1. Hadiah dari Papa-Mama
"Hadiah pernikahan kita dari Papa dan Mama." Mas Fery menunjukkan kunci rumah beserta sertifikatnnya.
Aku sungguh tak menyangka Papa dan Mama mertuaku memberikan kami hadiah pernikahan satu unit rumah. Padahal aku pikir, aku dan suami akan tinggal di rumah kontrakan untuk sementara, sebab aku tak ingin tinggal serumah dengan mertua setelah menikah.
"Apa ini nggak berlebihan ya, Mas?" Aku ragu. Aku takut Papa dan Mama terlalu memaksakan diri supaya kami tidak hidup bersusah payah pindah-pindah kontrakan nantinya.
Mas Fery menggeleng kuat-kuat, seolah ia sangat yakin dengan apa yang orangtuanya berikan.
"Nggak apa, Sayang. Itu namanya rezeki. Lagipula kalau kita tolak, mereka pasti sedih. Nanti kalau kita ada rezeki, kita tabung untuk keperluan Papa dan Mama bila ada kebutuhan mendadak. Sebagai anak, kita harus sigap mengingat mereka semakin menua. Kan kita nggak tahu kedepannya seperti apa," tutur Mas Fery lembut, tapi ada ketegasan dalam setiap kalimatnya.
Mas Fery benar, seharusnya kami menunjukkan sikap bahagia atas pemberian orangtuanya. Toh, dari dulu Mas Fery memang selalu dimanja, selalu dipenuhi keinginannya. Maklum, suamiku itu adalah anak semata wayang yang--menurut cerita Mama mertua--sangat diperjuangkan hidupnya.
"Kita gak jadi bulan madu ke Singapura gapapa, ya? Kan nanti kita bulan madunya di rumah baru," lanjut Mas Fery. Tapi terdengar takut-takut mengatakannya.
"Gak apa-apa, Mas. Aku di mana aja oke asal honeymoon-nya sama kamu. Besok, aku akan ucapin makasih secara langsung ke Mama-Papa." Aku menarik selimutku hingga ke leher. "Oya, Mas. Kenapa Papa-Mama nggak kasih langsung ke aku juga hadiahnya?" Aku baru memikirkan itu.
Mas Fery menarik napas dalam lalu ia embuskan perlahan, "Yaah, tadinya mereka mau kasih kejutannya besok, tapi Mas sudah tahu lebih dulu saat Papa sibuk ngurusin berkas-berkas pembelian rumah. Kan Papa minta bantuannya ke Mas juga buat ngurusin. Hehee." Mas Fery terkekeh, ia seakan menertawakan Papa mertua yang dianggap masih belum lihai soal menyimpan rahasia. Contohnya saja ia terlihat geli mengingat Papa minta tolong.
Ya, ya, ya. Orangtuaku juga sering seperti itu. Mereka takkan pernah berhasil memberi kejutan pada anak-anaknya karena kadang lupa untuk tidak meminta tolong. Dan akhirnya kejutan mereka ketahuan.
"Orangtua kita lucu ya, Mas." Tak sadar aku pun ikut senyam-senyum melihat tingkah para orangtua kami.
Mas Fery segera meletakkan kunci rumah dan sertifikatnya kembali dalam loker meja samping ranjang. Kemudian ia melompat ke samping tempatku berbaring.
"Lucuan juga kamu!" Ia mencubit hidungku, gemas.
"Uiih, lucu apanya coba." Aku pura-pura merajuk, memasang tampang yang sengaja dicemberutin. Melihatku bertampang aneh, justru Mas Fery makin gemas.
Wajah Mas Fery semakin mendekat. "Lucu kalo lagi sok manjah."
Uuugh, kapan aku manjanya cobaaa?
***
Pagi-pagi aku sudah menyiapkan sarapan di dapur. Membuat pisang goreng, roti bakar selai cokelat dan potongan buah. Untuk Papa mertua, ibu sudah membuatkannya kopi lebih dulu. Hari ini, hari terakhir aku dan Mas Fery tinggal di rumah Papa-Mama mertua pasca hari pernikahanku dua hari lalu.
Papa dan Mas Fery sarapan di ruang tamu sambil melihat berita pagi di koran. Walaupun sekarang era digital, tapi Papa masih suka membaca koran ketimbang membaca berita via internet. "Mata Papa gak kuat lihat layar ponsel," kilahnya saat itu saat kukatakan tentang berita-berita terupdate di internet. Komplit. Mama yang mendengar percakapan kami hanya menimpali, "Papa itu kan orang jadul, mana betah sama ponsel canggih." Seketika Papa melotot ke arah Mana lalu kami tertawa bersama. Makanya sampai sekarang, Papa masih setia dengan koran pagi yang menurutnya 'gak bikin ribet'.
Aku dan Mama sarapan di dapur. Jangan heran gaya sarapan di rumah ini terpisah-pisah, mereka bebas memilih sarapan atau tempat makan sesuka hati. Asal nyaman dan menyenangkan. Tidak harus berkumpul di satu meja yang terkesan terlalu formal.
Selesai sarapan, Mama tiba-tiba bertanya, "Fel, Kamu belum mandi?" bisik Mama. Mungkin ia baru menyadari aku masih mengenakan piyama.
Aku memutar bola mata. Pipiku terasa menghangat. Malu. "Belum. Dingin, Ma. Kan semaleman ujan. Ntar aja mandinya bis sarapan." Aku terkekeh.
"Duuh, Felii. Kamu gimana sih, masa gak mandi?" Alis Mama terangkat, kemudian ia bicara sepelan mungkin, "Memangnya semalam kalian ngga hub--,"
"Mama suka kepo, deh!" Tau-tau Mas Fery nongol di dapur, ia mendekati meja dan mencomot pisang goreng dan mengunyahnya lahap, "Enyak!" katanya sambil memasukkan sisa gigitan pisang gorengnya. Kemudian ia kembali ke luar dari dapur dan duduk di dekat Papa yang asik dengan koran paginya, ditemani kopi dan pisang goreng.
Mama hanya melongo melihat putranya. "Tumben dia doyan pisang goreng," celetuknya keheranan. Sekilas ia melirikku. "Oh, ya, pasti karena Felicia yang buat."
Mas Fery terkekeh. Sejak dulu dia memang suka pisang goreng, hanya saja kalau Mama yang buat pisangnya keras dan agak 'sepet', tapi Mas Fery tak pernah bilang ke Mama soal itu. Makanya Mama beranggapan anaknya tidak suka pisang goreng.
Diam-diam aku menarik napas lega, Mas Fery sudah menyelamatkanku dari pertanyaan Mama. Sepertinya Mama sudah lupa apa yang ia katakan tadi. Langsung saja aku mengalihkan topik pembicaraan.
"Ma," panggilku, menatap wajah perempuan berusia 49 tahun itu lembut.
"Ada apa, Fel?" Suara Mama terdengar 'adem'.
"Hemm, soal ... hadiah dari Mama dan Papa, makasih ya. Feli semalam diberitahu Mas Fery kalau Mama dan Papa kasih rumah. Seharusnya--,"
"Fel," potong Mama cepat, "Itu rumah Fery yang beli, Papa dan Mama cuma menambahi saja. Memang Mama yang saranin suamimu agar uang tabungan dibelikan rumah, biar kalian nggak repot pindah sana-sini," lanjut Mama, ia mencoba menjelaskannya padaku.
"Iya sih, Ma. Tapi kan ... jadi ngerepotin Mama sama Papa. Feli gak apa kok, Ma, kalaupun harus sewa rumah dulu. Biar tabungan Mama masih utuh."
"Ssstt, sudah. Gak apa-apa. Jangan dipikirin. Fery itu kan anak satu-satunya Mama, jadi Mama ingin kasih yang terbaik untuk kalian. Nanti, kalau ada rezeki kalian bisa tabung, buat anak-anak kalian nantinya."
Tangan Mama meraih tanganku, ia genggam begitu lembut. "Mama titip Fery ke kamu ya, Fel. Jaga Fery demi Mama. Jaga rumah tangga kalian sebaik mungkin." Genggaman Mama semakin mengerat.
"Ma, Feli janji, akan menjadi istri yang baik untuk Mas Fery. Selama Mas Fery percaya sama Feli, mencintai Feli, sepenuhnya Feli akan menjaganya."
Mata Mama berkaca-kaca. Lalu mulai terisak. Kupeluk Mama penuh kasih. Aku tahu betul gimana perasaan Mama harus berpisah dari anak semata wayangnya. Jika selama ini Mama disibukkan mengurus Mas Fery, sekarang tak lagi. Akulah orang yang akan menggantikan perannya, bahkan lebih dari itu. Aku juga calon ibu bagi anak-anak Mas Fery kelak.
"Ma." Aku mengusap punggung Mama.
"Janji sama Mama, ya, kalian harus sering-sering ke sini. Biar Mama nggak kesepian. Cepet-cepet juga punya momongan, biar Mama cepat dipanggil nenek." Mama bicara banyak dalam pelukanku, bersamaan dengan Mas Fery kembali melongokkan kepala ke dapur berdua dengan Papa. Rupanya keduanya mendengar suara isakan tangis Mama.
"Sudahlah, Ma. Gitu aja kok cengeng. Besok kalau Fery sama Felicia pindah ke rumah mereka, kita kan bisa leluasa bulan madu lagi." Papa mengedipkan satu mata pada Fery.
"Ide bagus itu, Pa. Jangan lupa kabarin kalau Fery punya adek." Tawa Fery pecah, diiringi gelak tawa Papa. Keduanya tampak senang menggoda Mama yang masih mencebik.