jeanna tersenyum ke arah Tania yang baru saja duduk di seberangnya saat ini. “Duh, sorry Je, kau sudah menunggu ku lama ya di sini? Maaf yaa, aku tadi harus mampir sebentar ke tempat temanku. Tidak enak jika aku langsung pergi. Ada mertuanya di sana." “Oh, temanmu sudah menikah?” “Eh bukan, maksudku belum. Maaf, maksudku calon mertuanya.” jawab Tania membenarkan. “Duh, mulutku ini memang selalu berantakan jika bicara, Jeanna. Temanku itu belum menikah. Tapi memang sepertinya akan menikah sebentar lagi.” “Oh, belum menikah? Tapi kenapa kau justru mengantarnya ke rumah calon suaminya?” “Dia sudah tinggal di sana, Je. Aku juga sebenarnya tidak paham bagaimana ceritanya dia bisa tinggal satu rumah dengan calon suami dan mertuanya. Padahal kan memang jelas-jelas mereka belum menikah, tapi sudah tinggal satu rumah.” jawab Tania. Puan itu memang suka sekali bicara apa adanya. Bukan orang yang suka berpihak sebelah. “Bukan hanya kau saja yang keheranan. Aku sebagai temannya pun heran sekali, kenapa bisa dia tinggal serumah dengan calon suami dan mertuanya. Ya, tapi mungkin memang sudah mendapatkan izin dari orang tuanya. Dia tidak cerita apapun sih padaku. Jadi ya, aku tidak tahu.” Jeanna sontak ber-oh ria, seraya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. “Sudah lah, untuk apa juga kita membicarakan soal temanku itu? Bisa kegigit-gigit itu bibir atau lidahnya kalau kita bicarakan terus.” “Kau percaya dengan yang begituan juga, Nia? Aku pikir kau bukan tipe orang yang percaya soal begituan.” “Bara sering sekali keceplosan begitu, tiap kali bibir atau lidahnya tak sengaja tergigit sendiri.” “Ah, begitu...” sahut Jeanna, menanggapinya dengan singkat. “Oh ya, kau mau pesan apa? Maaf, aku sudah pesan minuman lebih dulu." “Santai saja, Jeanna.” sahut Tania, mengakui jika memang datang terlambat. Tania lantas memesan minuman dan juga makanan, sebelum melanjutkan obrolannya bersama Jeanna. Begitu pula Jeanna yang kembali memesan. +++ Jeanna dan Tania kembali asyik mengobrol, setelah menghabiskan makan siang mereka. Obrolan mereka berdua juga tidak jauh-jauh dari kenangan semasa kuliah dulu di London. Selain itu, keduanya juga membicarakan seputar dunia bisnis. Sedikit banyaknya Jeanna bisa tahu ilmu baru dari Tania. Mungkin, jika Jeanna tidak nekat pergi meninggalkan rumah kala itu, saat ini dia pasti sudah memimpin perusahaan sang ayah. “Oh iya, kau mau bicara apa, Jeanna? Aku sampai lupa kalau kau mau bicara sesuatu denganku. Keasyikan bicara soal bisnis, aku jadi lupa. Kau juga sih, kenapa tidak mengingatkan aku?” “Astaga Nia, tidak masalah sama sekali. Aku justru senang mendengar kau yang banyak bicara begini. Apalagi bicara soal bisnis." sahut Jeanna. Puan itu memang benar-benar mendengarkan dan senang-senang saja mendengar setiap yang Tania bicarakan. Terlebih mengenai bisnis, yang mana membuat Jeanna bisa mendapatkan ilmu baru dalam bidang tersebut. Maklum, sudah lama ia tak terjun ke dalam bidang tersebut. “Ah, kau ini. Harusnya aku tidak perlu bicara panjang lebar pada orang yang lebih pandai soal bisnis daripada aku. Kau ini kan sangat—” “Biasa saja.” Jeanna menyela dengan cepat. “Oh oke, Je.” balasnya agak sedikit ragu. “Kau mau bicara apa tadi? Ada yang penting?” “Hmm, sebenarnya aku sedang butuh pekerjaan, Nia. Apa kau bisa membantuku?” tanya Jeanna. Dia benar-benar tidak punya pilihan saat ini. Sebab ia sangat membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup. Tidak mungkin ia bisa bertahan dengan sisa tabungannya yang sudah sangat menipis itu? “Je, ini serius? Kau benar-benar membutuhkan pekerjaan? Bukannya kau ini kan—” “Intinya aku butuh, Tania.” Jeanna menyela. Dia tahu sekali kemana arah yang akan Tania ucapkan. Untuk itu, ia mencegahnya lebih dulu. “Aku butuh info lowongan kerjanya saja sih sebenarnya. Selebihnya aku akan melamar pekerjaannya sendiri. Tidak perlu kau bantu untuk bisa masuk.” “Sebentar dulu, aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa kau tiba-tiba butuh pekerjaan, padahal kan kau ini—” “Kalau begitu tidak usah. Maaf sudah merepotkanmu. Tidak seharusnya aku memintamu untuk mencarikan lowongan pekerjaan. Maaf, Nia.” Tania lekas menggeleng dengan cepat seraya menggerakkan tangannya. “Bukan begitu, Jeanna. Tidak repot sama sekali. Kalau begitu nanti aku kabari ya jika sudah mendapatkan informasi lowongan pekerjaan. Coba aku tanyakan pada temanku. Semoga saja di perusahaannya masih ada lowongan. Tapi aku tidak bisa janji, tidak apa kan?” Jeanna mengangguk. “Tidak masalah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN