Setelah pertemuan Aluna dengan Angkasa di malam itu, ini adalah kali pertama mereka akan bertemu kembali. Satu minggu sudah cukup rasanya bagi Aluna untuk menyiapkan mentalnya menghadapi dosen tampan nan datar serta sedikit dingin bernama Angkasa Evano Reinaldi. Besar harapan Aluna semoga pria itu tidak mengungkit kejadian sebelumnya dan menepati janjinya tidak akan membahasnya lagi.
“Tarik napas, hembuskan. Tarik napas, hembuskan.” Kata-kata itu keluar dari bibir Lia, membantu teman baiknya menenangkan diri. Lia sendiri sudah tahu apa yang menimpa antara Aluna dan Angkasa. Ia sempat tertawa kocak dengan pertemuan konyol dua orang itu dan pembahasan yang akhirnya membuka aib Aluna di hadapan Angkasa. Tapi sebagai teman yang baik, tentu ia memberi semangat agar Aluna tidak terlalu larut dengan hal itu. “Tenang Aluna, semua akan baik-baik saja.”
“Oke, tenang. Aku harus tenang demi mencerahkan masa depanku.” Gumamnya.
“Memang ketek hitam mau kamu cerahin?” cibir Lia.
Aluna memberi tatapan tajam kepada Lia. “Sejak kapan kamu jadi pintar melucu tapi garing?”
“Rengginang kali ah, garing,” sahut Lia lagi.
“Lia!” protes Aluna gemas.
Lia terkekeh pelan mendengar protes dari Aluna. “Sudah lebih baik kan? Buruan masuk, nanti Mister Angkasa jadi marah karna kelamaan nunggu.”
“Iya, aku masuk dulu ya. Kamu jangan pergi, tunggu sampai aku selesai.”
“Iya bawel.”
Langkah kaki Aluna bergerak menuju ruangan dosen. Ketika pintu terbuka, ia bisa melihat Angkasa duduk di mejanya dengan wajahnya yang tegang. Aluna mengedarkan pandangan ke sekitar dan beruntung ada beberapa dosen di ruangan itu. Seketika ia menghela napas lega karena tidak akan mungkin Angkasa bersikap atau bicara aneh karena situasi yang tidak mendukung.
“Lagian, kenapa aku harus berburuk sangka sama Mister Angkasa sih? Padahal dia baik walaupun sikapnya kadang ketus.” Aluna sibuk bicara kepada dirinya sendiri.
“Selamat siang, Mister.” Sapa Aluna kepada Angkasa dengan pelan dan sopan.
Angkasa mendongak, menatap Aluna yang kini ada di hadapannya. “Siang, kenapa lama sekali?”
“Maaf Mister, tadi saya ke toilet dulu.” Lagi-lagi Aluna mencari alasan karena tidak mungkin ia bicara jujur bahwa alasan yang sebenarnya karena ia sedang menenangkan hati dan perasaannya. “Maaf kalau saya buat Mister nunggu lama,” sambungnya.
“Silakan duduk.” Perintah Angkasa.
“Baik Mister, terima kasih.”
“Kamu sudah lakukan apa yang saya beri tahu sebelumnya?”
“Sudah Mister.” Gadis itu mengeluarkan map berisi data skripsi yang sudah di print out. “Ini Mister.”
Angkasa menerima pemberian Aluna tanpa sepatah kata pun. Sikapnya benar-benar berbeda, tidak seperti malam itu yang cukup aktif bicara. Saat ini, senyum pun tidak nampak di wajah pria itu.
“Syukurlah kalau diem. Daripada cerewet seperti waktu itu, bahaya didenger sama dosen lain.” Aluna membatin.
Lima belas menit berlalu, suasana masih tetap sama. Angkasa benar-benar irit bicara sampai membuat Aluna khawatir. Ia takut jika hasil revisi yang ia lakukan ada yang kurang atau salah. Sambil menunduk dan menghilangkan rasa gugup, Aluna sibuk memainkan jari-jarinya tanpa diketahui oleh Angkasa.
“Apa kondisi kamu baik-baik saja?” Setelah sekian lama berlalu, akhirnya Angkasa bersuara. Ia meletakkan skripsi Aluna di atas meja yang sudah penuh dengan revisi. “Saat revisi apa kondisi kamu baik?”
“Ya Mister?”
“Setelah saya periksa lagi, banyak yang harus kamu perbaiki.”
Ucapan Angkasa membuat suasana hati Aluna sedih. “Baik Mister, akan saya perbaiki lagi. Maaf kalau saya belum melakukannya dengan maksimal.”
“Jangan hanya minta maaf saja Aluna, tapi lakukan yang terbaik. Kalau kamu mau kejar jadwal wisuda yang akan datang, kamu harus usaha. Jangan sampai masalah percintaan membuat kamu tidak fokus menyelesaikan skripsi.” Jelas Angkasa dengan suara pelan.
Sindiran Angkasa membuat wajah Aluna terasa panas. Tidak ada yang salah hanya saja ia merasa malu apalagi kalau sampai didengar oleh dosen yang ada di ruangan itu. “Baik Mister.”
“Kamu masih memikirkan kejadian di parkiran restoran?”
Aluna mengangguk pelan. “Iya tapi sedikit kok, Mister.”
“Saya saja sudah tidak ingat, kenapa kamu masih memikirkan hal itu. Buang-buang waktu.” Sindir Angkasa.
Kedua mata Aluna membulat, terkejut dengan ucapan pria di hadapannya. “Siapa yang buang-buang waktu Mister?”
“Ya kamu, siapa lagi.”
“Yang mengalami kan saya, Mister mana tau rasanya jadi saya,” gumamnya pelan dengan perasaan kesal.
“Kamu lupa kalau saya juga jadi korban dipertemuan pertama kita?”
Kening Aluna mengkerut, menatap Angkasa kesal. “Katanya janji tidak mengungkit masalah itu. kenapa Mister ingkar janji?”
“Kamu duluan yang mancing saya untuk mengungkitnya lagi.”
“Iya saya yang salah, Mister. Apa ada yang mau Mister jelaskan lagi?”
Terdengar Angkasa mengembuskan napas pelan. “Tidak, kamu sudah boleh pergi.”
“Baik Mister.” Aluna beranjak dari duduknya, lalu mengambil skripsinya. “Terima kasih untuk bimbingannya, Mister.”
“Iya sama-sama.” Balasnya. “Saya harap kamu fokus dan melupakan semuanya.”
Ada rasa senang karena di balik sikap Angkasa yang kadang membuatnya sebal, tapi sebenarnya pria itu perhatian kepadanya. “Baik Mister, terima kasih. Saya permisi dulu.”
Angkasa memperhatikan Aluna pergi dari ruang dosen. Ada sedikit rasa menyesal karena membuat gadis itu kembali membahas sesuatu yang sudah lalu. Tapi tujuannya hanya ingin membuat Aluna berhenti menyesali semua yang terjadi.
“Gadis aneh,” gumam Angkasa.
Baru saja keluar dari ruang dosen, Aluna sudah diserbu oleh beberapa mahasiswi. Ia sampai bingung apa sebenarnya terjadi. “Kalian mau apa?”
“Aluna, gimana rasanya bimbingan sama Mister Angkasa? Pasti seru banget ya, betah kan lama-lama di sana?”
“Lun, Mister Angkasa dingin ya?”
“Luna Luna, kamu kok beruntung banget sih bisa dapet dosen pembimbing Mister Angkasa.”
“Iya bener, iri banget deh.”
Akhirnya Aluna mulai paham, para gadis di hadapannya ini ternyata fans dari Angkasa. “Kalian ngefans sama Mister Angkasa?”
Mereka kompak mengagguk. “Iya dong, secara Mister Angkasa ganteng banget.”
“Memangnya kamu nggak ngefans sama Mister Angkasa?” tanya salah satu dari mereka.
“Ya nggaklah, secara tipe cowok Aluna kan pangeran kampus kita, si Ray.”
Aluna menggelengkan kepala mendengar ocehan dari teman satu angkatannya. “Maaf ya, aku nggak bisa jawab pertanyaan kalian karna aku juga nggak tau. Kalau mau kenal sama Mister Angkasa, sebaiknya kalian cari tau sendiri caranya. Satu lagi, aku sudah putus sama Ray jadi jangan nyebut namanya dia lagi di hadapanku.”
“Loh, kok kamu sensi soal Ray? Mentang-mentang sudah putus, jadi benci nih.”
Mendapat sindiran seperti itu, sontak membuat Aluna tersenyum sinis. “Sori nih, bukan masalah benci tapi masa lalu sebaiknya dilupakan dan buka lembaran baru yang jauh lebih baik tentunya.” Jelas Aluna dengan penuh percaya diri. “Sudah ya, aku banyak urusan. Bye!”
Tanpa mempedulikan tatapan sinis teman-temannya, Aluna melenggang pergi dengan penuh percaya diri. Moodnya menjadi tidak baik karena orang-orang itu menyebut nama Ray. Hal yang paling ia hindari meski sebenarnya ia mulai berdamai dengan sakit hatinya.
“Sabar Aluna, hidup itu memang tidak seindah pelangi dan hidup itu seperti permen nano-nano.” Gumamnya pelan menuju parkiran mobil.
Begitu mobil miliknya terlihat dalam jangkauan mata, Aluna segera mengambil ponselnya. Ia belum menghubungi Lia dan ia yakin temannya sedang menunggu di kantin. Tapi mengingat ia ingin mengajak Lia pergi ke butik, akhirnya ia tidak mencari Lia ke kantin. Saat mengambil ponsel dan menyalakannya, ia melihat beberapa notifikasi pesan masuk dari teman baiknya. Kening Aluna mengernyit begitu membaca isi pesan dari Lia.
“Lah, anak ini malah pulang duluan,” gumam Aluna. “Tapi urusan keluarga, pasti mendesak sampai dia pulang duluan,” imbuhnya.
Ketika ia kembali fokus membaca pesan karena lumayan panjang, wajahnya seketika berubah pucat. Kunci mobilnya ada pada Lia karena gadis itu yang mengemudi ketika berangkat ke kampus. “Astaga!”
“Kamu nunggu siapa, Lun?” suara dari arah belakang membuat Aluna terkesiap.
“Kamu?” Aluna melihat Ray berjalan mendekatinya.
“Mobil kamu bermasalah?”
“Enggak kok.” Jawab Aluna dengan suara biasa saja.
Ray berdiri di sebelah Aluna, menatap gadis itu khawatir. “Terus kenapa kamu di sini sendirian dengan wajah panik?”
“Kunci mobilku dibawa sama Lia dan aku baru inget. Sedangkan dia sudah pulang duluan karna ada sesuatu yang mendadak dan penting.”
“Oh begitu.” Ray menggumam. “Kalau begitu, biar aku antar kamu pulang ambil kunci cadangan. Gimana?”
“Enggak usah, aku bisa urus sendiri.” Tolak Aluna sehalus mungkin. “Kamu nggak usah repot-repot.”
“Aku nggak repot Aluna. Aku tulus mau bantu kamu, gimana?”
“Terima kasih tapi aku bisa sendiri.”
“Kenapa sih kamu masih saja ketus sama aku? Katanya kamu mau maafin aku asal aku nggak ganggu kamu. Sekarang aku nggak ada niat ganggu, aku tulus mau bantu kamu.”
“Iya Ray tapi aku menolak bantuan kamu. Sudah jelas, kan?” Aluna mulai habis kesabaran. “Kalau begini, bukan niat bantu tapi maksa.”
“Aku masih peduli sama kamu, Luna.”
“Tapi enggak perlu, cukup kamu peduli sama Siska saja. Oke?”
“Lun, jangan bawa-bawa Siska. Aku masih akan memperjuangkan kamu meski sikap kamu terus ketus sama aku.”
“Terserah Ray, aku nggak peduli.” Jawab Aluna.
“Lun, selama kamu masih sendiri, selama kamu belum menemukan penggantiku, itu artinya kamu masih punya perasaan sayang dan cinta sama aku. Aku akan terus berusaha sampai kamu sadar kalau aku tulus mencintai kamu, meski di awal caraku cukup salah dan fatal.”
Aluna menatap nanar ke arah Ray. “Denger baik-baik Ray, aku bisa mencari pengganti kamu dengan mudah. Oh salah, aku bisa mendapatkan yang lebik baik dari kamu. Aku bisa buktikan itu dan kamu akan terus berada dalam penyesalan.” Ucap Aluna dengan lantang dan penuh penekanan.
"Baik, kita lihat apa kamu bisa membuktikannya."
Tidak jauh dari tempat Aluna dan Ray, ada Angkasa yang sedang memperhatikan. Bukan hanya Angkasa tapi beberapa mahasiswa lain sedang menyaksikan pertengkaran antara Aluna dan Ray. Bahkan Angkasa bisa mendengar bisik-bisik mengenai hubungan dua orang itu.
“Bingung sama hubungan mereka. Katanya Aluna sudah putusin Ray, tapi kenapa Ray masih terus ngejar Aluna?”
“Aku denger juga Ray deket sama Siska, tapi kok Aluna masih meladeni Ray?”
“Tau deh, rumit banget. Kalau aku jadi Aluna sih mending pergi aja.”
“Aluna demen mungkin kalau dikejar-kejar Ray.”
Begitulah percakapan yang Angkasa dengar. Sebenarnya ia tidak tertarik tapi melihat raut wajah Aluna yang geram dengan Ray, sepertinya ada sesuatu yang terjadi.
“Ada apa ini?”
Suara berat dari arah belakang Aluna dan Ray, membuat mereka kompak menoleh ke belakang. Ada Angkasa yang sedang mendekat dengan kening mengkerut.
“Mister,” gumam Aluna antara lega dan gugup.
“Selamat siang, Mister,” sapa Ray sopan.
Kini Angkasa sudah berada di hadapan Aluna dan Ray. “Saya tidak sengaja mendengar perdebatan kalian berdua. Bukan hanya saya saja, tapi mahasiswa yang lain juga lihat. Sebenarnya ada masalah apa?”
“Bukan masalah besar, saya hanya menawarkan diri untuk mengantar Aluna pulang ke rumahnya.” Jawab Ray.
“Lalu?”
“Saya bawa mobil kok, Mister. Jadi saya nolak tawaran Ray tapi dia sedikit memaksa dan saya kurang nyaman.” Sambung Aluna sambil memberi lirikan tajam kepada mantan pacarnya.
“Kenapa Aluna bawa mobil tapi kamu tawarin pulang bersama?” Di sini Angkasa sedikit bingung.
“Karna Aluna tidak bawa kunci mobil, Mister. Teman Aluna yang bawa kuncinya tapi sudah pulang maka dari itu saya tawari Aluna tumpangan pulang.” Jelas Ray kembali.
Angkasa yang mulai paham pengangguk pelan. “Kalau Aluna tidak mau, jangan dipaksa. Saya perhatikan dari jauh, sepertinya dia kurang nyaman dengan sikap kamu.”
Diberi ceramah demikian membuat Ray berdeham karena tidak suka. “Maaf Mister, rasanya ini urusan saya dan Aluna. Terima kasih karna Mister sudah memberikan perhatian lebih kepada kami.”
“Aku nggak ada urusan sama kamu, Ray. Aku sudah nolak jadi sudah nggak ada yang harus di bahas lagi.” Rasa kesal Aluna kembali muncul. “Nyebelin banget sih.”
“Kamu mau ikut saya? Kebetulan rumah kita searah jadi kamu bisa numpang di mobil saya.” Ucap Angkasa dengan amat tenang.
Aluna dibuat terkejut dengan tawaran dari Angkasa. Entah ia harus bersyukur karena secara tidak langsung pria itu menyelamatkannya dari perdebatan dan sikap pemaksa Ray. Di sisi lain ia tidak tahu bagaimana reaksi Ray dan orang-orang jika mereka melihat antara ia dan sang dosen pulang dengan mobil yang sama.
“Kalau kamu tidak mau, ya sudah saya tidak memaksa. Silakan lanjutkan perdebatan kalian dan saya pergi duluan.” Jelas Angkasa.
“Silakan Mister.” Sahut Ray senang.
“Saya mau Mister. Saya mau ikut numpang di mobil Mister Angkasa.” Celetuk Aluna tanpa peduli dengan omongan orang, terutama Ray.
Kedua bola mata Ray langsung melotot dengan ucapan Aluna. Bagaimana bisa gadis itu menerima tawaran dari seorang dosen muda. “Luna.”
Aluna menoleh, menatap Ray dengan tatapan mengejek. “Terima kasih tawarannya tapi aku nggak mau berurusan sama Siska karna kamu mengantar aku pulang.”
“Tapi Lun?”
Angkasa membuka pintu mobil yang ada tepat di sebelah mobil Aluna. Hal ini membuat Aluna lagi-lagi terkejut.
“Ya ampun, sampai nggak tau kalau mobil Mister Angkasa ada di sebelah mobilku. Tapi kenapa parkir di parkiran mahasiswa?” batin Aluna.
Mobil yang dikemudikan Angkasa bergerak meninggalkan Ray yang masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukan hanya Ray, beberapa mahasiswa juga melihat Aluna ketika masuk ke dalam mobil milik Angkasa. Sudah dipastikan kalau sebentar lagi gosip hangat akan beredar.
Hening di dalam mobil, Aluna mendadak diam ketika berdua dengan Angkasa. Pria itu juga diam, seperti biasanya.
“Mister Angkasa,” panggil Aluna pelan.
“Ya?”
Ragu-ragu Aluna menoleh ke samping. “Saya boleh tanya sesuatu?”
“Silakan asal bukan masalah pribadi.” Sahutnya dingin.
“Kenapa mobil Mister ada di parkiran mahasiswa?”
“Karna di parkiran dosen mendadak penuh.”
“Oh,” gumam Aluna sambil manggut-manggut. “Terus, kenapa Mister bisa punya pemikiran menawarkan tumpangan kepada saya?”
“Karna saya tau kamu mau menghindari mantan kamu itu.”
“Mister tau wajah mantan saya?”
“Kamu lupa waktu cerita sempat menunjukkan foto mantan kamu. Kamu sendiri bilang kalau wajah mantan kamu tidak terlalu tampan dan harusnya malu karna sudah menjadikan kamu sebagai taruhan.”
Aluna meruntuki kebodohannya. “Oh iya saya lupa.”
“Ada lagi?”
“Mister nggak takut kalau nanti ada yang bergosip karna mereka liat saya ikut di mobil, Mister?”
“Jangan terlalu mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi.”
Aluna menghela napas pelan dengan raut wajah pasrah. “Andai saya bisa berpikir sesederhana itu, pasti hidup saya akan tenang dan damai.” Gumamnya pelan.
“Mau nanya apa lagi?” Tanya Angkasa tanpa menanggapi gumaman penuh keluhan dari Aluna.
Gadis itu menggeleng pelan. “Sudah Mister. Terima kasih karna sudah mau bantu saya. Jujur saja saya sampai bingung nolak tawaran Ray karna dia terus memaksa saya.”
“Gampang, kamu tinggal teriak dan masalah selesai.” Ucap Angkasa santai.
“Saya masih punya hati Mister. Sejahat-jahatnya dia, saya nggak mau balas dengan kejahatan juga. Buat apa saya menambah dosa untuk laki-laki yang tidak punya rasa bersyukur seperti itu.”
“Tumben kamu pintar,” celetuk Angkasa dengan nada santai.
Aluna mencebikkan bibir karena ucapan yang terdengar meledek. “Saya memang pintar, Mister saja yang baru sadar.
Ucapan Aluna berhasil membuat Angkasa tersenyum tipis dan singkat. Namun hal itu disadari oleh Aluna hingga ia juga ikut tersenyum.
“Ih, Mister senyum ya?”
Raut wajah Angkasa kembali tegang dan datar. “Siapa yang senyum? Khayalan kamu saja.”
Aluna memicingkan mata dengan senyum jail. “Saya nggak salah lihat, loh. Kenapa sih nggak mau ngaku, padahal senyum Mister manis.” Telapak tangan Aluna langsung membekap bibirnya yang mengucapkan kata terlarang.
Angkasa berusaha menahan diri agar tidak tersenyum karena tingkah polos Aluna. Suasana kembali hening, semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Ini mulut emang asal nyablak. Tapi, terima kasih Mister karna sudah memberikan tawaran yang menggiurkan untuk saya,” ucap Aluna dalam hati.