Daun-daun kering berserakan di halaman. Semalam, angin berembus cukup kencang. Pagi ini aku sibuk menyapui halaman rumahku sekaligus halaman rumah kosong. Entah kenapa aku senang membersihkan teras dan halamannya yang sering dipenuhi dedaunan kering atau ranting-ranting pohon kering yang meranggas.
Kegiatan menyapu ini sangat menyenangkan. Aku tipe yang tidak mudah keluar keringat, dengan menyapu seperti ini di terpa sinar matahari pagi, secara tidak langsung aku sudah berolahraga. Menggerakkan otot tangan cukup membuat tubuhku sedikit berkeringat. Aku tidak melihat Nenek Laksmi keluar rumah untuk berjemur seperti biasa. Sudah tiga hari sejak malam di mana ia dan Kakek Sugiono mencuci motor. Hanya Kakek Sugiono saja yang kadang terlihat mondar-mandir keluar-masuk rumah. Aku pikir ia masih mengurus soal motor yang hilang.
Saat menyapu, aku mendengar suara cakaran itu lagi. Di rumah kosong. Kali ini suaranya lebih jelas, kuku-kuku itu mencakar-cakar jendela membuatku gigi-gigiku terasa ngilu.
Aku mendekat. Menuju pintu jendela rumah kosong yang tampak gelap. Kemudian mengintip ke dalam rumah. Betapa terkejutnya aku saat melihat hewan berbulu sedang mencakar-cakar jendela kaca.
***
Kutaruh sapu lidi dan pengki di tempatnya lagi di sudut halaman rumah. Aku berlari kecil pulang ke rumah. Mencari ponselku di kamar. Aku harus menghubungi Mas Fery sekarang, walau pun aku tahu mungkin ia sibuk di lapangan di jam kerja pagi ini.
“Mas,” seruku dengan napas tersengal, setelah Mas Fery menerima teleponku.
“Kenapa, Yank?” tanyanya di seberang sana. “Kok kedengerannya panik gitu.”
Aku menceritakannya pada Mas Fery, soal hewan berbulu yang kulihat di rumah kosong barusan.
“Kesian, Mas, dia kejebak di rumah kosong itu. ternyata suara cakaran itu, suara cakarannya kucing pengen keluar dari sana. Dia terus mengeong minta tolong,” ucapku sendu, aku merasa kasihan pada kucing lucu berbadan gembul itu.
“Jendelanya nggak bisa dibuka?”
“Enggak lah, semuanya terkunci, Mas. Itu kucing kok bisa masuk ke rumah kosong, sih?” Aku penasaran. Kalau kucing itu ada di dalam, berarti ada jalan masuk yang ia lalui. Memang sering aku melihat kucing-kucing--entah peliharaan siapa a aku tidak tahu—bermain di aerah sini, kadang anabul-anabul itu bermain di aera sini.
Kucing yang terjebak di rumah kosong itu terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Dia memiliki warna mata cokelat kekuningan yang indah, dan bulunya berwarna abu-abu yang unik, pendek, keriting dan agak kasar. Entahlah, aku tidak begitu paham jenis kucing. Tetapi saat melihatnya, hewan itu sangat menggemaskan.
“Coba kamu hubungin Security deh, Yank. Barangkali ada yang punya duplikat kunci rumahnya,” saran Mas Fery dan aku langsung menyetujuinya.
Setelah menelepon Mas Fery, kucari nomor-nomor security yang pernah Bu RT bagikan di grup kompleks. Security kompleks ternyata ada empat orang, dan aku menyimpan nomor Gunawan, hanya dia yang kukenal karena pernah berinteraksi denganku. Sayangnya, saat dihunungi, Gunawan mengatakan dia tidak memiliki kunci rumah kosong, begitu pun dengan rekan-rekannya sesama Security.
“Congkel aja jendelanya, Mbak,” suruh Gunawan, sebab tidak ada solusi lain selain mencongkel pintu jendela agar terbuka.
“Aku nggak bisa.”
“Ntar nunggu suaminya aja.”
Aku menghela napas panjang. Lama kalau nunggu Mas Fery pulang. Aku nggak taahu sudah berapa lama kucing itu terjebak di dalam rumah kosong.
Aku mengakhiri telepon, setelah mengucapkan maaf dan terima kasih karena sudah mengganggu waktunya.
“Gimana caranya, ya?” Terus aku berpikir, kucing itu pasti kelaparan dan kehausan saat ini.
“Mbak Feli lagi ngapain?” tegur Kakek Sugiono saat ia baru pulang dan melihatku terus menatap ke arah rumah kosong. Suara kucing terus mengeong minta tolong sambil mencakar-cakar jendela kaca, kadang kepalanya berusaha ingin mengintip keluar.
“Eh, Kakek. Ada kucing terjebak di dalam rumah kosong, Kek.”
“Hah, masa sih?” tanya Kakek seolah tak percaya.
“Iya, tuh, lagi nyakar-nyakarin jendela penegn minta dikeluarin,” tunjukku ke arah jendela. Tapi Kakek Sugiono tidak begitu tertarik untuk melihat kucing tersebut. Ia hanya melihat sebentar ke arah jendela dari jarak cukup jauh kemudian pamit ingin masuk ke rumahnya.
Aku terasa lesu dan tidak bersemangat. Aku terus memikirkan kucing itu.
“Sabar ya, Push. Aku lagi mikirin gimana caranya biar kamu keluar dari sana.”
Kucing itu berhenti mencakar-cakar, dia berlari menuju kamar depan, rupanya ia mencakar-cakar jendela kamar seperti yang ia lakukan di jendela ruang tamu.
Kasihan si Kucing. Bagaimana caranya, aku harus mengeluarkannya dari sana. Aku berpikir cukup lama, kalau menunggu Mas fery pulang, takutnya suamiku pulang malam. Minta bantuan Kakek Sugiono, rasanya enggan mengingat ia seakan tak peduli pada kucing yang sudah kukatakan terjebak di dalam rumah kosong. Apa aku harus menconngkel jendela sendirian. Oh, enggak, deh!
Mendadak aku punya ide. Dengan langkah ringan, aku kembali ke rumah. Namun saat di depan teras, ada suara seperti orang menangis.
Siapa yang nangis?
suara itu berasal dari rumah Kakek Sugiono. Tapi yang menangis suara perempuan. Nenek Laksmi atau Sri?
Ah, sudahlah. Kata Mas Fery jangan terlalu kepo alias mengurusi urusan orang lain. Oke, aku berusaha untuk tidak peduli, dan melanjutkan masuk ke rumah.
Kuraih kunci pintu, mungkin saja ada keajaiban yang Tuhan berikan. Aku bermaksud ingin membuka kunci pintu rumah kosong menggunakan kunci rumahku. Semoga ... semoga, aku terus berharap dalam hati.
***
Sekarang aku sudah di depan pintu rumah kosong. Sebelum memasukkan kunci rumah, sekali lagi aku berdoa, tidak ada maksud apa pun atas tindakanku. Aku hanya ingin menolong kucing yang terjebak di dalam sana. Sungguh.
Kumasukkan kunci rumahku ke dalam kunci rumah rumah kosong. Agak berdebar saat memutar kunci agar terbuka. Tuhaaan, help me, please ....
Ceklek!
Tubuhku mematung, rasa tak percaya menjaliriku. Pintu rumah kosong bisa dibuka!
Oh, my God!
Hanya sekali putar, kunci berhasil dibuka. Perlahan kupegang knop pintu, sedikit menekan dan mendorongnya ke dalam. Sangat hati-hati.
Pintu terbuka, bau tak sedang menyerbu penciuman, bau khas rumah kosong, pengap dan apek. Suasana agak gelap, tidak ada cahaya masuk ke dalam. Ketika melihat pintu terbuka, ruangan sedikit terlihat jelas, tapi aku takut untuk melongokkan kepala lebih dalam, hanya membuka pintu sedikit agar kucing bisa keluar.
Saat pintu kubuka, kucing lucu itu kegirangan. Cepat dan gesit ia berlari keluar rumah. Lalu secepat mungkin pula kututup kembali pintu rumah dan menguncinya.
Aku bisa bernapas lega sekarang. Setidaknya, aku tidak memikirkan kucing malang itu.
“Meong ....” Kucing mengeong, rupanya ia tidak pergi jauh, ia berdiam diri di depan pintu jendela.
“Mungkin dia lapar,” pikirku kemudian. aku ingat ada ikan goreng di rumah. Aku kembali pulang mengembalikan kunci rumah sekaligus mengambil sepotong ikan goreng yang kucampur nasi di dalam plastik, untuk kuberikan pada kucing.
Aku ingin memberi kucing itu nama, karena kucing laki-laki aku memanggilnya ‘Bambang’. Ya, Bambang. Kurasa nama itu cocok untuknya.
Bambang makan dengan lahap, kuberi juga ia air untuk minum. Ingin rasanya memelihara kucing lucu itu, tapi melihat ada kalung di leher Bambang, berarti ia ada yang punya. Tapi siapa? Selama ini aku tak melihat seseorang datang mencari kucingnya yang hilang.
Kuamati Bambang yang sibuk menghabiskan makanannya. Tidak lupa aku memvideokannya juga untuk kuperlihatkan pada Mas fery, betapa lucunya Bambang.
Selesai makan, kupikir Bambang akan pulang ke rumah majikannya. Tapi sejak tadi kulihat dia terus menatap jendela sambil mengeong. Aku melihatnya aneh, ada apa dengannya? Dari luar ia kembali mencakar jendela, seakan ingin kembali masuk ke dalam.
“Meong ... meong.”
Dasar kucing aneh!
Aku kebingungan, apa yang ingin kucing itu lakukan, sih? Astagaaa.
“Push, kamu mau ngapain, sih?” tanyaku sambil mengelus bulunya yang unik. Bulunya terasa geli di telapak tangan.
Bambang seakan tidak menghiraukanku, ia terus mencakar-cakar jendela. Bosan melihatnya bertingkah aneh, kutinggalkan ia sendirian.
“Aku mau pulang, Push. Jangang coba-coba masuk lagi ke rumah ini. Bahaya. Kamu bis mati kelaparan di dalam sana. Kamu mungkin bisa masuk, tapi kamu nggak bisa keluar.” Aku duduk berjongkok menghadapnya, memberitahu agar ia mengerti. Tidak baik untuknya berada di tempat itu.
Bambang berhenti mencakar. Kedua mata indahnya menatapku lurus-lurus seakan paham apa yang kubicarakan. Lalu ia membuang muka dan melenggang pergi menjauh dariku menuju jalan ke depan. Badannya yang gembul, membuat bokongnya bergerak menggemaskan saat berjalan.
“Uuunch bangeett kamu, Bambaaang!”