Aluna berbaring di atas tempat tidur setelah pulang dari kampus sekaligus makan siang bersama Lia. Sampai rumah cukup sore karena mereka cukup lama di restoran, menunggu Angkasa pergi lebih dulu. Pikiran Aluna tertuju ketika ia bertemu dengan Angkasa, bersama dengan seorang wanita. Bukan cemburu karena tidak semudah itu menyukai seseorang, berbeda dengan rasa kagum. Aluna hanya merasa penasaran, apakah wanita itu adalah tipe wanita idaman seorang Angkasa yang dingin dan kaku.
“Wah perempuan tadi hebat ya bisa meluluhkan hati Mister Angkasa. Cantik dan terlihat cocok.” Gumamnya pelan.
Disaat pikirannya tertuju kepada Angkasa dan wanita yang bersama dengan pria itu, tiba-tiba saja Aluna ingat sesuatu yang lain. Gosip yang beredar di kampus ternyata benar-benar cepat. Ada rasa khawatir yang kembali menyerang Aluna. Bagaimana jika gosip ini didengar oleh dosen yang lain. Yang paling membuat Aluna ngeri adalah ayah Angkasa sekaligus pemilik dari kampus tahu mengenai gosip ini, pasti akan menimbulkan salah paham. Belum lagi jika wanita tadi tahu, bisa-bisa Aluna dalam masalah besar. Meski satu sisi ada rasa senang karena tentu saja Ray dan Siska akan berhenti mengganggu dan meremehkannya.
“Duh, pusing banget mikirin masalah yang enggak beres-beres. Ada aja sih, heran aku.” Ucap Aluna setengah frustrasi.
Sementara itu di dalam mobil, Angkasa sedang mengemudi untuk pulang setelah mengantar Iris kembali ke tempat kerjanya. Wajahnya nampak lelah dan tidak bersemangat. Ia tidak percaya kalau ibunya menghubungi Iris padahal ia pikir pembicaraan mereka sebelumnya sudah jelas Angkasa meminta waktu untuk berpikir.
“Rasanya aku mulai lelah dengan semua rencana Mama,” gumam Angkasa.
Ada hal lain lagi yang mengganggu pikirannya. Pertemuannya dengan Aluna membuat pria itu menebak apa yang Aluna pikirkan. Ia tidak menyangka akan bertemu mahasiswinya di saat ia sedang bersama dengan seorang wanita. Seolah takdirnya selalu saja berputar di sekitar Aluna, bertemu di waktu dan tempat yang tidak terduga.
“Pasti dia dan temannya berpikir kalau aku sedang berkencan. Apa dia akan menyebar gosip ini di kampus? Kalau sampai ada desas desus itu, pasti penyebabnya adalah Aluna atau mungkin temannya. Lagi pula kenapa aku harus terus bertemu dengan anak itu? Benar-benar aneh.”
***
Aluna tidak bisa menahan lagi ketika kantung kemihnya penuh minta untuk dikosongkan. Sebelum bertemu dengan Angkasa, ia memutuskan untuk pergi ke toilet dulu. Hari ini jadwalnya bimbingan tanpa ditemani oleh Lia karena temannya itu sedang sibuk.
“Ah lega,” gumam Aluna.
Saat ia hendak keluar, ia mendengar beberapa orang masuk ke toilet dan namanya disebut oleh rombongan itu. Aluna kembali diam, mendengarkan dengan seksama apakah benar apa yang didengar di awal. Seperti merasa déjà vu, hal ini pernah ia alami sebelumnya.
“Kalian sudah denger soal Aluna yang pulang sama Mister Angkasa?”
“Iya dan katanya Aluna pergi pas berantem sama Ray, ya?”
“Katanya sih gitu. Kok Aluna caper banget ya, pasti dia cari simpati sama Mister Angkasa.”
“Iya bener, mana nggak bersyukur banget dulu punya Ray. Diajak balikan malah nggak mau, jual mahal banget, kan?”
“Maunya Aluna itu apa, sih? Ray ngejar-ngejar minta balikan, Mister Angkasa juga dideketin. Heran deh, kita nggak dikasih kesempatan.”
“Tapi Siska lebih cocok dengan Ray. Daripada Aluna yang sedikit pecicilan, Siska lebih tegas deh orangnya.”
Begitulah percakapan yang Aluna dengar. Entah ia memiliki salah apa sehingga banyak orang yang suka membicarakannya terutama menyangkut urusan pribadi. Nyatanya Aluna tidak pernah mencari masalah dengan orang-orang, tapi ada saja yang tidak suka kepadanya sejak mulai berhubungan dengan Ray. Padahal yang mereka lihat dan dengar, sungguh berbeda dengan kenyataannya. Mereka juga tahu kalau Ray menjadikannya taruhan walaupun berita juga beredar jika Ray mencintainya dengan tulus. Tentang Angkasa, semuanya salah paham. Pria itu sama sekali tidak pernah mendekatinya meski ia membiarkan gosip itu karena ingin membuat Ray menjauhinya.
“Apa aku harus katakan kepada semuanya kalau mereka salah paham?Apa aku juga harus kasih tau betapa sakitnya diperlakukan tidak adil oleh orang yang dicintai?” Aluna membatin dengan perasaan sedih.
Tanpa diduga, air matanya jatuh. Padahal susah payah ia menahan tapi ternyata ia sudah mulai lelah dengan penilaian orang-orang. “Ah Aluna, gini aja nangis.”
Setelah merasa tenang dan orang-orang itu pergi, Aluna keluar dari toilet kemudian segera ke ruang dosen untuk bertemu dengan Angkasa. Tidak lupa, ia melihat wajahnya terlebih dulu agar tidak menarik perhatian Angkasa dengan wajahnya yang basah karena air mata. Ketika masuk, suasana nampak sepi dan hanya ada Angkasa saja. Perasaan Aluna biasa saja ketika harus berhadapan dengan pria itu, tidak ada lagi rasa tegang dan takut seperti sebelumnya. Hanya saja ia tidak bisa berbohong kalau pikirannya terus mengingat omongan dari orang-orang di toilet tadi.
Semua berjalan normal, bertegur sapa dan sedikit basa-basi. Sudah 15 menit berlalu, akhirnya bimbingan selesai dengan beberapa saran dan masukan dari Angkasa. Aluna nampak kalem dan pasrah menerima semuanya.
“Ada yang mau kamu tanyakan lagi?” Tanya Angkasa menatap lurus ke arah Aluna yang ada di hadapannya.
Aluna menggeleng pelan. “Tidak ada Mister. Semuanya sudah Mister jelaskan dengan lengkap.”
“Apa kamu sedang sakit?” Tiba-tiba Angkasa mengubah topik pembicaraan.
“Tidak Mister. Memang kenapa, ya?”
“Sikap kamu kalem, lebih banyak diam, mata dan hidung kamu merah.” Jelas Angkasa.
Satu tangan kanan Aluna terangkat, meraba wajahnya sendiri. “Oh? Saya baik-baik saja, Mister.” Gadis itu menghela napas panjang. “Tapi akhir-akhir ini memang ada yang sedikit membuat tidak nyaman.” Gumam Aluna tanpa sadar.
Kedua alis Angkasa tertaut, menatap curiga ke arah Aluna. “Kenapa?”
“Hhhhmm,” gumam Aluna karena terkejut. “Ada apa Mister?”
“Kenapa jadi balik nanya? Tadi kamu bilang ada yang membuat kamu tidak nyaman. Saya tanya kenapa?”
Aluna baru sadar kalau ia mengatakan hal yang harusnya ia simpan. “Saya jadi bahan omongan teman-teman di kampus. Katanya saya jual mahal karna tidak mau kembali dengan Ray. Padahal mereka tau sendiri saya putus karna dijadikan bahan taruhan.”
“Oh karna itu.” Angkasa manggut-manggut. “Kamu mau pergi dengan saya?”
“Hah?”
“Kenapa?”
“Maksud Mister?”
“Ya pergi kencan dengan saya.” Ajak Angkasa dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Kencan?”
“Astaga Aluna, kamu belum paham juga. Perlu saya jelaskan lebih lengkap lagi?”
“Tapi Mister bukannya punya pacar?”
“Status saya single dan jangan tanya-tanya lagi.”
Untuk sesaat pikiran Aluna benar-benar kosong. Bagaimana tidak, tiba-tiba pria di hadapannya yang berstatus sebagai dosen mengajaknya kencan. Antara terkejut dan senang, itulah yang Aluna rasakan. Namun, karena merasa tawaran Angkasa bukan sesuatu yang buruk, akhirnya Aluna mengangguk cepat. Untuk saat ini yang terlintas dalam benaknya adalah mengeluarkan Ray sepenuhnya dari dalam hati dan pikirannya.
“Baik Mister, saya mau.”
Angkasa mengulas senyum singkat. “Baiklah. Besok saya jemput kamu ke rumah.”
“Besok?” Lagi-lagi Aluna terkejut.
“Kenapa, kamu maunya hari ini? Sayang sekali, saya ada kelas full sampai malam.”
Aluna menggeleng dengan cepat. “Jangan Mister, saya juga belum siap. Besok saja, rasanya itu lebih baik.”
Keluar dari ruang dosen, wajah Aluna terlihat linglung. Apa yang barusan terjadi masih membuatnya sedikit syok. Tawaran Angkasa dan keberaniannya untuk menerima. Ketika mendapat hembusan angis segar, baru Aluna kembali sadar kekeadaan yang waras.
“Lah? Kamu tadi ngapain sih, Aluna? Kamu diajak kencan dan kamu mau?” Tanya Aluna kepada dirinya sendiri. “Semudah itu kamu menerima tawaran Mister Angkasa? Jual mahal dikit kenapa, sih? Atau curiga dikit sama Mister Angkasa karna tiba-tiba ngajak kamu kencan.”
***
Aluna masih menatap pantulan dirinya di cermin besar di dalam kamar. Memperhatikan dengan seksama apakah penampilannya sudah baik atau belum. Ia tidak ingin membuat Angkasa memandangnya buruk meski tidak tahu tujuan pria itu mengajaknya untuk pergi.
“Dasar Aluna! Makanya lain kali dipikir dengan baik dulu, baru menerima ajakan orang lain apalagi dosen sendiri. Pusing sendiri kan jadinya.”
Saat sibuk mengomeli dirinya sendiri, ponselnya yang ada di atas meja rias berdering. Aluna segera melihat siapa yang menghubunginya. Saat melihat nama Angkasa di layar ponsel, wajah paniknya tidak bisa disembunyikan.
“Halo Mister?” Sapa Aluna.
“Saya sudah di bawah.”
“Di bawah?” Tanya Aluna dengan nada terkejut.
“Iya, bersama dengan Mama kamu.”
“Hah?” Panik Aluna semakin menjadi-jadi. “Kok bisa?”
“Saya tunggu.”
Aluna diam ketika Angkasa menutup begitu saja sambungan teleponnya. Sebenarnya ia sudah meminta izin kepada sang ibu untuk pergi bersama dengan seseorang yang Aluna akui sebagai teman. Ibunya tidak curiga sama sekali dan memberi izin begitu saja. Namun, kenyataannya Angkasa sudah bersama dengan Ambar, otomatis wanita itu tahu siapa teman yang dimaksud oleh Aluna.
“Gawat, Mama pasti bakalan bertanya-tanya kenapa aku pergi sama dosenku sendiri.” Ucap Aluna panik. “Duh, semoga aja Mister Angkasa nggak ngomong macem-macem biar Mama nggak curiga.”
Langkah kaki Aluna menuruni anak tangga begitu cepat. Raut wajahnya panik dan khawatir. Ia ingin segera mengetahui apa yang sedang Angkasa bicarakan dengan ibunya. Berharap dalam hati semoga Ambar tidak marah karena ternyata ia begitu cepat pergi dengan laki-laki yang berbeda setelah putus dengan Ray.
“Mister Angkasa.” Sapa Aluna ketika sampai di ruang tamu dan melihat Angkasa begitu akrab bicara dengan Ambar.
“Aluna, kenapa lama sekali? Kasian loh nak Angkasa nunggu lama.” Tegur Ambar kepada putrinya.
“Tidak apa-apa, Tante. Saya masih bisa menunggu Aluna.”
“Maafin saya ya Mister.” Ucap Aluna yang kini duduk di sebelah ibunya. “Saya tidak tau kalau Mister datang secepat ini.”
“Saya cepat berangkat karena takut kena macet.”
“Aluna, kamu kenapa tidak bilang kalau teman yang kamu maksud, dosen kamu sendiri?”
“Hah?” Aluna panik dan otaknya mendadak tidak bisa diajak berpikir. “Itu…itu.”
“Tapi Angkasa sudah cerita mungkin kamu masih malu-malu kalau jujur sama Mama.”
“Malu-malu?”
“Aluna, kita bisa berangkat sekarang?” Potong Angkasa dan tidak membiarkan kesempatan gadis itu banyak bertanya.
“Oh? Iya Mister, boleh.” Jawab Aluna gugup.
Angkasa beranjak dari duduknya, diikuti oleh Ambar dan Aluna. “Tante, saya izin ajak Aluna pergi dan saya pasti memulangkan Aluna tepat waktu.”
Ambar menyentuh lengan Angkasa dengan lembut. “Iya nak, hati-hati di jalan ya. Tante percaya sama kamu karna sebelumnya juga pernah antar Aluna pulang. Sayang, anak ini malah tidak mau ajak kamu mampir.”
“Baik Tante, kami pergi dulu” Tidak lupa Angkasa salim dengan Ambar.
“Ma, aku pergi ya.” Pamit Aluna. “Tolong jangan bilang sama Mas Azel,” bisiknya kepada sang ibu.
Saat ini Aluna dan Angkasa sudah di dalam mobil. Suasana hening masih terjadi meski mobil yang dikemudikan Angkasa sudah bergerak meninggalkan komplek perumahan tempat tinggal Aluna. Ada begitu banyak pertanyaan bersarang di kepala Aluna tapi masih belum tahu apakah bisa dikeluarkan karena Angkasa diam saja. Gadis itu bergerak gelisah dan hal ini disadari oleh Angkasa.
“Mau bertanya apa? Ayo keluarkan daripada kamu seperti orang kebelet ingin bab.” Ucap Angkasa santai.
Aluna menoleh, kemudian menghela napas pelan. “Selain jadi dosen, Mister cocok juga jadi cenayang.”
“Tidak perlu jadi cenayang hanya untuk baca pikiran kamu.”
Gadis itu menyepitikan mata sambil menatap Angkasa. “Ya sudah karna sudah dapat izin jadi saya mau bertanya.”
“Silakan.”
“Pertama, kenapa Mister harus ketemu sama Mama saya? Kan Mama saya jadi tau kalau saya pergi sama Mister yang notabene adalah dosen saya.”
“Karna mengajak anak orang terutama perempuan pergi keluar, jadi harus izin dengan orang tua agar sopan.”
“Oke, masih bisa diterima. Terus Mama saya nanya apa sama Mister? Maksud saya, kenapa antara dosen dan mahasiswinya pergi berdua?”
“Saya bilang ingin lebih mengenal kamu.”
Jawaban Angkasa membuat alis Aluna tertaut. “Memang buat apa Mister ingin lebih mengenal saya?”
Angkasa mengangkat santai bahunya. “Hanya ingin saja.”
“Astaga, itu bukan jawaban Mister.” Gerutu Aluna.
“Lupakan status kita dan berpikir saja kita pergi sebagai pria dan wanita dewasa. Beres kan?”
“Iya deh, terserah Mister saja,” Aluna sudah pasarah. “Sekarang, kita mau pergi ke mana?”
“Kamu punya referesni?”
“Astaga, Mister ngajak saya kencan tapi malah nggak tau mau pergi ke mana.”
“Saya belum lama balik ke Indo jadi saya nggak tau tempat bagus yang terbaru di mana saja.”
“Kan Mister bisa googling dulu.”
“Saya nggak ada waktu, Aluna.” Jawab Angkasa dengan santai. “Ya sudah, kita ke toko buku saja.”
“Hah?”
“Kenapa? Kamu tidak mau?”
“Kita ke Dufan aja. Saya sudah lama nggak ke sana, jadi saran saya ya pergi ke Dufan. Kita bisa icip banyak wahana yang menantang, pasti seru banget.” Ucap Aluna dengan wajah senang.
“Kamu seperti anak kecil saja. Salah saya minta referensi sama kamu.”
“Nggak boleh gitu Mister. Referensi saya nggak akan salah kok, Mister Angkasa pasti suka.”
Mobil yang dikemudikan oleh Angkasa sudah sampai di tempat yang mereka tuju. Suasana cukup ramai dan Angkasa sedikit tidak nyaman. Tapi karena melihat Aluna begitu antusias, Angkasa akhirnya pasrah.
“Kita mau main apa dulu nih, Mister?” Tanya Aluna sambil melihat-lihat sekitar.
“Terserah kamu saja.”
Aluna melirik Angkasa dengan tatapan menyipit. “Yakin nih?”
Pria itu mengangguk. “Kenapa tanya begitu?”
“Ya saya kan nggak mau nanti Mister histeris waktu naik wahana yang ternyata Mister hindari.”
“Enggak usah cerewet Aluna, pilih saja.”
“Iya deh Mister,” jawab Aluna pelan karena Angkasa tidak bisa diajak bercanda.
Wahana pertama yang mereka naiki adalah komedi putar. Wahana yang mengingatkan pada kenangan masa kecil Aluna ketika pergi bersama keluarganya. Gadis itu begitu antusias bahkan tanpa sadar menarik tangan Angkasa untuk segera naik ke wahana itu.
“Kamu yakin mau naik wahana ini?” Tanya Angkasa.
“Kenapa nggak yakin?”
“Ini wahana cocoknya untuk anak kecil.”
Aluna mengangkat bahunya ringan. “Nggak masalah, orang dewasa juga masih bisa coba. Kenapa? Mister malu naik wahana ini?” Tanya Aluna yang melihat keraguan di wajah pria itu. “Kalau ragu, ya sudah Mister nggak usah ikut naik dan tunggu di sini.”
“Sebaiknya saya tunggu di sini saja.”
“Ya sudah, saya pergi dulu.”
Angkasa memperhatikan Aluna yang tersenyum lebar ketika menikmati wahana itu. Beberapa kali melemparkan senyum kepada Angkasa sembari melambaikan tangan, seperti anak kecil yang baru pertama kali ke taman bermain.
“Dasar, seperti anak kecil yang terjebak di dalam tubuh orang dewasa,” gumam Angkasa.
Wahana selanjutnya yang dituju Aluna dan Angkasa bernama Halilintar atau sering dikenal dengan roller coaster. Lagi-lagi ini keinginan Aluna namun tentu disetujui oleh Angkasa.
“Gimana Mister? Wahana ini bukan untuk anak kecil lagi, kan?”
Angkasa mengangguk. “Kamu yakin berani naik ini?”
“Oh tentu saja. Biasanya dulu saya naik ini sama Mas Azel. Dan tentu saja dia yang mabuk duluan.”
“Mas kamu payah.”
“Ih jangan gitu, nanti malah Mister Angkasa yang mabuk.” Goda Aluna.
“Kita lihat saja nanti,” ucap Angkasa meninggalkan Aluna.
Aluna menatap curiga ke arah Angkasa. “Awas saja kalau sampai muntah aku bakalan ketawa paling kencang.”
Ketika wahana sudah mulai bergerak, Aluna melihat Angkasa yang duduk di sebelahnya. Wajah pria itu terlihat tegang dan berkeringat.
“Mister baik-baik saja, kan?”
“Iya, jangan berlebihan. Saya berani kok naik ini.”
“Oh? Oke kalau begitu.”
Aluna menikmati permainan ini. Ia berteriak kencang ketika wahana bergerak di lintasan yang berkelok-kelok dan naik turun. Sungguh menguji adrenalin yang menyenangkan bagi Aluna. Tanpa terasa permainan selesai dan Aluna turun dengan perasaan senang.
“Ya ampun seru banget.” Ucapnya keras. Namun Aluna sadar ketika Angkasa tidak ada di sebelahnya. Pandangan matanya mencari keberadaan pria itu dan melihat Angkasa tengah terduduk di belakang. “Mister, are you okey?”
“Iya saya baik-baik saja,” jawab Angkasa sedikit lemas. “Tapi perut saya mual.”
Aluna menahan tawa karena kasihan melihat kondisi Angkasa yang pucat. “Ya ampun, kan tadi saya sudah tanya tapi Mister bilang nggak apa-apa kalau naik wahana itu.”
“Sudah terjadi, jangan dibahas lagi. Yang ada perut saya semakin mual.”
“Mister mau minum dulu?”
Angkasa menggeleng, lalu beranjak dari duduknya. “Kita ke wahana yang lain saja.”
“Yakin Mister nggak mabuk lagi?”
“Yakin Aluna. Kamu cerewet sekali.”
“Ih, kan nanya,” gumam Aluna gemas.
Keduanya sepakat menaiki bianglala yang menurut mereka cukup aman dari rasa mual. Apalagi Aluna girang tidak tertahan karena ini juga salah satu wahana kesukaannya.
“Ini juga wahana favorit saya”
“Rasanya semua wahana di sini jadi favorit kamu,” sindir Angkasa.
Aluna tertawa kecil. “Ya memang kenyataannya begitu. Setiap naik wahana itu, rasanya saya tidak mau turun.”
“Kenapa?”
“Pemandangannya bagus dan sepertinya romantis kalau pergi dengan pasangan.” Aluna menyadari ucapannya yang ganjal. “Maksud saya untuk orang yang pacaran atau yang punya pasangan. Mister jangan salah paham.”
“Siapa yang salah paham.” Angkasa tidak peduli dengan ucapan Aluna.
Suasana kembali hening karena keduanya antusias dengan pemandangan yang mulai terlihat. Kincir besar ini sudah perlahan bergerak naik. Pemandangan laut yang bersebelahan dengan tempat ini sungguh memanjakan mata.
“Bagus kan, Mister?”
“Ya, lumayan.”
“Kok lumayan, sih. Oh di Singapura ada yang lebih keren ya?”
“Sepertinya. Saya tidak pernah ke sana.”
“Padahal kan ada bianglala terbesar di Asia. Harusnya Mister coba biar nggak rugi tinggal lama di Singapura.” Ocehnya.
“Kamu sudah pernah ke sana?”
Aluna menggeleng. “Semoga nanti bisa, pakai duit sendiri.”
Hening kembali karena posisi mereka saat ini hampir sampai di atas. Aluna semakin takjub melihat pemandangan serta sedikit merasakan hembusan angin yang segar.
Angkasa sendiri diam-diam memperhatikan Aluna. Bagaimana wajah bahagia gadis di hadapannya tidak pernah pudar.
“Aluna,” panggil Angkasa pelan.
“Yah Mister?” Jawab Aluna sambil menoleh singkat namun kembali menatap ke arah lain.
“Kamu mau menikah dengan saya?”