Aku melihat seorang nenek-nenek berada di rumahku. Dia bukan nenek-nenek biasa, tapi nenek siluman kodok. Badannya gempal, tubuhnya bungkuk, dengan kulit kasar kehijauan seperti kulit kodok hijau. Wajahnya lebar mengerikan. Nenek itu tidak bicara apa pun, ia hanya mengamatiku dari sudut ruangan di ruang tamu. Anehnya, di mimpi itu, aku tidak takut sama sekali. Hanya menatapnya lekat, meneliti setiap detil tubuhnya.
Saat kuceritakan tentang nenek kodok itu, Mas Fery tidak berkomentar apa pun. Dia diam sambil merenung. Penasaran, aku menanyainya, “Kenapa, Mas? Seram, kan mimpiku.”
“kalo ngomongin serem, sereman juga muka kamu kalo lagi ngambek, hahaa.” Mas Fery tertawa terpingkal-pingkal.
Asem! dia sengaja bikin aku kesal.
“Sebel.” Aku memasang wajah cemberut.
“Canda, elah.”
“Bodo amat!” Aku meninggalkan Mas Fery ke kamar mandi.
“Yank, mandi bareng!” teriak Mas Fery, mengikuti ke kamar mandi. Sudah terbayang bagaimana nyebelinnya Mas-ku itu, sudah ngeselin, manja pula. Hadeeh.
***
Pagi ini kami hanya sarapan roti sobek cokelat. Tidak ada bahan masakan yang bisa kumasak di dapur, kami belum belanja kebutuhan dapur dan lainnya. Kulkas masih kosong, beras belum beli, gas dan air galon. Sepertinya hari ini aku harus belanja sebelum Mas Fery ngantor.
“Mau belanja di mana?” tanya Mas Fery, “biar enak belanjanya di satu tempat aja, Yank.”
Aku berpikir sebentar, rasanya aku melihat Swalayan tak jauh dari perumahan tempat kami tinggal. Jadi aku memutuskan ke Swalayan saja. Di sana ada kebutuhan dapur, sekaligus barang-barang lainnya.
Selesai sarapan, kami segera meluncur ke Swalayan terdekat. Tebakanku benar, kami menemukan Swalayan tak jauh dari rumah, masih wilayah Bojongsari. Karena masa pandemi, kami menggunakan masker dan mencuci tangan sebelum masuk ke sana.
“Yank, kita belanjain sembako juga, yuk, buat tetangga kita. Gimana?” Mas Fery meminta persetujuanku. Tanpa pikir lama, aku menyetujui. Ide bagus, sebagai tetangga baru berbagi sesuatu ke tetangga hal biasa. Lagipula, kami perhatikan perekonomian mereka terbilang sulit.
“Yasudah, kita bagi tugas ya, Mas, biar cepet. Aku ke bawah ke tempat kebutuhan dapur, Mas bagian sembako. Jangan lupa kebutuhan kita juga jangan sampe ada yang ketinggalan.” Aku membagi tugas dengan Mas Fery.
“Siap, Nyonya.”
Aku tertawa kecil melihat Mas Fery menarik troli dengan menggoyangkan pinggulnya berjalan ala emak-emak. Hii, jijay!
***
Sudah dua jam lebih kami sibuk memenuhi keranjang belanjaan, akhirnya kami mendorong troli ke meja kasir. Kutambahkan juga dua es krim kesukaan kami. Selesai membayar semuanya, barang-barang diangkut ke bagasi mobil dan kami meluncur pulang.
“Swalayan jadi sepi ya, Mas.” Aku membuka percakapan saat di mobil menuju arah pulang.
“Kan masa pandemi. Orang-orang mulai takut keramaian, Yank,” timpal suamiku yang senang memakai topi itu. Ya, kalau dilihat-lihat, dia memang tampan kalau memakai topi.
“Iya, sih. Masa sekarang jadi lebih sulit ya, Yank. Kita harus lebih irit juga, gak bisa boros kayak kemaren-kemaren.”
Mas Fery mengiyakan, melihatku sekilas hanya untuk melempar senyum manisnya lalu kembali fokus ke jalan raya. “Beruntung banget Mas bisa dapetin istri kayak kamu. Udah cantik, pinter lagi. Tapi tau nggak apa yang paling Mas suka dari kamu, Yank?”
“Nggak tau,” jawabku singkat. Perasaanku mulai nggak enak, nih.
“Yang aku suka dari kamu itu ... Karena kamu perempuan.”
Tuh, kaaannn ....
Untung saja aku udah tahan banting luar dalam ngadepin makhluk model Mas Fery, kalau enggak, bisa darah tinggi!
Sudah sampai in sweet home.
Kami buru-buru berish-bersih ke kamar mandi, dan mengganti pakaian. Lalu sibuk membongkar semua belanjaan dan menatanya di dapur. Beres, semuanya sudah lengkap. Untuk beberapa hari ke depan aku sudah tidak memusingkan bahan dapur dan kebutuhan lainnya. Stay at home. Kalau begini, pengangguranku terasa sangat berguna. Tidur, rebahan, santai, makan, nonton TV, Jadi ratu untuk diri sendiri. Kapan lagi?
“Yank, ini sembako buat tetangga sudah Mas taruh disisihin, nanti tinggal kamu kasihin. Bilang aja lagi ada rezeki buat bagi-bagi, gitu.” Mas Fery mengajariku. Aku mengangguk paham. Mungkin akan kuberikan nanti sore.
“Mas, perasaan tadi aku beli es krim, taruh di mana, ya? Alamat meleleh, deh.” Aku menepuk jidat. Lupa. Rencananya es krim itu ingin kumakan saat di mobil tadi.
Kami sama-sama sibuk mencari kantung plastik es krim yang terpisah. Mas fery sampai mencarinya di mobil. Tidak ada. Gini ni, kalau kelupaan.
“Lupa dibawa kali,” kata Mas Fery, mengerutkan dahinya.
“Mungkin.” Aku mengangkat bahu dengan bibir mencebik.
Masa, sih, nggak kebawa. Perasaan tadi di mobil aku tenteng. Masih penasaran, aku kembali memeriksa mobil, barangkali jatuh atau nyelip di mana.
“Yank, ini es krimnya!” Terdengar suara Mas Fery dari dalam.
Aku segera masuk ke rumah, menghampiri suamiku itu di dapur. “Nih, Mas temuin di kulkas dalam freezer, lupa kamu tuh naruhnya di sana.”
Astagaaa. Kenapa aku sepikun ini, sih? Lagian aku merasa ... tidak menaruhnya di sana, tapi kok ... ah, sudahlah, yang penting es krimnya sudah ketemu!
“Parah kamu, Yank, kalo lupaan begitu. Ntar lupa lagi kalo udah punya suami,” celetuk Mas Fery, tangannya sudah menggenggam es krim menuju sofa.
Mana ada lupa suami, kebanyakan juga suami lupa istri.
“Sini, kok masih diam aja di sana. Katanya, kalau makan es krim bersama pasangan itu romantis.” Mas Fery menjilat es krimnya dengan gaya menggoda.
Aku mengulum senyum, lagi-lagi dia menggaruk kepala yang tidak gatal. Tapi kalau Mas Fery ke luar kota, mungkin aku akan sangat merindukannya. Kuhempaskan bokongku di ssamping Mas Fery, kami menikmati es krim tanpa suara, tau-tau habis!
Aku ingat masa kami pacaran dulu. Makan es krim seperti rutinitas sehari-hari yang tak pernah kami tinggalkan. Rasanya senang aja, duduk berdua, sibuk menjilati es krim tanpa bicara apa pu, kami hanya saling memandang lalu tersenyum. Bahagia? Sangat. Aku tak terlalu suka laki-laki gombal, tapi Mas Fery pengecualian. Bagiku, dia unik, lucu, dan menyenangkan. Kata-kata gombalannya tidak berlebih hingga aku muak sampai ke tulang. Tidak seperti mantan pacarku, gombalannya basi. Masa aku dibilang cantik bersinar seperti bulan? Selain bulan itu jauh, permukaannya berantakan. Oh, God!
“Kok senyum-senyum?” tanya Mas Fery, mendelik ke arahku. Harusnya dia mendelik ke tembok aja!
“Gapapa, Mas. Lagi pengen semyum-senyum aja.” Aku asal.
“Ya, ya, ya, lanjutkan.”
Aku terkikik. Tanpa sadar es krimku habis juga. Es krimnya Mas Fery, masih banyak.
“Bagi,”rengekku.
“Kamu mah bukan doyan, tapi lapar.”
“Bodo, pokoknya bagiii.”
Aku mengeluarkan jurus wajah kucing minta dikasihani. Biasanya berhasil, tapi kali ini aku gagal. Mas Fery berubah pelit, katanya dia nggak tanggung jawab kalau aku terpapar virus gegara makan bekas mulutnya dia. Keren juga statementnya, euh!
“Hemm, manis banget es krimnya. Kayak muka kamu,” goda Mas Fery sebelum akhirnya ia kutinggal sendirian di sofa. Aku akan menyiapkan bekal untuk Mas Fery. Melihat kulkas penuh banyak pilihan, aku malah bingung harus masak apa. Dasar aku!
Karena kata Mas Fery aku manis, jadi aku masak yang pahit-pahit saja. Oseng pare pedas campur ikan teri mungkin enak.
“Masak apa, Yank?” Tau-tau Mas Fery sudah di belakangku, memeluk pinggangku erat.
“Masa pare, biar ada pahit-pahitnya gitu kayak muka kamu.”
“Tegaaa,” serunyanya sambil mencubit pipi chubby-ku.