Jeanna mengerutkan keningnya, begitu mendengar suara ketukan berkali-kali pada pintu kamarnya. Jujur saja, Jeanna malas untuk keluar kamar, sebab di kos-kosan tersebut tidak ada yang Jeanna kenal sama sekali. Hanya sekedar tahu saja bagaimana rupa dari beberapa orang yang satu kos-kosan dengannya.
Tidak ada pilihan lain bagi Jeanna selain membukakan pintunya. Agak ngeri jika tiba-tiba dia diamuk hanya karena perkara tidak mau membukakan pintu.
Sebenarnya juga bukan malas yang benar-benar malas. Jeanna hanya tidak mau jika nanti ada yang menuduhnya aneh-aneh, sebab di sini semuanya serba bersama. Kamar mandi bersama, dapur bersama dan kulkas bersama.
“Ya, ada apa?”
“Namamu Jeanna kan?” tanya seorang wanita berambut pendek, pelaku yang baru saja mengetuk kamar Jeanna. “Ada orang di depan yang sedang mencari seseorang yang bernama Jeanna. Setahu ku, anak kos yang lama tidak ada yang bernama Jeanna. Maka dari itu, aku langsung mengetuk kamarmu.”
“Oh, ya sudah.” sahut Jeanna dengan cepat. “Tapi kalau boleh tahu, siapa yang mencariku? Beritahu aku ciri-cirinya saja.”
“Wanita setengah baya, rambutnya pendek sebahu. Kalau dilihat dari penampilannya sih sepertinya dari kalangan orang berada.”
Jeanna sontak mengerutkan keningnya begitu mendengar ciri-ciri yang baru saja disebutkan oleh penghuni kos tersebut.
“Kenapa memangnya?”
Jeanna lekas menggeleng. “Tidak apa-apa. Hanya memastikan saja jika orang yang mencariku adalah orang yang sedang aku pikirkan saat ini.”
“Oh begitu? Ya sudah ya, aku mau langsung kembali ke kamar. Kau cepatlah keluar dan temui orangnya. Dia menunggu di teras depan.”
“Hmm, thanks!” sahut Jeanna, dan dibalas dengan anggukan.
Tanpa pikir panjang, Jeanna langsung pergi menuju ke teras depan, untuk memastikan siapa yang datang menemuinya. Karena jujur saja, Jeanna penasaran. Sebab Jeanna sama sekali tidak pernah memberitahu siapapun jika dia berada di kos tersebut.
Bahkan Tania yang selalu bertukar kabar dengannya pun tidak ia beritahu dimana tempatnya tinggal saat ini.
Jeanna semakin mempercepat langkahnya, dan berhenti tepat di teras rumah kos-kosan tersebut. Salah satu alis Jeanna terangkat, begitu mendapati seorang wanita yang tengah berdiri membelakanginya saat ini.
Jeanna sampai bertanya-tanya, siapakah gerangan orang tersebut. Bahkan Jeanna tak mampu untuk menebaknya.
“Maaf, Anda siapa—”
“Jeanna.”
Raut wajah Jeanna seketika berubah, saat wanita tersebut membalikkan tubuh dan tersenyum padanya. “Ngapain Tante Sinta ke sini? Tahu dari siapa juga kalau aku ada di sini, hah?”
“Ayo kita bicara dulu, Jeanna. Ada yang mau tante—”
Jeanna menggeleng. “Tidak. Pulang sekarang, Tante. Aku tidak mau melihat wajah Tante Sinta!”
Kini, gantian Sinta yang menggelengkan kepalanya. Wanita itu harus lebih keras dari Jeanna, sebab sekarang ia tak bisa berdiam diri terus.
“Tante tidak akan pulang sebelum kita bicara, Jeanna.”
“Apa yang mau dibicarakan lagi sih Tan? Urusan kita sudah berakhir sejak saat itu. Sudah bertahun-tahun lamanya, mau bahas—”
“Ini soal ayahmu.” Sinta menyela, yang mana langsung membuat Jeanna terdiam dengan bibir yang terkatup rapat. “Izinkan tante bicara sebentar denganmu, Jeanna. Tante janji, cuma sebentar. Ya, Jeanna? Ini soal ayahmu.”
Jeanna terdiam cukup lama, begitu mendengar alasan yang disampaikan oleh Sinta adalah sang ayah. Jeanna masih menimbang-nimbang, apakah dia harus memberikan kesempatan pada Sinta untuk bicara atau tidak.
Jeanna benar-benar masih membenci Sinta. Tapi rasa penasarannya begitu besar mengenai hal apa yang akan disampaikan oleh wanita paruh baya tersebut. Tidak ada pilihan lain selain memberikan kesempatan pada sang ibu tiri yang selama ini tidak pernah Jeanna harapkan kehadirannya.
Di sinilah akhirnya Jeanna dan Sinta berada. Duduk berdua di sebuah taman yang jaraknya hanya beberapa langkah dari rumah tempatnya kost.
Duduk bersebelahan di sebuah bangku panjang. Belum ada yang membuka suara, sejak keduanya sampai dan duduk di sana. Hingga terdengar suara helaan nafas berat dari Jeanna.
“Mau sampai kapan diam seperti ini terus, Tan? Tante ingin bicara apa sebenarnya? Ayah kenapa?” tanya Jeanna yang lebih dulu membuka pembicaraan. Puan itu memilih untuk mengalah, daripada harus diam terus seperti sebelumnya.
“Ayahmu sudah 3 bulanan ini di rumah. Sempat mengalami struk ringan juga, tapi bersyukurnya sudah membaik. Hanya saja memang kesehatannya sekarang sudah sering menurun.”
Jeanna masih diam dan mendengarkan sampai sang ibu tiri selesai bicara.
“Pulang, Jeanna. Ayahmu sangat merindukan dirimu. Dia benar-benar sangat menyayangi mu, Jeanna.”
Jeanna tersenyum kecut. “Mana mungkin ayah rindu padaku? Kalau memang sayang, ayah tidak akan mungkin membiarkan aku pergi begitu saja dari rumah 6 tahun yang lalu, Tante!”
“Kau hafal betul bagaimana sifat ayahmu, Jeanna. Harusnya kau paham jika ayahmu itu memang—”
“Buktinya ayah lebih memilih Tante Sinta daripada aku yang anaknya sendiri! Ayah lebih mementingkan kebahagiaannya sendiri daripada aku!”
“Je, ayahmu itu sangat sayang padamu! Saking sayangnya, dia benar-benar memikirkan kebahagiaanmu, Jeanna.”
“Kebahagiaan mana yang Tante maksud? Kebahagiaan mana yang dipikirkan oleh ayah buatku, Tan? Tidak ada, Tante! Tidak ada sama sekali!”
“Ada, Jeanna! Jelas ada!” balas Sinta tak mau kalah. “Selama ini, ayahmu menyuruh orang untuk terus mengawasimu. Dia selalu ingin memastikan jika anaknya baik-baik saja di luar sana. Dia ingin memastikan juga kalau kau bahagia dengan pilihanmu sendiri. Sebegitu sayangnya ayahmu itu padamu, Jeanna! Bahkan apa yang sedang menimpamu saat ini pun, ayahmu sudah mengetahuinya. Butuh bukti apa lagi, Jeanna?”
Mata Jeanna mulai berkaca-kaca. Dia menggeleng, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Sumpah demi Tuhan, dia tidak suka dengan candaan seperti ini.
“Bohong! Tidak mungkin jika ayah—”
“Semuanya benar, Jeanna! Tante tidak bohong, tante berani bersumpah untuk itu. Ayahmu memang menyuruh orang untuk memantau keadaanmu selama ini. Jadi Tante mohon, pulang Jeanna.”
“Tidak, aku tidak akan pernah mau pulang. Aku tidak bisa pulang, Tan. Aku malu.”
“Kenapa harus malu? Justru kau harus bersikap tidak tahu malu untuk menghadap ayahmu, Jeanna.” sahut Sinta. Kemudian dia menyentuh tangan Jeanna dengan hati-hati, karena takut jika Jeanna menepis tangannya. Namun, ketakutannya ternyata tak berarti apapun. Jeanna sama sekali tak menepis tangannya seperti yang sudah-sudah. “Tolong sekali saja, mengalah lah di hadapan ayahmu. Dia itu sebenarnya peduli dan sangat merindukanmu. Tapi sifat gengsinya yang terlalu tinggi, membuatnya harus menutupi semua itu dari siapapun, termasuk tante. Percaya sama tante, Je.”
Jeanna menatap sang ibu tiri dengan tatapan serius. Jeanna bahkan mencari-cari kebohongan dari kedua mata sang ibu tiri, namun tak menemukannya sama sekali. Hati Jeanna menjadi bimbang sekarang.
“Tante akui, ayahmu itu memang pengecut. Tapi saat ini, kau sebagai anak yang harus rela mengalah. Temui ayahmu, Jeanna. Tante yakin, ayahmu akan sangat senang jika kau pulang.”
“Setelah semua yang terjadi, mana mungkin ayah mau menerimaku lagi?” sahut Jeanna dengan mata yang mulai berair.
“Buang jauh-jauh pertanyaan itu, Jeanna. Sampai kapanpun juga, tentu saja ayahmu akan selalu nerima dirimu. Pintu rumah setiap harinya selalu terbuka untukmu. Ayahmu selalu menunggu kau pulang. Jadi, tante mohon padamu, kembali lah pulang, Jeanna!”