3. Bikin Speechless

1643 Kata
    Mas Fery benar, rupanya kami memang sudah sangat dekat. Beberapa menit belanja di minimarket tadi, mobil berbelok ke kiri jalan memasuki sebuah perumahan. Aku melihat tulisan 'ASRI HILL' di atas sebuah bangunan dari beton yang terletak di tengah-tengah taman.   “Siang, Pak. Mencari alamat siapa?” tanya seorang petugas keamanan saat mobil kami berhenti tepat di post satpam. Wajahnya sempat melongok dari luar kaca mobil yang setengah terbuka. Mungkin sedikit pemeriksaan.   “Saya Fery, pemilik rumah baru yang ada di blok i-14. Area paling ujung.” Mas Fery menjelaskan.   Petugas Keamanan itu seakan kurang yakin, ia bicara dengan tegas. “Maaf, untuk sementara bisa tinggalkan KTP atau kartu identitas lainnya juga boleh.”   “Tunggu.” Mas Fery merogoh dompet di saku belakang celana, sedikit mengangkat b****g untuk mendapatkannya. Dompet berhasil ia ambil dan mengeluarkan kartu tipis di dalamnya. “Ini,” katanya segera menyodorkan kartu tersebut pada Petugas Keamanan.   “Baik. Terima kasih. Silakan,” ucap Petugas Keamanan yang berperut buncit itu mempersilakan mobil kami melaju setelah menyimpan KTP Mas Fery.   Mobil kembali bergerak lambat, menyusuri jalan kompleks. Aku melihat deretan rumah sepanjang jalan, mulai dari blok A sampai arah masuk blok I tempat rumah kami berada. Yang aku perhatikan, rumah-rumah di kompleks ini cukup besar dan hampir setiap rumahnya sudah direnovasi menjadi tingkat dua yang dibuat bermacam gaya desain baru. Tadi malam saat melihat berkas rumah, rumah-rumah di sini adalah rumah tipe 45/90. Tapi kata Mas Fery, meski mayoritas sama namun sebagian mereka membeli lebih tabah yang misal ada kelebihan tanah di samping rumah yang dibangun.   Aku tidak terlalu paham soal ini, berbeda dengan Mas Fery yang memang memiliki pekerjaan sampingan jual-beli properti. Ia lebih mengerti soal rumah, tipe, harga, keunggulan dan kekurangannya. Termasuk rumah dua tingkat yang saat ini bediri di depan kami.   Wow, sungguh. Aku tak menyangka rumah kami juga sudah bertingkat.   “Mas, ini rumah kita?” Aku melihatnya tak percaya. Speechless sudah!   “Yes, Madam. Welcome to our home,” jawabnya menggunakan bahasa Inggris dengan aksen Jawa yang kental. Gokil memang! “Yuk, turun,” katanya seraya membukakan pintu mobil untukku. “Selamat datang, Nyonya. Selamat melihat-lihat hunian baru.”   Aku tak tahan untuk tidak tertawa. Dapat ide dari mana sikap sok romantisnya itu. Begini saja sudah membuatku ... ya, ampun. Norak sudah.   Aku turun dari mobil, pandangan mata terus menyisir sekeliling rumah. Benar-benar luar biasa. Tidak hanya bangunannya yang memukau tapi area bangunan ini terkesan privasi. Tidak di blok-blok lainnya yang tadi sempat kulihat begitu rapat dan pintu-pintu rumah saling menghadap. Sementara lokasi paling ujung di sini, hanya ada tiga rumah.   Aku baru sadar, ternyata rumah kami diposisi paling tengah, diapit oleh rumah kanan-kiri yang kulihat ... seperti tak terurus.   “Rumah sebelah kiri itu kosong. Katanya lama nggak ada yang mau huni,” jelas Mas Fery, seakan membaca pikiranku.   Aku mengangguk kecil. Pantas saja terlihat berbeda. Rumah itu memiliki halaman luas tapi sangat kotor. Tidak hanya itu, bangunannya pun sudah banyak retak-retak. Dari tempatku berdiri saja, aku bisa melihat dengan jelas bahwa rumah itu ... cukup mengerikan kondisinya.   “Kalau yang samping, itu ada yang tinggal. Sepasang suami istri yang sudah Kakek-Nenek.”   Aku menelan ludah susah payah. Ekspektasiku terhempas sudah. Aku pikir, aku bakal punya tetangga yang masih muda, ceria, ramah, dan sangat bersahabat. Atau setidaknya, aku akan punya teman 'ngobrol' untuk menghilangkan jenuh sesekali.   Gila saja, selama pandemi aku lebih mirip Alien. Jarang sekali bertemu apalagi kumpul-kumpul dengan orang lain.   “Tapi kok sepi ya, Mas?” tanyaku penasaran, sekilas melihat rumah di sebelah kanan. “Nanti aja ngobrolnya. Masuk dulu, yuk.” Tangan Mas Fery menggapai pergelangan tanganku. “Nanti di dalam kamu pasti makin suka lagi.”   Ya, seperti ucapannya. Setelah memasuki rumah ini, aku benar-benar jatuh cinta. Aku menatap Mas Fery tak percaya, dia ... seperti tahu apa yang aku inginkan selama ini. Warna ruangan bernuansa ungu yang lembut. Perpaduan ungu, merah muda, dan putih.   “Tau nggak Mas dapat idenya dari mana untuk semua ini?” Tanpa kuminta Mas Fery sudah mengajukan tanya.   “Hemm, gak tahu.” Aku berpura-pura.   “Ah, pura-puranya kamu itu gak asik, Yank. Kamu sebenarnya udah tahu kalau kamu itu adalah sumber inspirasinya Mas.” Ia menatap wajahku lekat. Kalau sudah menatap begini, akunya yang 'nggak' tahan. Meleleh.   Menghindari tatapannya, aku kembali menyusuri setiap sudut ruangan di rumah ini. Tiba-tiba mataku sudah berkaca-kaca, terharu. Mas Fery pasti sudah mempersiapkan ini semua sejak lama, hanya saja aku tidak menyadari.   Setiap ruang, sudah berisi perabotannya masing-masing. Sofa dan meja TV di ruang tamu, ranjang besar yang empuk beserta lemari pakaian di masing-masing kamar—rumah ini memiliki dua kamar. Meja makan, kitchen set, rak piring, termasuk mesin cuci, jemuran dan semua perabotan rumah. Lengkap.   “Mas,” ucapku serak. Aku tahu Mas Fery terus mengikutiku sejak tadi.   Tak ada jawaban.   “Mas!” Aku cepat berbalik dan ...   Ke mana Mas Fery?   “Mas Fery kamu di mana?” panggilku lagi, kali setengah berteriak.   Tak ada jawaban beberapa saat. Lalu suara ketukan-ketukan dari atas membuat aku bernapas lega.   Astaga, ternyata dia di lantai atas.   Baru saja aku ingin menyusul ke atas, menaiki tangga setengah lingkaran di samping kamar mandi. Tiba-tiba ...   “Kenapa sih, Yank?” Mas Fery nongol dari kamar mandi.   Aku melongo menatapnya. “Bu-bukannya Mas lagi di atas, ya?” telunjukku seketika terangkat ke atas.   Mata Mas Fery menyipit. “Enggak. Mas tadi mendadak mules. Udah deh, boker dulu.”   Ya, ampun. Trus suara seperti orang berjalan di atas tadi suara apa?   “Kenapa, sih? Aneh gitu mukanya?” selidik suamiku itu.   “Oh, enggak, Mas. Gak apa-apa. Tadi aku Cuma salah denger. Kirain Mas lagi di atas.” Aku menepis pikiran-pikiran aneh itu secepatnya. Ya, mungkin saja aku Cuma salah dengar.   “Mau ke atas? Yuk!” ajak Mas Fery.   Aku hanya mengangguk pelan. Mengikuti langkah Mas Fery yang berjalan tegap menuju tangga yang menghubungkan ke lantai atas.   Sesampainya di lantai atas, Mas Fery segera menghempaskan bokongnya di sofa besar yang empuk yang tertata rapi di tengah ruangan. Aku pikir ini tempat santai pribadi kami. Satu sofa besar, karpet bulu berwarna krem yang halus dan lembut, meja besar lengkap dengan TV Android LED.   Mas Fery dengan tangan terulur menyibak tirai tinggi sekitar tiga meter dari atas ke bawah dengan lebar lebih dari empat meter,menutupi satu dinding ruangan mengarah ke luar. Menampilkan dinding kaca yang lebar.   “Yang desain semuanya kamu, Mas?” tanyaku. Ikut duduk di sofa. Menyandarkan kepala di bahunya.   “Iya, dong, Sayang. Semua demi kamu.” Ia mencoba menggombal. Kali ini ia meraih remote di atas meja dan menyalakan TV. Terlihat layar TV memunculkan gambar yang bersih dan jelas.   “Ke kamar yuk, Sayang.” Mas Fery mencium keningku dan segera menggendong tubuhku menuju kamar.   Tubuhku dihempaskan di atas ranjang besar berukiran indah. Ranjang yang empuk dengan sepray berwarna ungu motif bunga-bunga berukuran besar.   Oh, Tuhan. Benar-benar perfect!   “Ini kamar kita, Sayang.” Mas Fery berbaring di sampingku. Mata kami melihat langit-langit kamar dengan cahaya temaram. Mas Fery hanya menyalakan lampu dinding yang dapat berubah warna dengan sendirinya.   Sebenarnya kamar ini terdapat jendela yang menghadap depan. Aku bisa melihat ke halaman rumah melalui jendela kamar. Ada kamar mandi di dalam kamar, lengkap lemari pendingin berukuran sedang, lemari baju minimalis, meja kaca hias, dan sofabed di pojok kamar. Di sampingnya ada rak buku yang menempel di dinding. Kamar ini membuatku nyaman dan betah berlama-lama.   Suara TV di luar kamar masih terdengar, Mas Fery menepuk pundakku.   “Yank, belanjaan kamu tadi mana?” tanya Mas Fery, pelan menepuk tanganku.   Aish, aku hampir lupa. Untung Mas Fery mengingatkan. Suamiku itu memang suka ‘ngemil’ tapi badannya segitu-gitu saja. Justru aku yang sedikit makan tapi badan rasanya makin berat.   “Masih di mobil, Mas. Bentar ya aku ambil.” Aku ingin beranjak tapi Mas Fery menahan.   “Mas aja lah, kamu tunggu di sini.” Ia segera turun dari ranjang gegas keluar kamar. Aku bisa mendengar ia dengan cepat menuruni anak tangga.   Tidak lama aku mendengar suara-suara dari bawah sana. Di halaman rumah. Penasaran, kubuka jendela kamar pelan-pelan dan melihat dari atas.   Mas Fery lagi ngobrol sama siapa?   Aku melihat seorang laki-laki tua sedang ngobrol dengan Mas Fery. Keduanya tidak menyadari kalau aku memperhatikan mereka dari atas. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampaknya cukup serius. Dari sini, aku bisa melihat setiap sudut halaman. Halaman yang sangat luas karena memang blok i adalah tanah penghabisan. Di depan rumah kami sudah tak ada lagi bangunan. Hanya ada pagar kawat setinggi dua meter yang bagian luarnya banyak ditumbuhi rumput ilalang, beberapa pohon petai cina dan satu dua pohon pisang. Jika aku menatap jauh lurus ke depan, aku tak menemukan apapun selain semak-semak. Tapi aku bisa merasakan sejuknya angin sore yang bertiup cukup kencang. Benar-benar asri.   Di Jakarta, kami sudah jarang menemukan tempat seperti ini. Bahkan di rumah tempat tinggal Mama mertuaku juga sudah padat dengan bangunan-bangunan. Tak ada lagi perkebunan atau pun lahan sebagai tempat memanjakan mata dan tempat menghirup udara segar. Rumah semakin rapat, polusi terus meningkat. Itulah yang terjadi masa kini.   Kami cukup beruntung bisa punya rumah di daerah sini, masih banyak lahan-lahan luas, dan perkebunan milik masyarakat desa. Tapi sebagian memang sudah dibeli developer untuk dijadikan perumahan. Di balik semak di sana, aku bisa melihat, tanah luas itu mulai digarap pembangunan rumah. Beberapa kali aku mendengar suara mobil truk dan suara-suara aktivitas para kuli bangunan.   Aku terus menatap ke luar sana, menilik di balik semak-semak untuk menemukan sesuatu. Tapi justru bahu kurikulum seperti disentuh oleh tangan seseorang dari belakang. Tangan yang sangat dingin.   Bulu kudukku meremang. Aku ingin menoleh tapi leherku terasa berat untuk bergerak. Tangan itu terus menempel di bahuku, masih terasa dingin.   Aku memejamkan mata. Kuat-kuat. Mencoba memutar badan dengan mata terpejam. Saat aku berputar, aku merasakan ada helaan napas begitu dekat. Begitu kuat. Aku segera membuka mata dan sosok itu tepat di depan wajahku.   “Aaargh!”    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN