2. Otw Rumah Baru

1177 Kata
Pukul 02:30, Mas Fery masuk kamar, ia mendapatiku yang asik berbalas pesan sembari mengemasi pakaian.     “Sayang, kita lihat rumah, Yuk?” ajak Mas Fery bersemangat. Aku yang lagi sibuk dengan ponsel segera menoleh padanya. “Sekarang?”   “Yo’e, kan besok sore kita mau pindah ke sana. Sekalian lihat barangkali ada yang harus dipersiapkan.”   Aku segera mematikan ponsel dan menyimpannya dalam tas. “Iya, kamu bener, Mas. Tapi apa gak kesorean pulangnya nanti?”   “Gak, kan cuma sebentar, Sayang.” Mas Fery mendekatiku dan mengecup bahuku lembut.   Cup!   Ah, aku jadi tak sabar ingin segera pindah dan menghabiskan waktu sepanjang hari bersama Mas Fery. Aku yakin dia pun sudah tak sabar ingin ...   “Bersemu pink gitu mukamu, lagi mikirin apa hayooo.” Mas Fery menjawil hidungku, bibirnya mengulum senyum membuatku merasa malu. Ketahuan mikirin yang enggak-enggak.   “Gak kok, Mas. Aku lagi bayangin keseruan kita nanti di rumah baru kita.”   “Iya, iyaaa. Mas juga sudah nggak sabar, nih, pengen bikin Fery junior!” celetuknya, makin menggoda.   Aku hanya tertawa, tak tahu harus menjawab godaannya bagaimana. Dia memang pintar membuat wajahku bersemu malu-malu dan terdiam tak mampu berkata-kata. Hanya perasaanku yang selalu berisik mengurai cinta.   *      Aku orang yang paling simpel kalau mau pergi-pergi. Aku suka pakai jins dan blush tanpa lengan. Pakai make up tipis-tipis tapi tetap segar dipandang. Iya, dipandang sama Mas Fery pastinya. Dari dulu memang tak terlalu suka dandan yang terlalu menor, selain tidak nyaman, Mas Fery suka komplen. 'Kayak ondel-ondel kesasar' katanya, kalau lihat aku lagi belajar make over.   Sekali lagi aku melihat penampilanku di cermin lemari kamar. Cukup simpel, hanya saja rambut panjang bergelombangku sepertinya harus diikat atau digelung ke atas. Tapi aku pikir tak apalah sesekali tergerai tanpa diikat. Biar enteng kepalaku.   “Sayang, yuk!” ajak Mas Fery dari ruang tamu, sudah tak sabar.   Aku segera meraih tas tanganku dan menyampirkan talinya di bahu kanan. “Yuk!” Aku segera keluar kamar, tersenyum lebar ke arah Mas Fery.   “Fery,” panggil seseorang dari arah depan.   Mama?   “Kalian mau ke rumah baru kan?” tanya Mama, kedua tangannya memegang kantung plastik hitam.   Aku menatap Mama heran.   “Iya, Ma. Nih, kita mau berangkat,” jawab Mas Fery, sembari menunjukkan kunci mobil.   “Fer, bawa ini ya. Ini tanah di depan rumah kita, nanti sampai di rumah baru kalian, tanah ini kamu tabur di halaman rumah. Biar kalian betah tinggal di sana. Nih, ambil.” Mama menyodorkan kantung plastik hitam itu pada Mas Fery, tapi Mas Fery malah mengernyitkan dahi.   “Mama mah, percaya aja sama mitos ginian. Tapi gak apalah, Fery bawa. Biar Mama seneng. Hehee.” Mas Fery meraih kantung plastik itu, lalu mengecup kening dengan cepat.   “Kamu itu lho, mitak-mitos. Tapi cara itu buktinya ampuh kok biar yang menghuni rumah betah,” cerocos Mama tak mau kalah.   “Iya, iya. Udah dulu ya, Ma. Takut kesorean.” Fery mengabaikan Mama dan segera menggenggam tanganku.   “Feli berangkat ya, Ma. Nanti Feli kabarin kalo udah sampe. Dah, Mama!” Aku mencium pipi Mama sekilas, kemudian segera meninggalkan Mama menuju garasi.   “Tanahnya banyak banget lagi,” kata Mas Fery setelah kami berada di mobil.   Aku mengencangkan sabuk pengaman. Sekilas melihat plastik hitam berisi tanah itu di bawah kaki Mas Fery.   “Kalau aku jadi Mama, aku pasti nggak bakal kasih tanah. Biar kamu nggak betah dan tinggal bareng Mama terus.”   “Nah, cerdas kamu, Yank!” Mas Fery mengacak rambutku. “Tapi kan Mama pengen aku betah di sana, bareng kamu. Berarti bagus dong.” Ia tertawa kecil.   “Dulu aku juga begitu, Mas. Saat pertama kali merantau ke Jakarta, Mamak kasih tanah juga. Berarti adat begitu ternyata hampir merata di setiap daerah ya, Mas?”   Mas Fery masih menatap lurus ke jalanan. “Iya, Yank. Kan itu adat turun temurun,” jawab Mas Fery singkat. Sepertinya kurang tertarik membahas soal tanah ini.   Aku tak bicara lagi. Kulempar pandangan ke luar kaca, melihat gedung-gedung tinggi seolah saling berkejaran dengan cepat. Ruko-ruko besar di pinggir jalan dan kendaraan lalu lalang hanya dapat kulihat selintas. Kendaraan Mas Fery melaju cepat, seperti waktu. Waktu yang membawaku hingga saat ini.   Perasaan, aku baru saja merantau ke Jakarta setelah lulus sekolah. Mencari kerja dan menjadi salah satu pendatang yang ikut mengadu nasib di kota metropolitan ini.   Perasaan, baru kemarin aku mengenal Mas Fery. Kami tak sengaja bertemu di Gramedia di sebuah Mall di pusat kota. Aku yang sedang sibuk mencari komik favoritku, Detektif Conan, sedangkan Mas Fery ingin membeli buku tentang motivasi bekerja. Saat itu, aku hampir saja menabrak Mas Fery karena membaca sambil berjalan mengitari lorong. Aku merasa konyol waktu itu. Kalau diingat sangatlah memalukan. Beruntung, Mas Fery tipe laki-laki penyabar, ia tak memarahiku tapi justru memamerkan senyumnya.   “Hati-hati,” katanya, “kalo baca itu duduk, bukan sambil jalan.”   Sumpah, aku malu saat itu. Sebenarnya, aku hanya penasaran dengan blurb yang tertera di sampul belakang buku, aku pikir membacanya sebentar berjalan menuju kasir tak akan membahayakan, apalagi Gramedia cukup sepi. Tapi faktanya, aku hampir menabrak seorang laki-laki. Tak bisa kubayangkan kalau saat itu Mas Fery pasrah begitu saja aku tambrak. Mungkin aku dan dia seperti sepasang kekasih yang saling berpelukan.   “Sayang, mau mampir beli camilan dulu nggak ke Market?” tanya Mas Fery, membuyarkan lamunanku tentangnya.   Aku agak tergagap, “Eh, eng ... nggak deh, Mas. Ntar aja kalau sudah dekat rumah.”   Mendengar jawabanku, Mas Fery malah tersenyum geli.   “Ini tuh udah di deket perumahan tempat tinggal kita nanti, Sayang. Tinggal maju beberapa meter kita udah sampe.”   Hah?! “Kok cepet ya, Mas?” Aku sudah mirip orang bloon.   “Yeaah, makanya jangan melamun terus. Mas panggil-panggil dari tadi kamu cuekin aja,” sungutnya. Pura-pura 'ngambek'.   Aku tergelak. “Masa sih, Mas?”   “Hhmm.”   “Ma-af.”   “Iya, gak apa. Jadi belanja nggak nih?” Mas Fery mengingatkan. Aku langsung menyetujui. Ternyata perumahan tempat tinggal kami sangat dekat dengan minimarket warna biru dan merah. Iyes! Aku turun dari mobil dan segera berlari kecil menuju pintu masuk minimarket. Kurang keranjang belanja dan mulai mencari jajanan favoritku dan Mas Fery. Memasukkan botol mineral ukuran besar, dua kaleng s**u segar, satu pack roti manis isi, dua bungkus Snack keripik kentang dan dua batang cokelat almond. Oya, satu lagi, satu bungkus rumput laut. Selesai. Gegas aku membawa keranjang belanjaan ke depan kasir. Setelahnya, buru-buru keluar karena takut Mas Fery menunggu lama.   Oh, bukan itu. Masa pandemi rupanya banyak mengajarkan banyak hal dalam hidupku, hidup kami, hidup semua orang yang terdampak. Tak lagi berlama-lama di pusat perbelanjaan, benar-benar menghindari kerumunan. Aku paling 'parno' kalau di tempat tertutup yang ramai orang. Bahkan, batal bulan madu ke Singapura saja aku tak keberatan. Daripada di sana asik-asik tapi pulangnya bawa penyakit.   Ah, sudahlah. Ini hanya ketakutanku saja. Bukankah semua orang punya caranya sendiri agar hidupnya menjadi nyaman?   “Lama yah, Mas?” tanyaku setelah masuk mobil.   “Gak kok, Yank,” jawab Mas Fery sembari menyalakan mesin mobil dan melajukannya pelan. Kami sudah kembali meluncur menuju perumahan tempat tinggal kami nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN