11. PERTEMUAN MEMALUKAN

2644 Kata
“Kenapa Aluna? Kenapa kamu terlihat takut dan ragu?” “Mister, saya nggak paham dengan maksud Mister.” Aluna sudah dilanda kebingungan dan ketakutan. Angkasa mengembuskan napas pelan. Sepertinya ia harus lebih bersabar dalam menghadapi Aluna. “Saya bantu kamu untuk mencari jawaban tapi saya tidak mau kamu histeris di sini. Yang ada saya disangka berbuat yang tidak-tidak. Sekarang, kamu mau ikut ke mobil atau mau di sini saja?” “Mister mau apa?” Aluna menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, seperti sedang melindungi bagian penting tubuhnya. “Mister jangan macam-macam.” “Aluna! Saya tidak berminat sama kamu.” ucap Angkasa gemas. Aluna benar-benar polos dan naif. “Kalau mau, malam itu tidak mungkin kamu bisa selamat.” “Terus kenapa harus di mobil, kenapa tidak di sini saja?” “Ya Tuhan, panjangkan sabarku.” Gumam Angkasa frustrasi. “Saya kasih pilihan mau di mobil atau di sini, karna saya mau menunjukkan sesuatu yang bisa saja jadi penyebab kecanggungan kamu setiap bertemu dengan saya. Sudah jelas, Aluna?” “Ya sudah di sini saja.” Jawab Aluna pelan, sambil mengedarkan pandangan di area parkir restoran. “Daripada terjadi salah paham, lebih baik kita di sini saja, di tempat terbuka.” Akhirnya Angkasa menyerah dan menuruti keinginan Aluna. Terserah bagaimana reaksinya yang jelas ia sudah memberi peringatan di awal. Jika gadis di hadapannya histeris, berarti Angkasa harus siap mendapat reaksi dari orang sekitar. “Kalau kamu histeris dan orang menuduh saya melakukan sesuatu yang jahat terhadap kamu, gimana?” Angkasa mencoba bernegosiasi sekali lagi. Aluna menggeleng cepat. “Saya akan tutup mulut, saya janji Mister.” “Baiklah,” ucap Angkasa. Ia sedikit merasa heran dan bingung kenapa harus meladeni gadis ini, seperti malam itu. Perlahan tangannya merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya. Setelah itu, ia terlihat mengutak-atik sebentar, kemudian memberikan ponselnya kepada Aluna. “Kamu kenal dengan orang yang ada di dalam video ini?” Aluna menerima ponsel pemberian Angkasa. Kedua matanya menyipit memperhatikan video yang diputar oleh pria itu. Beberapa detik kemudian, mata yang awalnya menyipit kini berubah membola sempurna dengan raut wajah terkejut. Refleks tangannya membekap mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Bagaimana tidak terkejut saat melihat ada dirinya di video dalam keadaan mabuk. Ia mengoceh tanpa berhenti, seakan benar-benar kehilangan urat malu. “Mister, kok bisa?” Tanya Aluna terbata-bata. Pria itu kembali mengambil ponselnya dari tangan Aluna. “Kita bisa bicara di mobil. Saya capek berdiri di sini dan banyak nyamuk.” Melihat Angkasa pergi dari hadapannya membuat Aluna terdiam tanpa ekspresi. Rasa terkejut, malu, penasaran dan tidak percaya datang menjadi satu hingga membuatnya ingin menghilang saat ini juga. Atau jika ini mimpi buruk, maka ia ingin segera bangun. Akal sehatnya seperti sudah hilang karena pada akhirnya ketakutannya selama ini menjadi kenyataan. Kebohongan yang ia lakukan, dan konsekuensi dari bukti yang Angkasa miliki, harus Aluna mempertanggungjawabkan. “Aluna!” Panggil Angkasa yang sudah jauh di depan. “Ayo cepat!” “A-aa iya Mister.” Jawab Aluna terbata-bata. Susah payah Aluna menggerakkan kakinya untuk menyusul Angkasa ke mobil yang ada di parkiran restoran. Keringat dingin sudah mulai terasa membasahi tubuhnya dan degup jantung ketakutan tidak kunjung berhenti. “Ya Tuhan, tolong selamatkan aku.” Doa Aluna dalam hati. “Potong rambut ternyata tidak membuatku terhindar dari hari yang buruk.” Saat ini Aluna dan Angkasa sudah duduk di dalam mobil. Hampir lima menit keduanya tanpa suara. Angkasa yang tenang namun terlihat misterius. Sedangkan Aluna yang ketakutan dengan kepala menunduk. Hanya terdengar deru napas dari Aluna yang berat, menandakan kalau saat ini ia sedang tidak baik-baik saja. “Kenapa kamu diam saja?” Tanya Angkasa pada akhirnya. “Apa kamu benar-benar terkejut dengan apa yang saya tunjukkan tadi?” Aluna mencoba menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Yang Mister Angkasa bilang benar. Saya terkejut sekaligus tidak menyangka kalau Mister punya rekaman video saya lagi mabuk.” “Jadi sebenarnya kamu ingat kan kalau kita pernah ketemu di klub?” Dengan menahan malu, Aluna mengangguk pelan. “Saya ingat walaupun tidak semuanya.” “Baiklah, tenang saja. Jangan terlalu tegang Aluna.” Ucap Angkasa santai. “Mana bisa begitu, Mister!” Sambar Aluna dengan berani. Tanpa sadar nada bicaranya meninggi karena mendengar ucapan Angkasa yang cukup enteng. Angkasa menoleh mendengar suara Aluna yang meninggi. “Wah, ternyata masih punya tenaga? Saya kira karna malu sampai tidak bisa bersuara kencang.” Aluna mengembuskan napas pelan, raut wajahnya kembali lesu. “Maunya Mister apa, sih?” Pertanyaan Aluna membuat Angkasa terkejut. “Saya tidak mau apa-apa. Memang sejak tadi saya menyebutkan ingin sesuatu dari kamu?” “Maaf Mister. Saya bingung dan nggak tau harus gimana. Saya benar-benar malu dengan tingkah saya di dalam video itu.” Gumam Aluna pelan. “Aluna, kalau kamu berpikir saya meminta sesuatu karna saya punya rekaman video itu, kamu salah. Tujuan saya merekam itu, bukan karna tujuan tertentu tapi saya tidak ingin salah paham ketika saya membantu kamu dan membawa kamu ke hotel.” “Jadi, Mister Angkasa yang bawa saya ke hotel?” Gumamnya pelan. “Benar dan kamu dalam keadaan aman, bukan?” Gadis itu mengangguk pelan, bertambahlah rasa malunya saat ini. Tapi setidaknya Aluna bersyukur karena Angkasa bersikap baik dan tidak melakukan hal aneh kepadanya disaat malam itu. “Saya takut kamu sadar saat saya bawa ke hotel dan menuduh saya melakukan sesuatu. Jadi saya rekam saja saat kamu tiba-tiba ambruk. Dan kamu mengoceh seperti di video itu ketika saya akan pergi dari hotel. Awalnya saya tidak mau merekam kamu ketika di hotel, tapi kamu meracau dengan lucu. Kenapa bisa orang mabuk justru minta dinikahi. Memaki nama seorang pria dengan tidak jelas. Malam itu, kamu cukup menghibur dan memperbaiki suasana hati saya. Dan yang paling mengejutkan, ternyata kita bertemu lagi dalam keadaan yang berbeda. Sungguh kebetulan yang tidak disangka-sangka.” “Cukup Mister! Jangan diteruskan lagi. Saya mohon jangan ingatkan saya dengan kejadian malam itu.” Pinta Aluna karena ia benar-benar malu. “Satu lagi Aluna, berarti kamu ingat kalau kamu mencium saya ketika di sana?” Aluna menutup singkat wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Perlahan ia mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Angkasa. “Walaupun tidak jelas, samar-samar saya masih ingat, Mister.” Jawaban jujur Aluna membuat Angkasa tersenyum. “Jadi sebenarnya sejak pertama ketemu di kampus, kamu sudah sadar kalau kita pernah bertemu?” “Iya Mister,” jawab Aluna pelan. “Jangan bilang Mister juga ingat?” “Tidak, saya baru ingat waktu lihat video ini ada di hape saya, di hari kita bertemu di restoran.” Aluna menoleh, menatap Angkasa dengan raut heran. “Kenapa Mister pura-pura enggak ingat waktu pertemuan berikutnya dan terus memancing saya?” “Ya saya hanya mau main-main dulu sama kamu.” jawab Angkasa dengan enteng. “Mister,” protes Aluna namun dengan nada rendah, lalu menunduk kembali. “Jangan menunduk lagi. Coba lihat ke sini.” Pinta Angkasa. Aluna menoleh, lalu melihat Angkasa kembali menunjukkan video tadi. Wajahnya sudah nyaris menangis. “Saya nggak mau liat video itu.” “Video ini kamu bisa hapus.” Pria itu memberikan ponselnya. “Tenang Aluna, saya tidak pernah berniat buruk soal video itu. Lagi pula, dalam video di klub wajah kamu tidak terlihat jelas karena minim cahaya. Ya kalau di hotel agak jelas, sih. Tapi tidak ada yang tau soal rekaman itu dan saya berani jamin kalau saya tidak menyimpan video itu di tempat lain.” Tiba-tiba, terdengar suara isak tangis dari arah Aluna dan Angkasa langsung sadar. “Hei, kamu nangis?” Setelah ditanya begitu, pecah sudah tangis Aluna. Bak anak kecil yang ketahuan melakukan kesalahan, begitulah Aluna saat ini. “Mister Angkasa, saya malu banget sama Mister. Mau taruh di mana muka saya sekarang?” Tangis Aluna semakin menjadi-jadi sampai membuat Angkasa yang terbiasa tenang dan datar kini mendadak panik. “Ya nangisnya jangan keras-keras. Nanti orang curiga saya berbuat jahat sama kamu. Muka kamu ya jangan ditaruh di tempat lain, ya tetap seperti ini.” “Saya malu karna sudah cium Mister. Mabuk di hadapan Mister dan Mister juga yang bawa saya ke hotel. Pasti kelakuan saya waktu mabuk buruk banget, kan?” ucap Aluna sambil menangis. Angkasa merasa bersalah karena sudah membuat Aluna menangis. Pasti menjadi beban bagi gadis itu karena aibnya dibongkar. Ia yakin Aluna bukan gadis yang terbiasa pergi ke klub malam. Pasti saat itu ia mengalami kekecewaan yang berat hingga membuatnya nekat ke tempat itu dan minum minuman beralkohol. Perlahan, tangan Angkasa terulur lalu menepuk punggung Aluna dengan pelan. Gerakannya kaku karena ini bukan dirinya yang mudah menyentuh perempuan apalagi berstatus sebagai mahasiswinya. Angkasa berharap gadis itu bisa tenang kembali. “Sudah Aluna, jangan nangis lagi. Apa yang sudah terjadi, jangan dijadikan beban tapi jadikan sebagai pengalaman berharga agar kamu tidak melakukan kesalahan yang sama. Saya tidak berpikir kalau kalau kamu bukan gadis baik-baik karna datang ke klub dan dalam keadaan mabuk. Pasti ada sebab yang membuat kamu berakhir di sana. Iya kan?” Tidak ada jawaban dari Aluna. Suasana masih hening dan hanya ada isak tangis gadis itu. Namun perlahan, isak tangis Aluna mereda dan berangsur tenang. “Ini, hapus air mata kamu dan ingus kamu.” Angkasa menyerahkan tisu yang kebetulan tersedia di dalam mobilnya. “Terima kasih,” ucap Aluna pelan. Perlahan ia menghapus air matanya, lalu dengan semangat mengeluarkan ingus tanpa sadar kalau tingkahnya diperhatikan oleh Angkasa. Angkasa serasa ingin tertawa melihat Aluna yang sangat polos namun cukup membuatnya frustrasi. “Sudah?” Aluna mengangguk pelan. “Mister, maafin saya karna sejak awal saya bohong. Enggak ngaku kalau kita pernah bertemu. Jujur saya amat sangat malu setiap ingat kejadian malam itu. Andai saja saya tidak gegabah dan larut dalam patah hati, pasti kejadian memalukan itu tidak terjadi.” “Jadi karna laki-laki kamu berakhir di tempat itu?” “Iya Mister. Entah ke mana akal sehat saya sampai memiliki ide pergi ke sana.” Gumam Aluna dengan isak tangis masih sesekali terdengar. Perlahan, Aluna memberanikan diri untuk menatap Angkasa yang duduk di sebelahnya. “Mister mau tau kenapa saya bisa patah hati?” “Kamu mau cerita?” Tanya Angkasa dengan raut wajah kembali seperti biasanya, datar. Aluna mengangguk pelan. “Biar Mister tidak menganggap saya perempuan lemah yang mudah patah hati.” “Ya sudah kalau kamu mau bercerita, biar saya dengar.” Meski dengan perasaan ragu dan bercampur aduk dengan rasa malu, akhirnya Aluna menceritakan kisah cintanya yang berakhir tragis. Tidak hanya tragis, patah hati itu membuatnya pergi ke tempat yang harusnya hindari. Patah hati yang membuatnya melakukan hal konyol. Patah hati yang membuatnya bertemu dengan Angkasa, dengan cara memalukan. Patah hati yang membuatnya mencium dan mengajak Angkasa menikah. Angkasa mengangguk pelan setelah mendengar cerita cinta Aluna. Kisah cinta klasik yang siapa saja bisa mengalami. Hanya saja yang membedakan adalah bagaimana menanggapi patah hati tersebut. Sayangnya, Aluna melakukan hal yang harusnya bisa dihindari. Tapi mungkin sakit hatinya sudah melukai harga dirinya sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. “Kamu masih marah dengan dia?” “Masih tapi saya juga capek kalau begini terus. Saya harus bisa membuktikan kalau saya jauh lebih bahagia tanpa dia. Saya akan buat dia sangat menyesal karna sudah menyakiti saya.” “Baguslah kalau kamu cepat sadar,” ucap Angkasa. “Jadi, sekarang jangan nangis lagi. Saya jadi merasa bersalah.” “Mister tersentuh dengan kisah saya, makanya merasa bersalah?” Tanya Aluna dengan polosnya. Pria itu menoleh, menatap tidak mengerti ke arah Aluna. “Saya merasa bersalah karna buat anak orang menangis. Bukan karna kasian setelah dengar cerita kamu. Di dunia ini, yang mengalami patah hati bukan hanya kamu saja. Bahkan latar belakang patah hatinya juga ada yang sangat ekstrem daripada kamu.” Baru saja merasa dipedulikan, nyatanya Aluna salah paham. “Iya saya tau dan saya sadar kalau patah hati saya belum seberapa. Mister sendiri kenapa pergi ke klub? Nggak takut ada mahasiswa yang sadar kalau dosen suka ke klub?” “Saya pergi ke klub dengan status pengangguran alias belum resmi sebagai dosen. Saya baru pulang dari Singapura dan mau cari suasana baru.” “Oh gitu,” gumam Aluna. Angkasa mulai menyalakan mobilnya. “Kasih tau alamat rumah kamu sekarang, biar saya antar pulang. Ini sudah malam, jangan kelayapan lagi. Ingat, kamu harus cepat menyelesaikan skripsi kalau mau cepat lulus.” Aluna menghela napas, lelah jika berdebat dengan dosen yang moodnya naik turun seperti Angkasa. “Baik Mister.” Selama perjalanan suasana hening tanpa suara baik dari Aluna maupun Angkasa. Aluna sendiri merasa lelah setelah menangis. Ia bersusah payah menahan kantuk agar tidak tertidur di mobil Angkasa. Apa jadinya jika ia tidur sedangkan pria berstatus sebagai dosennya sedang mengemudi. Pasti Angkasa akan berpikir kalau Aluna tidak sopan. Sedangkan, Angkasa sendiri nampak fokus mengemudi. Kening pria itu sampai mengkerut saking seriusnya. Aluna menoleh ke arah Angkasa beberapa kali. Ketika ia menguap, tangannya segera menutup mulutnya. Ini terjadi beberapa kali sehingga menarik perhatian pria di sebelahnya. “Kamu kenapa? Ngantuk?” Tanya Angkasa tanpa melihat Aluna. “Enggak Mister. Saya baik-baik saja kok.” Jawab Aluna bohong. “Kalau mau tidur, ya tidur saja.” “Eh?” Aluna sedikit terkejut. “Nggak, saya bakalan muka mata sampai rumah.” Angkasa mendengkus dengan sedikit senyum sinis. “Kamu pikir saya akan bawa kamu ke hotel seperti malam itu? Sudah saya bilang, saya tidak ada niat seperti itu, apalagi dengan mahasiswi saya sendiri.” Sepertinya Angkasa salah sangka dengan maksud Aluna. Ia bahkan saat ini tidak berpikir kalau Angkasa memiliki niat jahat. “Ya ampun Mister, saya tidak punya pikiran buruk sama Mister. Rasanya kurang sopan saja Mister mengemudi sedangkan saya tidur. Saya minta maaf dan tolong jangan salah paham.” Tidak ada jawaban dari Angkasa dan Aluna juga memilih diam, menatap ke arah luar jendela mobil. Malam ini adalah malam yang luar biasa bagi Aluna hingga membuatnya lelah hati dan lelah pikiran. Beberapa saat kemudian, mobil yang dikemudikan oleh Angkasa sudah sampai di depan rumah Aluna. “Sudah sampai.” Ucap Angkasa datar. Merasa tidak mendapat reaksi dari gadis di sebelahnya, langsung saja membuat Angkasa penasaran. Ketika menoleh ke samping, ia mendapati Aluna sudah tertidur pulas. Bahkan suara dengkuran halus terdengar dari arah gadis itu. “Katanya tidak ngantuk tapi ketiduran juga,” gumam Angkasa sambil menggeleng pelan. “Aluna, bangun.” Tidak ada cara lain akhirnya Angkasa menyentuh tangan Aluna dengan jari telunjuknya, mentowel gadis itu agar bangun. Angkasa harus melakukan beberapa kali sampai akhirnya Aluna membuka mata dengan wajah bingung. “Akhirnya bangun juga,” ucap Angkasa lega. “Mister?” Gumam Aluna. “Kita di mana?” Angkasa mengarahkan telunjuknya ke samping Aluna. “Rumah kamu.” Aluna mengedarkan pandangan dan akhirnya ia sadar sedang di mana sekarang. Dengan suara sedikit lemas dan rambut sedikit berantakan, Aluna berusaha membenarkan posisi duduknya. “Maaf Mister kalau saya ketiduran.” “Hhmm,” gumam Angkasa. “Kamu bisa turun sekarang, kan?” “Eh, iya. Maaf Mister.” Aluna benar-benar nampak bodoh saat ini. “Mister, terima kasih sudah antar saya pulang. Maaf kalau hari ini saya merepotkan dan menyusahkan.” “Iya sama-sama.” Jawab Angkasa darat. Aluna membuka sabuk pengaman, lalu turun dari mobil Angkasa. “Mister, mulai malam ini tolong lupakan tragedi malam itu. Sekali lagi saya minta maaf dan terima kasih” ucap Aluna sambil tubuhnya membungkuk beberapa kali. “Kamu tenang saja.” “Hati-hati Mister,” ucap Aluna dengan tangan melambai ke arah Angkasa. “Semoga sampai di rumah dengan selamat.” Angkasa hanya tersenyum singkat lalu kembali melajukan mobilnya, meninggalkan Aluna yang masih berdiri. Pria itu menggeleng pelan, mengingat bagaimana tingkah gadis itu. “Dasar gadis polos, bisa-bisanya bertingkah absurd di hadapan dosen.” Sementara itu, kondisi Aluna saat ini tidak mencerminkan orang yang baru saja pulang dari me time. Wajahnya kusut, matanya sedikit merah dan terlihat kacau. “Ya ampun, hari ini bener-bener ujian banget,” keluh Aluna dengan wajah nampak frustrasi. “Semoga Mister Angkasa nggak ingkar janji dan melupakan pertemuan memalukan itu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN